Thursday, December 20, 2012

KEHILANGAN

Saya kehilangan banyak hal. Entah itu teman, sahabat, orang-orang yang dekat dengan saya, atau bahkan mungkin orang-orang yang saya harapkan ada. Saya kehilangan banyak hal, entah itu perasaan, harapan, bahkan rasa percaya. Entah saya harus percaya pada siapa lagi, saya tak tahu. Karena semua penuh kebohongan, palsu, tidak ada yang benar-benar tulus. Saya lelah, saya penat. Saya ingin pulang, tapi saya tak punya tujuan untuk itu. Lalu saya harus kemana? Nyatanya saya tak tersesat, karena bagaimana bisa tersesat jika saya tak memiliki jalan. Bahkan tersesat pun memiliki tujuan, memiliki alasan. Saya kosong, apakah saya sudah "mati"?

Friday, December 14, 2012

SELFNOTE

Saya sempat merasa akan ada sesuatu yang berbeda di hari ini. Ternyata sama saja. Bukan hambar, hanya saja saya tak merasakan euforia yang seharusnya ada. Mungkin ada yang salah dengan saya.

Tuesday, December 4, 2012

RINDU

Kangen sama orang yang nggak mungkin kangen balik itu menyebalkan. Sama menyebalkannya dengan kangen pada orang dan keadaan yang dibenci . .
Sudah beberapa waktu ini saya mengumpulkan rindu, melalui udara, bisikan, lamunan, bahkan juga melalui diam. Sudah lama rindu itu meminta untuk tersampaikan, pada seseorang yang tak jarang dekat dengan pelupuk mata. Namun, hanya kontak secara fisik yang terus terasa, karena rindu itu tak sanggup untuk dikembalikan. Hingga kini, saya masih menyimpan rindu itu.

Saya tetap menyimpan rindu untuk orang lain tanpa tahu apakah saya juga mendapatkan rindu dari orang lain. Ah, tetap saja ada orang lain lagi yang mendapatkan jatah rindu yang lebih besar. Mungkin sudah takdir saya untuk tidak memperoleh rindu terlalu banyak. Toh, selama ini saya hanya berperan sebagai bayang-bayang, mungkin . .

Jadi ini saya kumpulkan rindu untukmu, semoga suatu saat dapat tersampaikan . . .

ORANG ANEH MACAM SAYA

Orang aneh macam saya bukan tipe yang mudah dipahami. Seperti benang kusut, ketika dicoba untuk diurai malah akan bertambah kusut. Orang aneh macam saya lebih suka memendam perasaan, introvert mereka bilang. Orang aneh macam saya lebih suka melamun, bengong sendirian di tengah keramaian, karena sesungguhnya dunia pikiran saya lebih ramai dan menarik. Orang aneh macam saya mungkin bukan menjadi pilihan nomor satu untuk dilirik, tapi akan menjadi orang terakhir yang tetap ada, tetap tinggal.

Orang aneh macam saya mungkin bukan orang paling bahagia, karena lebih sering memastikan kebahagiaan orang lain. Orang aneh macam saya mungkin terlihat sulit berekspresi, tapi bisa menjadi orang yang paling tulus.Orang aneh macam saya suka menari-nari, bernyanyi, tertawa, dan menangis sendiri, karena sulit untuk berekspresi lebih di depan orang lain.

Orang aneh macam saya tidak suka keramaian, apalagi berada di tengah obrolan tidak penting. Orang aneh macam saya bisa menjadi orang paling pendiam sekaligus paling cerewet. Orang aneh macam saya bisa terlihat seperti anak kecil yang menemukan mainan baru, sibuk dengan dunianya sendiri.

Orang aneh macam saya sulit berkata-kata dalam omongan, tapi lebih suka berkata lewat tulisan. Orang macam saya memang aneh, katamu, kan?

Wednesday, November 14, 2012

SEMOGA

Saya boleh teriak ga?

Saya pengin teriak keras-keras sampai guling-guling karena kecapekan. Rasanya otak saya kepenuhan dan isinya udah meluber kemana-mana. Nah, saya yang bingung nyari wadah buat luberan isi "otak" malah jadinya cuma bengong-bengong doang, bingung mau ngapain.

Sudah beberapa waktu ini banyak hal yang saya lakukan dan pada akhirnya malah tidak berguna dan menghasilkan apa-apa, useless. Jadinya saya juga sempat uring-uringan ga jelas. Apalagi kalau ingat dengan deadline hawe (LPM Hayamwuruk), tema majalah dan proposal skripsi. Kepala saya rasanya kayak ditumpuki batu-batu kali yang berat banget. Dan ga tau kenapa, akhir-akhir ini di pikiran saya cuma ada dua hal; Hawe dan (calon) skripsi, hmm...

Nekat ga sih, saya yang sudah termasuk angkatan tua, sudah mulai persiapan skripsi tapi masih (mencoba) tetap aktif di organisasi . . .
Ah, toh pada awalnya saya saja yang kepedean, yakin bahwa saya pasti bisa untuk menghandle semuanya. Tapi ternyata saya salah, pada akhirnya juga saya malah kewalahan sendiri untuk membagi pikiran.

Saya butuh liburan, kayaknya. Penginnya sih pergi ke laut atau gunung, atau minimal pergi dari kota mimpi, walaupun tujuannya masih ga jelas. Dan dari beberapa minggu yang lalu sebenarnya saya sudah punya banyak rencana untuk pergi-pergi, termasuk pada hari libur nasional di minggu ini. Tapi, tapi, semua rencana malah gagal. Ada saja hal-hal di luar dugaan yang datang silih berganti. Sementara saya sudah beberapa kali membatalkan acara luar kota yang tidak terlalu saya prioritaskan, jadi menyesal rasanya. Ah, sepertinya saya memang ga ditakdirkan untuk rehat sejenak deh... :(

Ga tau kenapa minggu-minggu ini kebanyakan yang saya lakukan berujung pada satu kata: useless. Semoga minggu-minggu kedepan apa-apa yang saya lakukan tidak lagi berujung pada kata useless . . .

Ya, semoga.

Sunday, November 4, 2012

DUNIA ANTARA

Orang-orang datang, orang-orang pergi. Tak ada yang menetap selain bekas yang ditinggalkannya. Entah itu berbentuk memori, luka atau kenangan.

Beberapa waktu ini saya merasa diri saya sedang bermasalah. Bahkan karena terlalu berat memikirkannya,  saya sering mual-mual ingin muntah, sakit perut, hingga demam di malam hari. Ada banyak hal yang mempengaruhi mood saya akhir-akhir ini. Saya pikir setelah saya pulang dan rehat sejenak, masalah saya bisa berkurang. Memang iya, saya tidak terlalu memikirkan masalah-masalah itu, tapi entah kenapa ada satu-dua hal yang malah membuat saya semakin bermasalah. Ternyata tidak semudah itu ya untuk membentuk lupa.

Saya bingung, dan saya banyak mempertanyakan banyak hal. Segala hal terasa samar dan tak teraba. Saya merasa banyak hal yang berubah dari diri saya, dan saya kewalahan menghadapinya. Jadinya saya lebih sering merasa bingung untuk melakukan apa. Lalu saya harus bagaimana untuk mengerti keadaan? Sementara masalah-masalah saya muncul silih berganti saat saya bertemu dengan orang-orang yang justru dari merekalah saya mengharapkan penyelesaian untuk banyak masalah saya.

Saya merasa sangat sepi kali ini. Sepi yang berbeda dari biasanya. Saya yang merasa tidak sanggup pada akhirnya berusaha mencari orang lain, minta ditemani. Saya merasa kali ini jika saya sendirian saya akan meledak. Tapi tidak semua hal bisa saya ungkapkan ke orang lain, dan pada akhirnya yang saya lakukan adalah berdiam diri. Saya masih belajar untuk menerima, untuk melepaskan, walaupun saya tahu konsekuensi dari proses itu. Konsekuensi yang setara dengan kehilangan salah satu bagian dari diri saya.

Kata seorang teman yang menjadi salah satu tempat saya mengadu, saya sedang berada di dunia antara. Dalam artian saya masih bingung untuk memutuskan akan jadi apa diri saya. Saya yang begini adanya, menjadi diri sendiri, atau menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain. Sementara hampir sepanjang hidup saya, saya sering dipaksa untuk menjadi orang yang diharapkan orang lain. Mungkin saya lebih mirip robot yang dibentuk oleh orang-orang di sekitar saya. Saya lelah, teramat sangat. Semenjak dulu pun saya sudah terbiasa untuk memberontak dan melarikan diri. Karena ego membuat saya tidak ingin menjadi siapa pun. Saya hanya ingin bebas menjadi diri apa yang saya inginkan tanpa ada yang mendikte. Tapi konsekuensi dari hal itu adalah saya akan terus mengalami kesepian. Dan saya benci itu.

Masalah saya nyatanya tidak memiliki jalan untuk selesai. Tapi saya harus memilih, bukan? Dan itu tidak mudah, karena apapun jalan yang saya pilih nyatanya akan membunuh satu bagian dari diri saya, entah apa.

Pertanyaannya adalah, sudah siapkah saya?

Thursday, October 25, 2012

FREEDOM

Selamat jalan, selamat menempuh jalan masing-masing.

Kemarin, setelah saya pulang ke rumah dan melakukan perjalanan lagi, saya menyadari banyak hal. Mengenai rasa bahagia, marah, takut, rindu, hingga kebebasan. Satu hal yang saya sadari, kebebasan tak selamanya melahirkan rasa "bebas" seutuhnya. Karena kebebasan yang selama ini saya paksakan juga melahirkan satu hal: rasa sepi.

Dan saya semakin menyadari satu hal, tidak ada kebebasan yang benar-benar mutlak. Manusia selamanya akan terjebak pada manusia lainnya, pada situasi, keadaan, bahkan pada pikiran dan perasaannya sendiri. Bahkan untuk menjadi mati pun tidak memberikan kebebasan apa-apa. Apa kebebasan mutlak itu semu? Bisa jadi.

Ah, saya jadi ngelantur lagi. Dari dulu tujuan utama saya adalah pencapaian akan kebebasan itu. Tapi saya semakin menyadari bahwa usaha saya tak membuahkan apa-apa. Apa saya gagal? Tidak juga. Banyak hal yang telah saya dapatkan, terutama kesadaran akan realitas dan penerimaan akan segala hal. Saya kini sedang mencoba berhenti untuk menyalahkan apa pun.

Minggu depan, setelah saya kembali ke kota mimpi, saya telah bertekad akan banyak hal. Bertekad untuk melupakan dan membuka diri. Bertekad untuk mencoba tidak terlalu terikat dengan perasaan. Saatnya saya untuk meninggalkan terlebih dahulu, meninggalkan orang-orang yang mencoba menahan saya namun tak pernah mau mengerti saya. Saya ingin pergi kemana-mana, mungkin hingga saya menemukan orang yang benar-benar bisa mengikat saya, memberikan tempat untuk saya pulang.

Setidaknya saya ingin bebas untuk menjadi diri saya sendiri . . .

Thursday, October 18, 2012

SELFNOTE

Menjadi orang yang dinomorduakan itu menyebalkan ya. Rasanya menjadi yang tidak dipentingkan dan diperhatikan itu sungguh sesak. Egois memang, karena hampir setiap manusia memiliki sifat "keakuan", entah itu dominan atau tidak. Entahlah, ditengah kesensitifan saya yang sedang kumat-kumatnya, saya merasa sesak dengan kenyataan bahwa beberapa orang-orang terdekat saya, yang bahkan terkadang saya pedulikan melebihi diri saya sendiri, sedikit demi sedikit seakan melupakan keberadaan saya. Saya merasa menjadi orang cadangan, yang baru diperbolehkan untuk beraksi bila dibutuhkan. Semacam pelarian, tidak penting.

Saya hanya sedih. Saya sedang membutuhkan bantuan, dukungan, tetapi yang saya dapatkan hanyalah penyalahan. Sementara di keluarga saya sendiri seringnya keinginan saya itu menjadi prioritas nomor sekian, tidak dipentingkan. Lalu buat apa saya ada, jika nyatanya hidup saya adalah milik orang lain, dimana hanya ada mereka, mereka, dan mereka.

Untuk sekali ini, saya ingin menjadi orang yang egois, boleh kan . . .

Wednesday, October 17, 2012

SELFNOTE

Saya sedang tidak baik-baik saja, lagi . . .
Suasana hati saya kembali buruk, ga tau kenapa. Tiba-tiba saya bisa jadi sangat sensitif. Karena beberapa alasan juga sih, sepertinya akhir-akhir ini sedang ada beberapa orang yang terus berusaha membuat saya kesal.

Saya sedang kesepian, saya akui itu. Orang-orang yang dekat dengan saya seperti jauh. Lingkungan saya tidak sepi, tetapi seperti ada jarak yang memisahkan saya dengan mereka. Saya seperti kehilangan kendali, tenggelam dalam dunia milik sendiri. Sementara mereka juga terlalu tenggelam dalam dunia masing-masing, dan saya dipaksa untuk mengikuti. Saya lelah, langkah saya sedang terlalu berat.

Saya sedang merasa kurang nyaman dengan beberapa hal. Saya seperti berada di tempat yang salah dengan kondisi yang salah pula. Saya seperti orang asing yang ga tau apa-apa. Saya cuma orang asing, dan tidak ada yang menyenangkan untuk menjadi terasingkan.

Saya merasa banyak hal yang salah pada diri saya akhir-akhir ini. Sifat mudah sinis saya keluar lagi pada akhirnya, dan saya susah mengendalikannya. Jadinya malah saya yang rugi sendiri.
Ah, saya pengin menyepi, tapi saya ga mau sendirian . . . :(

Monday, October 15, 2012

AKU BERMIMPI

Pada akhirnya semua yang ada akan pergi meninggalkan. 
Lalu kenapa saya tidak memulainya duluan . .


Aku bermimpi, bisa melihat dunia,
berlari menembus padang ilalang, menjelajahi kaki langit.
Aku bermimpi, bisa melihat dunia,
mengarungi laut biru, menembus batas.

Mungkin pada akhirnya saya yang harus meninggalkan terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya ditinggalkan.
Cukup dengan bermimpi, maka saya bebas, tak terikat . . .

Sunday, September 30, 2012

SEMINAR

.Pic taken from random googling.
 
Karena saya begitu mencintai laut . . .

Saya lagi pengin cerita nih, tentang salah satu penggalan masa kuliah saya di semester tujuh. Jadi, ada satu momok yang paling menakutkan saat memasuki semester tujuh di jurusan saya, yaitu SEMINAR. Seminar ini berupa proposal skripsi yang terdiri dari bab 1. Kelihatannya sih gampang, cuma bab 1 saja kan. Tapi syarat utama dari seluruh penelitian sejarah adalah sumber, terutama sumber primer. Begitu pula dengan proposal skripsi yang juga harus termuat sumber-sumber primer. Nah, sulitnya disini adalah, sumber primer itu sebagian besar berupa arsip tertulis yang untuk mendapatkannya membutuhkan usaha lebih dan (menurut saya) juga pengorbanan yang besar. Bagaimana tidak, untuk mencari arsip-arsip tersebut, saya harus pergi ke berbagai tempat, dari Jakarta, ibu kota provinsi, hingga ke lokasi penelitian saya. Belum lagi saya juga harus memperhatikan unsur temporal (waktu) yang saya pilih. Lalu, apakah hanya itu bebannya? Tidak.

Untuk seminar di semester tujuh ini, saya sempat bingung untuk memilih judul. Kebingungan saya itu disebabkan oleh banyak hal, seperti kekuatiran saya akan minimnya sumber, finansial, lingkup spasial (tempat, lokasi) dan temporal yang harus dipilih, bahkan hingga kesanggupan saya sendiri untuk menghadapi konsekuensi atas setiap keputusan yang saya ambil. Tetapi, saya pun semakin menguatkan diri dan mencoba untuk yakin, karena saya percaya bahwa bila saya berkeinginan kuat dan berani, saya akan bisa dan harus bisa. Maka dengan modal nekat saya pun menetapkan satu judul, berlokasi di luar Jawa yaitu Lombok dengan tema sejarah maritim.

Padahal di Jawa saja, untuk kajian sejarah maritim terdapat berbagai kendala yang siap menghadang, terutama adalah keterbatasan sumber. Karena kebanyakan mindset orang Indonesia adalah daratan, yang notabene berada pada lingkup agraris, sehingga pemusatan perhatian pada unsur maritim sangat kurang. Apalagi saya, yang dengan pedenya ambil lokasi di Lombok, dimana data-data lebih sulit dicari. Ya saya hanya berharap semoga keputusan yang saya ambil ini bukan keputusan bunuh diri.

Lalu, kendala apa lagi setelah itu? Jawabannya adalah orang tua saya. Orang tua saya bereaksi tepat seperti yang saya duga saat saya memberitahukan rencana judul saya. Ya, mereka cenderung keberatan dengan alasan sulitnya akses dan minimnya data. Bahkan mereka cenderung memaksa saya untuk berganti haluan dan mengambil lokasi di Jawa. Hal tersebut sempat membuat saya gamang dan berpikir ulang selama beberapa minggu. Tetapi kini saya malah semakin yakin dengan keputusan saya tersebut, walaupun saya tahu segala resiko yang akan saya hadapi. Saya hanya mencoba untuk yakin pada pilihan saya, pada hati saya.

Bukannya saya tidak punya pilihan. Saya juga punya beberapa judul lain. Masalahnya adalah, hati saya tidak tertambat disitu. Sudah lama saya menyukai laut dan kehidupan di sekitarnya. Maka tidak salah kan bila saya memilih maritim sebagai topik utama saya. Dan sudah lama juga saya ingin keluar dari area Jawa, membuktikan bahwa di luar sana masih banyak kisah yang perlu diceritakan.

Ya, semoga saja kekuatan yang saya miliki cukup. Semoga itu cukup.

Friday, September 28, 2012

RANDOM

.Pic taken from random googling.
Saya ingin menjadi senja, menjadi penengah antara siang dan malam yang tak pernah bersua.

Saya lagi kangen nih, nggak tau sama siapa. Karena bahkan saya tidak mengerti dengan diri saya sendiri. Nggak tau kenapa . . .

Tadi malam saya sedikit ribut dengan seorang teman yang (mungkin) saya anggap sebagai seorang kakak dan sudah beberapa bulan ini jadi tempat saya bercerita. Dia merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan saya yang mungkin dia anggap sensitif. Sempat terjadi salah paham, entah dia yang tidak memahami saya atau saya yang tak bisa memahaminya. Yah, saya hanya peduli dan mungkin kepedulian saya sedikit salah dimengerti olehnya, atau oleh orang lain yang menganggap apa yang saya lakukan aneh. Ya sudah, biarlah. Saya mencoba tidak peduli.

Teman saya itu bilang kalau saya egois. Terkadang saya seperti tenggelam dalam masalah saya, dan ketika ditanya saya hanya menjawab "Tidak apa-apa". Karena nyatanya memang saya tidak siap untuk melibatkannya dalam masalah saya. Masalah yang sebagian besar justru berputar pada diri saya sendiri, pada hal-hal yang belum saya mengerti. Mungkin saya terlalu banyak berpikir dan merenung. Tapi ternyata diri saya yang seperti itu membuat teman saya sedikit tidak nyaman. Ya mungkin memang benar saya egois, terima kasih sudah mengingatkan.

Saya hanya butuh ditemani untuk beberapa saat, karena saya tak tahu apa yang akan terjadi saat saya sendirian. Saya hanya lelah, mungkin.

Katanya saya aneh. Nyatanya memang dari dulu saya aneh. Tapi jujur saja segala hal yang saya rasakan saat ini berujung pada kebingungan. Saya bingung harus bersikap bagaimana, rasanya seperti kehilangan kendali. Saya tidak terlalu menyukai ide untuk menjadi aneh. Tetapi saya juga tidak mau untuk menjadi biasa, untuk menjadi sama. Saya hanya ingin terlihat seperti saya, bukan saya yang mirip siapa atau apa. Saya hanya suka dikenali sebagai saya.

Tadi malam selepas perdebatan itu teman saya bilang kalau saya mirip dengan seorang teman saya yang lain. Katanya sifat kami mirip, amat mirip untuk beberapa hal. Dan saya tidak suka. Rasanya disamakan dengan orang lain itu sangat menyebalkan. Seperti ada versi lain dari diri saya, entah itu lebih baik atau lebih buruk. Sekilas saya merasa tidak asli. Sementara saat ini tujuan utama saya adalah untuk menjadi diri saya sendiri, menyukai diri saya apa adanya tanpa perlu ada topeng atau dinding pemisah dalam diri saya.

Ya, saya sedang berproses untuk mencapai tujuan-tujuan saya. Dan sedikit banyak teman saya itu turut berpengaruh dalam proses diri saya. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih, entah dia menyadari atau tidak, untuk segala hal, untuk segala obrolan panjang di malam hari. Setidaknya obrolan-obrolan itu berhasil membuat saya tetap berjejak di tanah, tidak terlalu mengawang-ngawang lagi.
"Terima kasih untuk segala kejujuran yang telah kau berikan ya."

Tuesday, September 25, 2012

DEAR GOD

Tuhan, bahagia itu sederhana, kan. Sesederhana memakan semangkuk sup ayam rumahan di kala hujan, atau senikmat teh-tubruk-manis-hangat di pagi hari.

Tuhan, bahagia itu sederhana, kan. Sesederhana penerimaan dan kesadaran.

Tuhan, terima kasih atas kesadaran yang telah muncul itu. Ya, memang sesederhana itu, bagi orang-orang yang mengerti. Dan saya mengerti Tuhan, terima kasih. Terima kasih pula atas kelapangan hati yang muncul setelahnya. Tak lagi kosong, karena kelegaan telah memperluas hati itu, melapangkannya, dan bersiap untuk menampung memori-memori baru.

Tuhan, saya masih suka duduk di atas genting, memandangi langit. Mungkin awalnya saya kira bisa menemukanMu dalam wajah-wajah langit. Ah, saya rindu, Tuhan.

Terima kasih, atas segala kejelasan itu. Terima kasih, untuk membuat saya lebih mengerti, Tuhan.

Sunday, September 16, 2012

BROKEN

Tuhan, kali ini saya patah . . .

Saya tak tahu seberapa parah, tapi rasanya sesak sekali. Sesak hingga ingin muntah rasanya.

Saya mengalami hari yang buruk tadi. Saya kembali sakit, sendirian, dan disaat saya benar-benar butuh seseorang saya tidak menemukan satu pun yang bisa mengerti. Jadi, yang saya lakukan hanyalah memacu kecepatan, mencoba melarikan diri lagi. Tetapi kemanapun saya pergi, hati saya tidak akan berubah. Saya kali ini patah.

Dan semua terasa tidak sama lagi.

Malam ini saya menggigil. Rasanya seperti demam. Seperti ada yang tercerabut paksa, entah apa. Ya, tidak penting. Tidak ada yang peduli, bahkan mungkin kehadiran saya memang tidak penting.

Saya lelah.

BODOH

Tuhan, saya kalah . .

Begini ya rasanya kehilangan, kosong. Ada ruang menganga yang ditinggalkan, dan tak akan bisa kembali seperti semula.

Bodoh . . .

Wednesday, August 22, 2012

HALO !

Halo, saya masih "hidup" sampai sekarang *kayaknya bagian ini nggak penting deh, haha :D. Sudah lebih dari satu bulan saya meninggalkan kota mimpi. Dan minggu kemarin saya sempat mampir sebentar, menengok keadaannya selama beberapa hari. Kota mimpi di bulan Agustus ini serupa dengan halte, hanya berfungsi sebagai tempat pemberhentian, pemberi jeda.

Tanggal 15 kemarin, KKN saya (akhirnya) selesai. Senang sih, tapi entah kenapa sampai sekarang saya masih merasa kosong. Mungkin saya hanya belum terbiasa. Jadi, setelah semingguan berpusing-pusing dengan yang namanya LPK, akhirnya tugas saya selesai juga. Rasanya enak banget ketika kepala kosong dan nggak dipaksa untuk berpikir. Pikiran saya sampai melayang-layang. Akhirnya pelampiasan saya tersalurkan lewat perjalanan Pakis Aji (Jepara)-Tembalang (Semarang) dengan waktu tempuh kurang dari dua jam.

Ahiya, LPK ini lho yang bikin saya galau selama seminggu lebih.

LPK oh LPK, tebalmu ternyata bisa mengalahkan skripsi

Dan akhirnya kegiatan KKN ditutup dengan upacara penarikan di kampus dan aksi pelemparan topi KKN. Penginnya sih juga sama aksi pembakaran jaket KKN, tapi sayang ah. Jadinya jaket KKN punya saya dicorat-coret oleh teman-teman KKN saya, ditandatangani dan ditulisi macam-macam. Tapi begonya saya, kenapa tu jaket dicuci, luntur semua deh tulisannya. Itu semua ternyata gara-gara spidol sn*wm*n yang ternyata kalo kena air luntur *baru tahu, haha.

Eh, eh, pas kemarin balik ke kota mimpi, saya juga sempat nonton Perahu Kertas, sebuah film karya Hanung Bramantyo hasil adaptasi dari novel Perahu Kertas karya Dee (Dewi Lestari). Walaupun saya merasa di beberapa bagian agak sedikit berlebihan, tapi saya suka filmnya. Bukan dari segi kisah cintanya Kugy dengan Keenan, tapi ada sesuatu yang menarik saya, nggak tahu apa, dan saya tersesat di dalamnya.

Dan saya jatuh cinta dengan soundtrack Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda.



Sekarang saya sudah di rumah, dan belum apa-apa saya sudah kangen dengan kota mimpi. Saya merasa masih ada yang belum terselesaikan dan saya pengin ketemu beberapa orang. Setelah itu, saya ingin terbang lagi. Doakan saja ya, supaya fisik, finansial, dan waktu saya mendukung.

Saya siap berlari kembali, mencari jawaban.

Friday, August 17, 2012

RANDOM

Harusnya sekarang saya sudah mulai packing, bersiap-siap untuk pulang. Tapi nggak tahu kenapa, pulang kali ini rasanya berat. Tiba-tiba saya merasa tidak ingin pulang sekarang, padahal beberapa minggu lalu saya sibuk mencoret-coret timeline yang saya buat, menghitung hari kepulangan.

Saya masih ingin bertemu dengan beberapa orang, menyelesaikan hal-hal yang terasa salah. Terasa ada aliran utang yang belum terpenuhi, janji-janji yang tak tertepati. Saya masih merasa bersalah, tapi tak tahu harus berbuat apa.

Kali ini juga saya ingin pergi lagi, berlari ke timur. Membeli tiket secara random dan berakhir pada antah berantah lagi. Kali ini saya rindu hutan dan pegunungan, setelah satu bulan terkekang dan menjadi anak pantai. Saya butuh sendiri, sementara kedatangan hari raya tidak menawarkan kesendirian yang tengah saya rindukan.

Saya ingin menukar waktu.

Friday, August 10, 2012

HAMIN LIMA

Tiba-tiba merasa kosong sekaligus penuh hari ini. Ternyata sekarang sudah memasuki hamin lima (h-5) menuju penarikan KKN oleh kampus saya. Waktu satu bulan masa penerjunan sudah hampir selesai, dengan suasana Ramadhan yang hampir tidak saya rasakan, benar-benar datar dan hambar.

Minggu-minggu lalu, saya merasa waktu penerjunan KKN ini adalah sebuah bentuk penderitaan sendiri, dengan banyaknya beban program dan tanggung jawab lain yang rasanya begitu menyesakan, ditambah dengan sulitnya menyatukan berbagai kepala yang baru saja dipertemukan melalui sebuah kebetulan yang saya yakin memang telah terencana olehNya. Nyatanya minggu-minggu awal penerjunan yang saya rasakan adalah serupa himpitan beban. Jauh dari keluarga dan kehidupan "normal" versi saya.

Tetapi entah kenapa, saya kini mulai menikmati semua proses itu. Tiba-tiba rasa sedih itu datang menyelinap ketika saya menyadari bahwa waktu yang tersisa tidak mencapai satu minggu lagi. Saya mulai merasa nyaman, untuk tinggal bersama dengan dua belas orang yang memiliki karakter bermacam-macam. Atau mungkin saya hanya belum siap untuk kembali, for facing the reality.

Bahkan sekarang saja saya sudah mulai merindukan teman-teman KKN saya, merindukan kenangan bersama mereka, bagaimana kami berproses bersama, berjuang. Dan saya merasa nyaman dengan mereka. Hati saya seperti terbagi dua, di satu sisi saya ingin pulang, dan di sisi lain saya ingin tetap seperti ini, diam dalam stagnansi.

Tiba-tiba saya merasa bahwa waktu satu bulan ini adalah masa-masa pelarian saya. Masa dimana saya menghilang sejenak dari realitas.

Sunday, August 5, 2012

LPK

.Pic taken from random googling.
Lagi dibuat galau (dan mabok) sama yang namanya LPK.


:'(

Monday, July 30, 2012

RANDOM

Terlalu banyak hal yang terjadi di sekitar saya akhir-akhir ini. Hati dan pikiran saya rasanya terlalu penuh, sementara orang-orang di kota mimpi sana mungkin terlalu sibuk untuk sekadar menyampaikan sapaan. Untuk pertama kalinya saya rindu dengan kekacauan di kota mimpi, entah mengapa. Saya mungkin mulai merasa penat dengan keterkucilan yang terlalu penuh. Keterkucilan yang membuat saya tidak bisa melarikan hati untuk mengunci diri, keterkucilan yang membuat saya merasa tidak terbebaskan.

Saya rindu untuk merasakan kesendirian tanpa rasa sepi. Merasakan aliran dingin yang menjalar, menyelimuti. Penat rasanya untuk merasakan hawa panas yang semakin memekat, hingga mengalirkan bulir-bulir keringat kepayahan. Ya, saya sudah terlalu payah.

Saya bosan dengan omong kosong yang mengalir terlalu deras di udara. Sementara orang yang sanggup menawarkan keseriusan dan pemikiran akan dunia seperti hilang dalam rotasinya. Saya hanya merindukan sedikit waktu untuk berdebat akan banyak hal. Saya butuh untuk berpikir, lagi.

Ah, hati saya masih random, masih berganti-ganti mood dengan remote control yang entah dipegang oleh siapa.

Saya ngantuk, tidur dulu ya. Semoga kali ini saya teranugerahi dengan tidur tanpa mimpi.

Friday, July 27, 2012

GUMAM

Saya lelah untuk menjadi bayang-bayang.


Lelah.


Sangat Lelah.


:(

Sunday, July 22, 2012

THE MORNING MIST

.Pic taken from random googling.

Kamu selalu terasa seperti kabut pagi, sayup menguarkan dingin menusuk. Terlalu hening, dan masih tak teraba.


Saya seperti kehilangan kata. Mungkin benar, kita memang butuh jarak dan sedikit spasi, rehat sejenak. 

Saya rindu, pada kesempatan mencuri-curi waktu untuk sekadar menyapa lewat sambungan kabel. Tak mengapa, walau terkadang lebih banyak kau yang berbicara dan saya kerap jatuh tertidur kelelahan di sela perbincangan. 
Saya rindu, pada alasan-alasan yang membuat saya terbangun di dini hari untuk menunggu deringan, sebuah tanda panggilan yang kau berikan. 


Mungkin memang benar, kau masih terasa seperti kabut pagi. Dingin menyenangkan, namun masih tak teraba.

Saturday, July 21, 2012

KAWAKERS



KKN, oh KKN . . .
*Kapan sih kelarnya?

Ternyata begini ya jadi mahasiswa yang sedang berKKN (Kuliah Kerja Nyata). Apalagi di bulan puasa, cukup menguji iman, hehe. Jadi, jadi, awal semester enam lalu saya menginput mata kuliah KKN yang berbobot tiga SKS dalam KRS saya, dengan konsekuensi saya harus menjalankan KKN pada bulan puasa. Awalnya saya yakin, karena saya merasa sayang bila saya harus ikut KKN di semester tujuh. Sayang kan kalau waktu sebulan di bulan Februari dipakai untuk KKN, mending dipakai untuk jalan-jalan, hehehe :D.

Saya mendapat penempatan lokasi di Jepara, tepatnya di desa Kawak Kecamatan Pakis Aji. Makanya kami (saya dan teman-teman satu tim) menamakan diri sebagai Kawakers. Jumlah Kawakers ada tiga belas orang, sudah termasuk saya. Kami berasal dari berbagai macam fakultas, ada Ilmu Budaya (FIB), Hukum (FH), Ekonomika dan Bisnis (FEB), Teknik (FT), Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), dan Sains dan Matematika (FSM).

Banyak cerita yang terjadi selama KKN. Padahal saya di sini baru lima hari. Lokasi KKN yang lumayan jauh, signal yang sering eror, serta kondisi jalan yang rusak sempat menjadi hambatan. Si Ujang (motor saya) pun sempat rusak pada hari kedua. Mengenai kondisi jalan rusak ini, ada satu papan petunjuk jalan yang membuat saya tersenyum simpul.


Ya, jalan "Astaghfirullah" itu yang membuat si Ujang sempat rusak, haha.
Tapi sekarang si Ujang sudah sehat lagi kok. Cuma keadaannya kotor banget, belum sempat mandi.

Baru lima hari, tetapi rasanya sudah lama sekali. Jadwal saya hari ini juga lumayan padat. Ada banyak berkas K1, K2, K3, R1, R2, dan reportase mingguan yang harus dibuat (jangan tanya deh itu berkas apa). Begini nih rasanya jadi sekretaris desa, setiap hari harus berkutat dengan berkas dan laporan. Padahal program saya sendiri juga belum jalan. Tapi santai sajalah, saya optimis kok dengan program saya.

Kadang saya dan Kawakers lainnya merasa kami sedang dikerjain, diminta ini-itu di luar kemampuan kami (terutama untuk kemampuan kantong kami, hahaha). Ini sebenarnya Kuliah Kerja Nyata atau Kuliah Kuli Nyata sih, haha, bercanda kok. Tapi secara keseluruhan kami sih senang-senang saja. Bahkan kami sempat juga main ke pantai dan Gong Perdamaian Dunia. Lumayan buat merefresh otak :).

Monday, July 16, 2012

HAMBAR

Kesalahan terbesar saya saat ini:
(kembali) Terjatuh pada orang yang salah.

Nyatanya salah, karena memang belum berada pada tempat yang semestinya. Rasa itu belum pas bener menyertainya. Seperti secangkir teh dengan gula yang belum teraduk, hanya mampu menyuguhkan rasa manis yang hambar.

Masih belum tepat, ternyata . . .

Monday, July 2, 2012

S-E-K-E-R-I-P-S-I

Sstttt, tolong jangan berisik!! Saya sedang PMS. 
(Pusing Mikirin S-E-K-E-R-I-P-S-I)

Saya sebentar lagi (catat, dua bulan lagi) memasuki semester tujuh ternyata. Haha, nggak kerasa ya. Kayaknya waktu berlari cepat banget. Setelah dipikir-pikir, saya seperti kehilangan banyak hal dalam waktu yang sesingkat itu. Tetapi waktu yang singkat itu juga sudah memberikan pelajaran tentang banyak hal buat saya. Bukankah itu sesuatu yang wajar, dalam hidup, untuk mendapati apa-apa yang datang, kembali, dan pergi meninggalkan . . .

Saya tadi ke kampus. Agak iseng sih sebenarnya, karena sekarang adalah masa ujian, dan kebetulan hari ini saya nggak punya jadwal ujian. Saya bosan di kost terus, selain itu saya juga masih punya beberapa urusan yang harus segera saya selesaikan. Di kampus, saya bertemu dengan senior-senior saya. Saya jadi kepikiran, bila dihitung waktu minimal kuliah, seharusnya mereka sudah bisa lulus. Tetapi kayaknya beban skripsi yang terlalu berat menjadi salah satu faktor penghalang untuk bisa lulus cepat-cepat deh.

Nggak aneh sih sebenarnya. Di jurusan saya, menurut saya sendiri lulus dengan masa kuliah empat tahun adalah sesuatu yang sangat luar biasa.Yang saya tahu, jarang ada mahasiswa yang lulus tepat waktu (empat tahun), karena skripsi untuk jurusan saya tergolong susah dan menyusahkan. Bukan membuat skripsinya yang susah, tetapi mencari datanya itu lho, bikin ampun-ampunan. Arsip yang belum tentu ada dan susah untuk dicari menjadi beban tersendiri bagi para mahasiswa, termasuk saya. Sampai saat ini saya pun belum bisa menentukan topik skripsi yang akan saya ambil, padahal semester depan saya seharusnya sudah memasuki tahun terakhir perkuliahan dan melakukan seminar. Saya masih bingung, dengan banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dan mempengaruhi calon skripsi saya.

Sebenarnya saya sempat menemukan satu topik untuk calon skripsi saya. Tetapi kemarin ketika saya KKL ke Jakarta, ternyata data untuk topik calon skripsi saya itu susah didapat. Rasanya saya langsung patah hati. Selain itu, jauhnya lokasi serta masih banyaknya tanggung jawab saya di kampus untuk satu tahun mendatang membuat saya berpikir ulang. Kayaknya saya nggak jadi ngambil topik itu untuk calon skripsi saya deh *murung*.

Dan sampai sekarang saya masih belum punya calon topik untuk calon skripsi saya . . . :(

Saya jadi teringat dengan kedua orang tua saya. Sedih rasanya bila saya harus menghabiskan waktu lama untuk mencapai kelulusan. Mereka tidak pernah mengatakan langsung pada saya. But, I just know, saya sangat paham bagaimana mereka begitu banyak menaruh harapan terhadap saya. Saya hanya tidak mau mengecewakan siapapun (lagi).

Ah, S-E-K-E-R-I-P-S-I ... kayaknya itu menjadi kata keramat saya untuk satu tahun mendatang deh. Moga-moga cuma satu tahun ya . . .

Sunday, July 1, 2012

SAKIT

Meskipun saya sudah memiliki embel-embel puluhan, saya masih merasa seperti gadis kecil yang memiliki beribu alasan untuk menangis. Tetapi bahkan saya lupa, kapan terakhir kali saya menangis sebagai anak kecil. Hidup saya tak lagi sesimpel permasalahan dan kesedihan anak kecil ketika kehabisan permen. Andai hidup hanya sesimpel itu.

Sudah beberapa hari ini saya jatuh sakit (lagi), hingga saya harus bed rest, istirahat total. Mungkin terlalu banyak hal yang saya pikirkan dan harus segera saya kerjakan, sehingga lama-lama beban itu menumpuk. Hanya butuh satu pemantik, maka saya yang tak cukup kuat pun roboh.

Sudah terlalu lama saya berpura-pura. Berpura-pura untuk menjadi orang baik, untuk mau mengalah, bahkan berpura-pura untuk menjadi kuat, bahwa segalanya baik-baik saja dan saya bisa melakukannya sendirian. Nyatanya bukan karena saya bisa, tetapi karena saya terpaksa. Sebuah keterpaksaan yang menjadikan saya memiliki keharusan untuk membuat tameng dalam kepura-puraan itu. Padahal bila sisi jahat saya muncul, ingin sekali rasanya mengeluarkan sisi egois saya. Saya juga ingin menjadi orang yang tidak harus terus mengalah.

Karena nyatanya hampir seumur hidup saya ditempatkan dalam posisi dimana saya harus mengalah dan harus mengerti. Dan saya benci, pada ketidakberdayaan saya untuk melawan.

Sepertinya saya akan kalah. Tadi siang, saya diajak taruhan oleh seseorang. Dia bertaruh bahwa saya akan sering menangis dalam waktu dua bulan ini. Awalnya saya percaya diri bahwa saya tidak akan kalah. Tetapi entahlah, mungkin keadaan tubuh saya yang benar-benar sedang lemah ditambah dengan rasa sepi yang tiba-tiba muncul membuat mata saya mudah berair.

Keadaan sakit ini membuat saya banyak berpikir, mengenai apa-apa yang pernah dan sedang saya miliki, serta apa-apa yang hilang dan tidak pernah saya miliki. Contohnya seperti orang-orang yang saya kira adalah teman terdekat, namun ternyata beberapa waktu ini mereka terasa seperti menghilang. Padahal mereka tahu saya sedang sakit. Justru orang-orang yang saya kira kurang peduli malah memerhatikan saya. Saat-saat seperti ini adalah saat dimana saya butuh topangan seseorang. Sosok seperti itu belum saya dapatkan dari "teman dekat" saya itu, yang hingga kini belum pernah memberikan ketenangan bagi diri saya. Saya malah mendapatkan rasa nyaman ketika saya bersama orang lain, yang notabene adalah orang yang baru saya kenal. Tetapi entah kenapa, tiba-tiba rasa percaya itu muncul, pada orang asing yang baru saya kenal itu.

Saya ingin pulang, tetapi saya takut merepotkan. Rasanya sekarang saya ingin membeli tiket kereta dengan tujuah ke kota terjauh di timur sana. Saya ingin menghilang sejenak dari orang-orang yang saya kenal, dari orang-orang yang penuh tuntutan. Saya butuh menyendiri dan meresapi kesendirian dalam keterasingan. Saya butuh untuk tidak diganggu, sejenak.

Friday, June 22, 2012

MUNGKIN

Hari ini aneh. Ada rasa senang dan sedih yang melintas terlalu berdampingan. Senang atas hal-hal yang terselesaikan, dan sedih atas apa-apa yang (telah) meninggalkan. Saya tak tahu, rasa mana yang paling mendominasi. Rasanya terlalu tercampur aduk secara paksa, aneh.

Hari ini aneh. Ada kesalahpahaman yang tiba-tiba datang tadi. Tetapi hingga kini saya tak tahu apakah saya perlu untuk meluruskan kesalahpahaman itu. Saya juga tak tahu, apakah penjelasan saya masih memiliki arti penting untuk mau ia maknai. Ah, saya tak tahu.

Mungkin saya juga tak perlu tahu.

Sunday, June 10, 2012

THE TIME IS PASSING BY SO FAST, ISN'T IT?


 .Pic taken from here.


Apa yang tak berkaki namun mampu berlari sangat cepat tanpa terkejar? 
Itulah dia, waktu.

Terkadang saya lupa bahwa saya sudah mencapai "kepala dua". Rasanya baru kemarin, saya berumur sepuluh tahun, dengan rambut terkepang dan suka bermain lompat tali. Rasanya baru kemarin ibu saya datang ke sekolah untuk mengambil ijazah SD saya, mengambil rapor SMP dan membuatkan kebaya untuk wisuda SMA saya. Rasanya juga baru kemarin saya pertama kali memutuskan untuk pergi menuntut ilmu dan menuntut jawaban ke kota mimpi. Ah, saya telah tertipu oleh kecepatan waktu.

Di usia baru saya yang sudah memiliki embel-embel puluhan, saya pikir saya telah tumbuh semakin besar dan dewasa dengan cara saya sendiri. Namun terkadang, saya merasa di beberapa sisi saya mengalami stagnansi pertumbuhan, baik tubuh maupun perilaku. Sebagai contoh, kayaknya pertumbuhan tinggi badan saya tidak mengalami kemajuan semenjak saya SMP deh. Saya harus terima kenyataan bahwa saya (mungkin) ditakdirkan untuk memiliki tubuh pendek, bahkan terpendek di keluarga kecil saya. Padahal sejak kecil saya sudah melakukan banyak usaha dengan sering loncat-loncat, rajin berenang setiap minggu, minum susu untuk pertumbuhan, dan minum berbagai macam jus sayuran yang sampai sekarang untuk mengingatnya saja sudah bikin saya enek dan pingin muntah. Makanya saya berani bilang bahwa memang sepertinya sudah menjadi takdir saya untuk bertubuh pendek, sedihnya . . .

RELIEVED

Sore tadi saya pergi dengan seorang teman. Kami hanya janjian untuk bertemu di sebuah toko buku di salah satu mall. Ketika kemarin saya diajak teman saya itu untuk pergi ke luar, saya langsung mengiyakan. Nyatanya berdiam diri di kos pun nggak menghasilkan apa-apa, jadi mungkin saya butuh sedikit penyegaran.

Sejujurnya saya memang sedang ingin pergi, tapi bukan ke tempat ramai seperti mall, apalagi di malam minggu. Namun entah kenapa pertemuan saya dengan teman saya   walaupun kami bertemu di tengah keramaian malam minggu yang sering membuat saya merasa agak nggak nyaman   membuat saya merasa sedikit lega. Kami, dengan masalah masing-masing, saling menemani dan bercerita. Saya nggak tahu, apakah sedikit cerita yang teman saya sampaikan tadi itu benar atau nggak, karena nyatanya kami belum lama saling mengenal, sehingga kemungkinan ia menganggap saya belum bisa dipercaya, begitu pun dengan saya yang (mungkin) menganggapnya seperti itu. Tapi nggak tahu kenapa kepada teman saya itu saya nggak tahan untuk nggak bercerita mengenai sedikit masalah saya, kekhawatiran dan ketakutan saya. Mungkin itu disebabkan oleh rasa asing yang masih melingkupi kami. Saya memang lebih sulit bercerita mengenai keadaan diri saya terhadap orang-orang yang dekat dengan saya. Mungkin walaupun orang-orang itu dekat dengan saya, tetapi secara personal dan emosional saya nggak merasa dekat. Saya tidakbelum merasa aman dengan mereka. Ya, keterasingan membuat saya merasa aman, karena saya bebas melontarkan cerita mengenai diri saya tanpa takut cerita itu akan dijadikan senjata untuk menyerang saya. Saya bukan trauma, hanya saja sedikit mengantisipasi agar hal seperti itu nggak terjadi lagi. Boleh-boleh saja kan?

Friday, June 8, 2012

KABAR BAIK

.Pic taken from random googling.

"Seperti udara, saya ingin menjadi tiada yang nyatanya ada."
Tuhan, jika kedatangan masalah-masalah itu bisa membantu saya untuk mendapat sedikit arah dalam pencarian jawaban atas segala pertanyaan, maka kuatkanlah saya Tuhan. Kuatkanlah saya, jika saya memang harus melakukan pencarian itu seorang diri.
Karena saya masih takut, Tuhan . . .
Entah sejak kapan mulanya, saya sering berdiam diri sendiri, merenung dan berpikir. Orang bilang saya kebanyakan melamun. Pernah salah seorang teman bertanya saya sedang apa, dan saya menjawab bahwa saya sedang menunggu kabar baik. Saya tak tahu, entah kapan kabar baik itu sudi mampir ke peraduan nasib saya.

Saya hanya tahu, keberuntungan itu tidak dijual. Kalau pun ada, pasti sudah habis persediaannya. Maka saya pun meninggalkan kemungkinan untuk bertemu dengan keberuntungan. Nyatanya saya memang jarang beruntung, namun bukan berarti saya selalu sial. Saya hanya, belum beruntung. Kabar baik masih belum berbaik hati pada saya.

Saya sering melihat, pengharapan-pengharapan yang saya lambungkan ke langit sering limbung akibat tekanan-tekanan angin yang terlalu menusuk. Sementara balon pengharapan milik orang-orang lainnya telah membumbung begitu tinggi, siap ditelan oleh langit. Terkadang saya bisa begitu iri pada kabar baik milik orang lain, sementara nasib saya jarang dihinggapi oleh kabar baik, atau mungkin jatah kabar baik saya sudah kadaluarsa. Saya tak tahu.

Ah, masalah, selalu membuat saya rindu pada kebebasan.

Tuhan, jauhkanlah saya dari rasa mengiri, atas kabar-kabar baik yang ditiupkan pada orang lain. Nyatanya saya masih baik-baik saja, tidak apa-apa. Mungkin kabar baik itu masih menanti saya dalam dimensi yang berbeda.

TUJU(AN)

Mungkin akan kau lihat aku tampak seperti kepayahan.
Ah, aku kian tak mengerti, mengapa tujuan itu masih serupa dengan teka-teki.
Sementara menjadi mati adalah (bukan) tujuan, sebab mati adalah pasti tanpa teringkari.
Mati (pun) hanya serupa jiwa yang memisah, terpaksa.
Dan aku masih tersaruk-saruk menyuruk, di tengah hening yang tiba-tiba menjelma hiruk,
memungut pengertian yang (tak) sengaja lepas berceceran.

Thursday, June 7, 2012

SIAPALAH AKU

Lalu, siapalah aku dalam labirin benakmu.
Jejakmu selalu lebih hitam dari malam-malam tanpa penerangan, menjadi ada yang ditiadakan.
Siapalah aku, yang pada tanah bisu masih menceracau menghardik sepi.
Memusuhi.
Aku benci, pada kaca retak yang masih tidak memberi jawaban.
Siapalah aku, mungkin tak lebih dari gumpalan urat yang terlekat.
Aku tercipta, oleh kehendak yang dipaksakan.
Satu, dua, tiga.
Pada hitungan empat aku berhenti, untuk apa.
Siapalah aku, yang tak pernah tiba pada jarak yang kelima.
Nyatanya aku ada, maka aku tidak sekadar bukan siapa-siapa.
Patah-patah ku berpikir. Mungkinkah aku sebuah adikarya yang tak terselesaikan.
Aku, abu.

Tuesday, June 5, 2012

TAK TERLIHAT

.Pic taken from random googling.

Seperti menulis di atas pasir, selalu ada gelombang air yang akan menyapunya. Seperti itulah, saat-saat dimana saya sedang butuh untuk menjadi tak terlihat, menjadi orang yang terakhir untuk dicari.

Saat-saat seperti ini adalah masa ketika saya merasa benar-benar sendirian. Sendirian dan tak terbela. Tinggal di kota mimpi ini, saya sudah terbiasa sejak dulu untuk menebalkan hati dan menulikan telinga, menyiapkan proteksi. Sudah berkali-kali saya mencoba pergi, mencari tempat lain yang lebih "ramah" untuk saya. Namun, semakin keras saya berusaha, saya makin menyadari bahwa saya sudah begitu terikatnya dengan kota mimpi. Saya masih tertahan di sini, di kota mimpi yang saya harap tidak akan menjadi kota tempat realitas saya kemudian berlanjut. Setidaknya dengan begitu saya tidak akan bertemu dengan orang-orang yang sama.

Siang tadi, tiba-tiba seorang teman kuliah (kini saya jadi bertanya-tanya, masih layakkah "dia" untuk saya sebut teman?) mengirim pesan singkat melalui telepon selular. Dia memarahi dan memaki-maki saya, atas akumulasi kesalahannya dan teman saya yang lain. Dia menyalahi saya atas ketidaktahuannya mengenai banyak informasi penting tentang perkuliahan yang sebenarnya sudah diketahui oleh hampir semua orang. Menurut dia, saya tidak becus dalam memenuhi tanggung jawab saya sebagai "Asisten Dosen". Asisten dosen apa? Tiba-tiba titel itu diberikan pada saya yang tidak tahu apa-apa, hanya karena saya dekat dengan beberapa dosen. Ini bukan pertama kalinya ia menyalahkan saya disebabkan oleh berbagai hal. Saya yang tak terima disalahkan terus oleh orang atas kesalahannya sendiri pun berang. Bisa-bisanya dia   yang tak pernah melakukan apa-apa untuk dirinya apalagi untuk orang lain    menyalahi saya atas kesalahan yang tidak saya lakukan. Dengan gemetar saya membalas pesan singkatnya dengan kata-kata cukup pedas, yang kemudian dibalasnya dengan lebih pedas. Saking marahnya, kepala saya tiba-tiba pening dan pertahanan saya jebol, saya menangis.

"Teman" saya itu beranggapan bahwa saya adalah orang yang harus tahu segalanya mengenai segala informasi perkuliahan. Sekali saja tidak ada update informasi, saya menjadi orang pertama yang disalahkan. Begitu pun bila ada suatu kegiatan di kelas, saya selalu menjadi seksi paling sibuk. Posisi saya adalah "sekretaris abadi", dimana saya bertugas untuk mengurus urusan birokrasi dan urusan-urusan pelik lainnya, di luar tanggung jawab resmi jabatan sekretaris. Bahkan terkadang saya merasa saya bekerja sendiri, dengan seluruh tanggung jawab banyak orang yang tiba-tiba dibebankan hanya pada saya. Sebenarnya saya tidak mau, tetapi saya masih punya rasa peduli, pada keadaan yang sudah sedemikian pasifnya. Konsekuensinya, saya harus siap menjadi bahan omongan banyak orang di kelas saya. Selain banyak yang bilang saya terlalu mendominasi, saya pun sering harus menelan paksa omelan, komplain bahkan caci maki dari banyak orang, atas apa-apa yang seharusnya bukan tanggung jawab saya. Padahal saya dibayar pun tidak.

Saya capek, saya tidak tahan dan saya sakit. Saya lelah menjadi orang yang tidak dihargai di kelas sendiri, padahal di luar saya lebih dihargai dan diapresiasi. Saya lelah untuk terus peduli dan berusaha untuk kepentingan orang lain, sementara orang tersebut hanya mampu menyalahkan atas apa-apa yang dirasa salah. Mungkin mereka hanya menganggap saya "pesuruh", sebagai lebah pekerja dan menjadi tempat penyalahan atas apa-apa yang berada di luar kendali. Dan terkadang bila saya sedang kesal, saya menganggap mereka manusia setengah parasit. Maka salah satu pengharapan saya yang terbesar adalah saya bisa cepat-cepat meninggalkan mereka di belakang, yang hingga kini hanya mampu berjalan di tempat.

Terkadang saya merasa lucu. Saya lebih nyaman berinteraksi dengan orang-orang di luar kelas saya. Mereka menerima saya apa adanaya, dan menilai saya atas kemampuan yang saya miliki, bukan hanya dari omong-omong kosong belaka. Dan entah mengapa, di sanalah saya bisa menemukan sedikit celah kebebasan.

Monday, May 28, 2012

BARBIE FACE

.Pic taken from random googling. 
"Barbie face. It's just a mask . . ."

Malam-malam begini, bukannya dihinggapi rasa kantuk, saya malah duduk diam-diam memandangi langit malam. Rasanya damai, ketika saya menatapi langit. Damai yang bukan dipaksakan.

Terkadang berat rasanya untuk menjadi perempuan, dimana urusan hati dan perasaan lebih sering mendominasi dibandingkan dengan logika. Sekeras apapun untuk mengelak, seorang perempuan pasti memiliki sisi kepalsuan yang ditutup-tutupi, the part that covered by the "mask", like barbie face. Ya, seorang perempuan pasti pernah memiliki satu kepalsuan dalam senyumnya, sebagai tameng dalam menghadapi rasa takutnya.

Saya bingung, dan saya takut, hingga beberapa malam lalu saya terlelap dengan gemetar. Kemana saya harus bertanya di persimpangan, ketika semua orang terlalu sibuk saling menuding? Sementara pikiran saya sudah menyerupai karet, rasanya alot dan melar kesana kemari.

Ya, persimpangan itu, ketika saya kembali dihadapi pada dua buah pilihan sulit, seperti buah simalakama. Sementara efek dari apapun keputusan saya akan sangat mungkin mempengaruhi kehidupan saya bertahun-tahun yang akan datang.

Apakah saya sanggup untuk berani memberanikan diri?
Ah, jika hal kecil saja saya tak mampu, bagaimana dengan hal-hal yang besar . . .
Karena sesungguhnya orang-orang yang mampu mengubah dunia adalah orang-orang berani.
Mungkin saya harus berani untuk ke luar zona nyaman keperempuanan saya, dan melepaskan topeng "barbie face" itu . . .


*Ditulis oleh saya, yang sudah terlalu lama bengong menatap langit, sambil mikirin (calon) skripsi dan tanggung jawab lain yang sama beratnya dengan urusan skripsi itu . . .

Wednesday, May 23, 2012

KUNCI DAN MEMORI

Semenjak kecil, saya sangat mencintai tulisan. Tulisan apa pun akan saya baca hingga tuntas. Saya masih ingat dengan buku pertama saya, yang bahkan daftar isinya saja pun saya baca dan saya renungi dalam-dalam walaupun saya belum mengerti benar apa maksud dari banyaknya tanda titik yang memanjang dari kiri ke kanan. Dulu buku-buku "koleksi" saya banyak yang rusak dan tidak utuh lagi, karena terlalu sering saya baca. "Koleksi" buku saya yang tidak seberapa itu ternyata tidak mampu memuaskan rasa penasaran saya akan tulisan.

Bagi saya, tulisan itu adalah kunci dan memori, sebagai penjelasan akan apa-apa yang tidak saya ketahui, sehingga dapat memuaskan rasa keingintahuan saya. Rasa suka saya terhadap tulisan yang tertuang dalam bentuk buku pun melebihi rasa suka saya terhadap uang, makanan, bahkan mainan. Saya ingat ketika saya SD dulu, saya adalah satu-satunya pengunjung setia perpustakaan di sekolah. Hampir di setiap waktu istirahat saya pergi ke perpustakaan sekolah yang hampir tidak pernah dijaga, walaupun perpustakaan sekolah ini memiliki koleksi buku yang tergolong banyak untuk ukuran sekolah di pinggiran kota. Bahkan terkadang saya meminjam beberapa koleksi buku dari perpustakaan tanpa izin, karena memang tidak ada yang menjaga.

Saking sukanya dengan tulisan, ketika masa-masa SD itu saya sudah berlangganan majalah mingguan yang saya bayar sendiri, dengan harga satu majalah yang hampir mencapai setengah dari uang saku saya selama seminggu. Saya pun sering diajak oleh ibu saya ke perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Di tempat itulah saya mulai mengenal buku-buku dan majalah sastra. Saya sangat menyukai kata-kata kiasan yang "indah" dan "misterius" dalam berbagai tulisan sastra, walaupun saya tidak mengerti apa makna dibalik kata-kata tersebut. Dan cita-cita serius pertama saya pun muncul: menjadi seorang penulis.

Saat saya memasuki jenjang SMP dan SMA, saya menghabiskan sebagian besar uang saku bulanan saya yang tak seberapa untuk menyewa banyak buku. Bahkan selama beberapa tahun saya sempat dijuluki bandar novel oleh teman-teman saya, karena saya selalu membawa novel kemana pun saya pergi. Saat itu saya tahu berbagai macam novel populer maupun nonpopuler, dari kelas ecek-ecek hingga yang memiliki nilai sastra tinggi. Cita-cita saya pun bertambah, selain menjadi penulis, saya pun ingin menjadi editor dan penerjemah buku. Alasannya, karena saya ingin menjadi orang yang paling pertama membaca tulisan orang lain. Ya, saat itu rasa haus saya akan tulisan dan buku sangatlah besar.

Sayangnya, passion saya ini mulai memudar ketika saya memasuki jenjang perkuliahan. Pada awalnya, cita-cita saya untuk menjadi penulis kurang disetujui oleh orang tua saya. Mereka menganggap bahwa menulis tidak dapat dijadikan sebuah pekerjaan dan tidak menjanjikan. Bahkan keinginan saya untuk masuk sastra pun terkesan ditentang, hingga akhirnya sekarang saya masuk ke jurusan yang saya pilih sendiri dan disetujui oleh orang tua saya, walaupun dengan agak terpaksa. Memang, sedari dulu orang tua saya telah mengarahkan saya ke beberapa jurusan yang menurut mereka baik. Namun ternyata saya tidak berjodoh dengan jurusan-jurusan pilihan mereka. Maka di sinilah saya, melanjutkan studi di sebuah jurusan bercorak ilmu sosial, yang berdampingan dengan jurusan sastra.

Jujur, saya iri dengan beberapa teman saya yang menggeluti bidang sastra. Saya yang hanya memiliki kemampuan pas-pasan dalam menulis dan tidak memiliki banyak ilmu pun kagum dengan beberapa teman saya yang sanggup membuat berbagai tulisan apik nan manis. Saya sering iri dengan mereka-mereka yang mempelajari sastra secara mendalam. Selama ini, waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk membaca dibandingkan menulis. Ya, mungkin saya memang hanya masuk ke dalam golongan penikmat hasil karya sastra, bukan pencipta karya sastra.

Tuesday, May 22, 2012

PUTARAN WAKTU

"Mungkin mereka kini sudah menganggap saya angin lalu, antara ada dan tiada."

Jadi tadi malam, saya baru menghadiri pertemuan salah satu organisasi yang saya ikuti. Awalnya saya enggan, tapi berhubung saya masih merasa memiliki tanggung jawab, jadi saya datang saja, bersama satu teman saya yang memang sedari dulu sudah tidak pernah datang lagi ke perkumpulan organisasi tersebut. Dulu, saya pernah menganggap sekumpulan orang dalam organisasi ini adalah keluarga saya. Saya begitu bahagia di sana, bahkan saya rela untuk menghabiskan sebagian besar waktu saya, konsentrasi saya, hingga hati dan pikiran saya. Tetapi ternyata, rasa yang saya miliki terlalu tinggi, terlalu melambung hingga saya tidak siap betul ketika tiba-tiba saya harus menghadapi rasa kecewa yang luar biasa terhadap keluarga saya ini.

Saat-saat seperti ini merupakan saat perenungan bagi saya. Saya rindu masa-masa dulu, ketika keluarga saya ini masih dipenuhi oleh orang-orang yang saling peduli, dimana keluarga saya ini sempat menjadi satu alasan akan sebagian besar senyum saya di kota mimpi ini. Saya bisa lepas, bebas, bersama keluarga saya ini. Namun, karena keegoisan beberapa pihak dan kurangnya komunikasi yang mendalam, satu persatu anggota keluarga saya pun menghilang. Kini saya merasa sendirian dalam keluarga itu, di tengah sekumpulan anggota keluarga baru yang tidak saya kenal, dengan beberapa anggota keluarga lama yang kini sudah demikian egoisnya dan terlalu kaku bagi saya. Hubungan ini sudah sebegitu dinginnya sehingga saya terlalu enggan untuk menapakkan kaki di "rumah" keluarga ini yang dulu selalu saya sambangi hampir tiap hari, siang hingga malam. Dan dengan perlahan-lahan, saya mulai meninggalkan dan ditinggalkan oleh keluarga ini.

Ketika tadi malam saya dan teman saya datang lagi ke "rumah" itu, kami tidak lagi merasakan suasana hangat seperti dulu. Kehadiran kami seperti tidak ada gunanya, padahal itu merupakan salah satu bentuk kepedulian kami yang tersisa terhadap keluarga kami itu. Kedatangan kami tidak disambut apapun, bahkan hanya untuk sapaan kecil belaka. Padahal kami termasuk "tua" dalam keluarga ini. Pada akhirnya, di tengah perkumpulan ini kami malah sibuk saling bertukar pesan melalui gadget kami, mengenai ketidaknyamanan kami akan keluarga ini, serta tentang berbagai alasan keluarnya teman-teman kami yang lain dari keanggotaan keluarga ini. Kami yang masih peduli dan mau mengulurkan tangan untuk membantu seperti dimanfaatkan oleh mereka. Kami sempat berjuang untuk mereka, namun yang kami dapatkan hanya penyalahan atas apa-apa yang telah kami kerjakan dan perjuangkan. Saya sendiri merasa tidak begitu dihargai, ketika dulu ada satu beban tanggug jawab berat yang tiba-tiba diserahkan begitu saja pada saya dan teman saya, tanpa memikirkan perasaan kami. Padahal beban tersebut adalah tanggung jawab orang lain, sehingga kesalahan-kesalahan orang tersebut juga turut ditimpakan pada kami yang tidak tahu apa-apa. Kami pun menerima, karena kami dulu masih mengganggap bahwa perkumpulan ini adalah keluarga kami. Tetapi, dalam lanjutan waktu, kami sudah tidak merasa lagi bahwa keluarga ini adalah keluarga kami. Keluarga kami telah hilang, mungkin terhapus oleh waktu yang kian menua.

Ya, kehidupan itu siklis, tak pernah terdiam dalam ruang posisi yang sama.

Friday, May 18, 2012

BERUBAH

"Waktu berubah, hidup berubah, begitu pun dengan percakapan kita."

Sudah lumayan lama saya tidak pulang, beberapa bulan yang rasanya telah mencapai berlipat-lipat. Sudah lama juga saya tak berinteraksi lagi dengan teman-teman lama saya secara intens. Dan ketika kami saling menyapa kembali dalam suatu pertemuan yang memang telah lama disengajakan, semua terasa tak sama, terlalu berbeda. Bukan lagi masalah fisik dan penampilan yang kini telah tumbuh semakin matang, tetapi perbedaan ini muncul ketika topik pembicaraan pun menyentuh hal-hal yang melahirkan tanda tanya. Melahirkan tanda tanya bagi saya, karena jarak fisik kami yang terbentang begitu jauh sehingga menyulitkan saya untuk mengetahui kabar-kabar terbaru dari orang-orang dalam kehidupan lama saya.

Pagi-pagi sekali, dalam usaha saya dengan ibu saya untuk menghidupkan dapur rumah kami, tiba-tiba ibu saya memulai percakapan mengenai salah satu teman lama saya, yang kini katanya telah hidup berumah tangga. Teman saya ini, yang semenjak saya masih belajar membaca telah menjadi teman duet saya dalam segala permainan kanak-kanak, telah memiliki momongan yang umurnya lebih dari setengah umur kuliah saya di kota mimpi. Saya yang baru mendengar kabar ini pun kaget. Saya baru ngeh, ternyata inilah jawaban dari sukar ditemukannya teman saya yang satu ini, baik dari pintu rumahnya yang selalu tertutup dan berpagar tak ramah, maupun dari jejaring sosial yang kerap saya gunakan untuk mencari teman saya itu.

Sore hari, ketika menyusuri waktu dimana matahari berbatasan dengan malam, saya dan teman-teman saya terdampar di sebuah toko roti di pinggir jalan. Kami duduk berdampingan fisik, dengan hati yang kini mulai berjauhan. Tidak ada yang kami lakukan, kecuali sibuk dengan gadget masing-masing dan sesekali melontarkan percakapan kaku. Tidak jelas memang. Dan dalam ketidakjelasan itu masing-masing dari kami mencoba untuk menemukan tujuan dari pertemuan ini. Teman-teman saya pun mendapatkan satu topik untuk diobrolkan. Namun, jarak saya yang terlampau jauh membuat saya menjadi satu-satunya orang yang banyak diam hari itu. Apa lagi kalau bukan karena saya yang kurang mengerti isi dari percakapan mereka. Bahkan terkadang saya merasa sedikit asing dengan bahasa percakapan di kota lama saya ini. Apakah saya sudah terlalu terikat dengan kota mimpi?

Ternyata perantauan saya ke kota mimpi sanggup untuk menceraiberaikan kehidupan di kota lama saya. Hati saya masih tertinggal di sini, namun belum tertata kembali untuk menyamai pikiran-pikiran yang telah berkembang berlainan arah dengan saya. Menyebalkan, jujur saja, ketika saya menjadi orang yang tiba-tiba banyak diam dan baru berbicara ketika ditanya. Teman-teman saya itu memang sering bertanya, terutama mengenai kehidupan saya di kota mimpi. Ah, tak tahukah mereka bahwa dengan kepulangan ini justru saya ingin membunuh kepenatan dari kota mimpi, bukannya malah mengenangnya kembali dalam setiap jawaban yang mau tak mau harus saya lontarkan.

Semuanya masih terdiam dalam gradasi perubahan dan ketidakberubahan. Kota lama saya masih sama, begitu pula dengan hati saya. Hanya saja, arah percakapan ini telah mulai berubah tak sama. Apakah ini karena jarak, yang juga turut membedakan arah pertumbuhan kedewasaan, dengan saya yang agak tertinggal di belakang.

Monday, May 7, 2012

SEDIKIT KELUHAN

Hal-hal yang menyebalkan ketika harus berurusan dengan birokrasi kampus adalah:
  • Lamaaaaa. Tapi saya masih berpikir positif saja. Mungkin mereka memang sibuk, dan banyak yang antri untuk dilayani.
  • Dilempar kesana-sini, dari orang satu ke orang lainnya.
  • Alur pengecekkan berkas menurut saya agak menyulitkan dan sedikit ribet.
  • Berkas dibilang salah. Satu dua kali, saya pikir memang kesalahan saya. Tapi ini kok sudah berkali-kali masih dibilang salah juga. Saya jadi mondar-mandir terus buat revisi.
  • Revisi berkas kayak dicicil, diperiksa satu-satu, tidak secara keseluruhan. Untung stock sabar saya masih banyak.
  • Banyak misscomunication dan missunderstanding. Kata Ibu A, berkas sudah benar. Tiba-tiba Ibu B bilang kalau berkas masih salah, haduh.
  • Peraturan untuk setiap orang berbeda. Saya tanya pada si C, katanya dia boleh mengumpulkan berkas satu rangkap. Lha saya yang sudah mengumpulkan berkas satu rangkap, kok disuruh bikin 2 rangkap, harus asli, tidak bisa foto kopi. Jadinya saya harus mulai dari awal lagi.
  • Setelah proses yang begitu lama dan melelahkan, tiba-tiba di akhir proses saya agak dimarahi karena dianggap telat mengumpulkan berkas. Saya hanya bisa menyimpan rasa sebal saya dalam hati, lha yang mempersulit dari awal itu sebenarnya siapa??
  • Peraturan hampir setiap tahun ganti. Tetapi kok saya yang malah dimarahi, cuma gara-gara saya belum mengerti peraturan yang baru.
  • Ini pendapat pribadi, tetapi menurut saya, ada beberapa petugas yang kurang ramah, dan kesannya mengolok-olok ketika saya melakukan kesalahan. Bahkan ada teman saya yang bilang begini, "Kalau lagi mengurus masalah birokrasi di bagian ******** dan dipersulit, bentak saja mbaknya. Mbaknya tuh memang harus dikasarin sedikit, kalu nggak, nanti dia semakin ngelunjak."
  • dll, dll, dll.
Dari sekian keluhan tersebut, tidak semua birokrasi kampus itu menyulitkan kok. Masih ada orang-orang yang mau bekerja sama, dan lebih welcome terhadap mahasiswa. Tetapi saya sebal dengan petugas-petugas yang merasa dirinya superior karena merasa dibutuhkan oleh para mahasiswa. Tolonglah, di sini kita bekerja bersama, dalam satu naungan lembaga pendidikan. Saya harap, tidak ada lagi bentrok antara mahasiswa dan pihak birokrasi. Mungkin mahasiswa memang memiliki banyak kesalahan dan masih buta soal birokrasi, tetapi alangkah baiknya jika kedua pihak saling membantu. Jadinya kan tidak ada yang sebal-sebalan seperti ini.

Monday, April 30, 2012

HARI INI

Gerimis sore ini cantik.
Saya suka dengan moment-moment seperti ini. Cuaca mendung dengan angin dingin yang sedikit kencang, dan dihiasi dengan gerimis yang masih malu-malu. Langit begitu abu-abu, tidak lagi menyuguhkan terik yang terlalu menyilaukan. Tadi saya sempat berjalan-jalan sebentar, membiarkan gerimis menghujani saya. Saya rindu berbasah-basahan dengan air hujan.

Cuaca hari ini memberikan kesempatan bagi saya untuk bisa menikmati nyamannya rasa hangat, dengan ditemani semangkuk sup dan susu cokelat hangat. Tidak perlu lagi menyalakan kipas angin untuk meredakan rasa panas. Rasanya kali ini saya ingin bergelung di balik selimut untuk terlelap sejenak, melupakan kepenatan dan rasa pegal yang terus menumpuk dalam minggu-minggu terakhir ini.

Saya jadi ingat rumah, dengan suasana dingin pascahujan seperti ini. Kota saya memang memiliki cuaca yang lebih dingin, lebih sejuk, karena berada di dataran tinggi. Airnya pun hampir sedingin es. Beda dengan di kota mimpi di mana saya tinggal kini. Pada masa-masa awal kepindahan saya, untuk mandi saja berasa memakai air hangat. Bahkan dulu saya tidak tahan untuk tidur tanpa menyalakan kipas angin. Pikir saya, lebih baik saya tidur di lantai.

Saya rindu rumah. Saya rindu kota lama saya dengan cuaca dinginnya. Saya rindu sawah-sawahnya, kebun tehnya, dan pemandangan hijau di mana-mana.

Jadi judulnya hari ini saya sedang merindu. Hujan seperti ini memang selalu membangkitkan rasa rindu.

Friday, April 27, 2012

ARMS



Entah kenapa, saya langsung suka dengan lagu ini, ketika pertama kali saya mendengarnya melalui laptop teman saya, walaupun pada awalnya saya agak kurang sreg dengan konsep videonya. Jadinya untuk beberapa hari ini, lagu ini menjadi salah satu lagu yang sering saya nyanyikan pelan-pelan.

PERJALANAN KERETA

 .Pic taken from random googling.

Tiba-tiba hari ini saya rindu naik kereta api. Kereta api kelas ekonomi, bukan bisnis maupun eksekutif. Bukan kenyamanan yang saya cari, tetapi pengalaman. Pengalaman berkipas-kipas kepanasan sembari melihat orang-orang dengan berbagai jenis karakter yang tak selalu sama. Bahkan dulu, ketika kereta api ekonomi tak senyaman sekarang (dengan tempat duduk untuk masing-masing orang), selalu saja ada pegalaman baru yang terkadang terasa mengesalkan, namun menjadi lucu ketika diingat-ingat kembali.

Dulu sewaktu saya kecil, saya sering naik kereta api, terutama kala waktu mudik tiba. Saya masih ingat, ketika dulu para penumpang masih duduk bertumpah ruah di kursi dan lorong kereta, bahkan hingga ke dalam toilet yang selalu berbau pesing. Berdesak-desakan dengan terpaksa bersama para pedagang, pengamen, bahkan pengemis yang setiap hari menaruh harapan pada gerbong-gerbong kereta.

Pada tahun-tahun pertama saya di tanah rantau, saya kembali menumpang kereta, seolah-olah menelusuri jejak masa kecil saya yang sempat tertinggal sepanjang alur rel. Saya pergi ke arah timur, menjauhi kota mimpi yang tertinggal di ujung rel yang tertelan rob. Saat itu saya hanya mendapat tiket berdiri. Inilah sulitnya untuk tinggal di kota yang hanya menjadi tempat singgah. Berada di tengah, tidak mengawali atau menjadi akhir dari tujuan. Tiket berdiri itu ternyata hanya mengizinkan saya untuk duduk bersandar di lorong. Dengan beralas koran bekas dan memeluk ransel, sembari berdoa agar tidak terinjak oleh penumpang lain.

Kereta, salah satu kendaraan yang tak pernah membuat saya mual karena mabuk. Mungkin karena saya terlalu sibuk mengejar bayangan matahari yang terbias dalam retakan jendela kusam.

Bagian favorit saya adalah ketika kereta melewati kelokan tajam, terowongan, dan jembatan panjang. Saya ingat dulu ketika saya kecil, saya suka sekali berdiri dan menjulurkan kepala ke luar jendela, sembari mengawasi kepala kereta yang berbelok. Kala itu angin menderu-deru di telinga saya, terasa menakjubkan. Atau ketika kereta melewati sungai lebar, memadukan kecepatan dengan cahaya matahari yang terpantul pada permukaan air. Cantik.

Kereta ekonomi adalah kereta yang dikalahkan. Kereta tanpa waktu perjalanan pasti. Saya ingat betapa dulu dengan mudahnya saya dibohongi oleh orang tua saya, ketika saya protes saat kereta tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Mereka bilang, ban kereta sedang bocor, jadi saya harus bersabar untuk menunggu petugas menambal ban. Dan dengan lugunya saya menelan mentah-mentah omongan tersebut.
Ah, saya rindu moment itu.

Kereta ekonomi ini membawa saya ke sisi lain kehidupan yang lebih nyata. Ia memberikan pemahaman tersendiri akan hidup. Kereta inilah yang menjadi saksi keberanian saya saat sengaja meninggalkan kota mimpi, melawan rasa takut akan ketidakmandirian saya. Bahkan mengajarkan saya lebih ketika akhir perjalanan kereta ini mengantar saya untuk setengah terlelap di kursi tunggu stasiun, menanti fajar.

Ah, bukankah terlalu terburu-buru pun tak selamanya baik. Kereta ekonomi mengajarkan saya bahwa kehidupan pun memiliki alur seperti perjalanan kereta ekonomi ini. Bukan hanya pencapaian tujuan yang menjadi hal penting, tetapi perjalanan dalam pencapaian itu. Perjalanan yang tak selalu mulus, tetapi menawarkan makna lebih bagi hati yang lebih memahami.

Tuesday, April 24, 2012

DARADANGDUT

.Pic taken from here.

Masih ingat dengan sang raja dangdut ini?

Jadi, jadi, sore tadi saya habis ngobrol macam-macam sama teman-teman saya di kantor redaksi Hawe, sampai kemudian berlanjut di pinggiran sendang fakultas dan meja angkringan. Berawal dari puisi dan karya sastra Indonesia, novel lupus, film dan cerita horor, sampai masuk ke topik musik asli ala Indonesia: musik dangdut.
Kok tiba-tiba saya jadi kepikiran buat bikin skripsi tentang perkembangan musik dangdut ya? Kayaknya menarik deh, hehe :D

Di wikipedia, disebutkan bahwa sejarah musik dangdut ini berawal dari musik Qasidah yang terbawa oleh agama Islam yang masuk ke Nusantara pada sekitar abad 7-17 M, dan Gambus yang dibawa oleh migrasi orang Arab pada abad 19. Jenis musik ini dipengaruhi juga oleh musik dari Amerika Latin dan India. Sekitar tahun 1960, pengaruh barat masuk dengan ditandai oleh penggunaan gitar listrik. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka oleh pengaruh bentuk musik lain, baik keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.

Bagi orang Indonesia, musik dangdut kini telah mengalami perubahan makna. Jenis musik yang identik dengan gendang dan suling ini sering dianggap sebagai musik rendahan, dan penikmatnya pun dapat dikatakan menjadi suatu kelompok yang termarginalkan. Anggapan merendahkan terhadap jenis musik ini bisa dibilang disebabkan oleh anggapan bahwa musik dangdut adalah milik orang-orang dengan ekonomi yang di bawah rata-rata. Ya, budaya dangdut di Indonesia sendiri kini telah hampir terpinggirkan oleh budaya musik lain, terutama oleh musik-musik berjenis mainstream, seperti pop, dll.

Saya sendiri tidak suka dengan dangdut. Tetapi saya tidak suka dangdut bukan dikarenakan oleh anggapan bahwa dangdut adalah musik rendahan. Saya tidak suka karena menurut saya musik dangdut kini sudah tidak murni lagi. Lihat saja, penyanyi-penyanyi dangdut saat ini rata-rata berdandan seronok dan menurut saya agak (maaf) vulgar. Bahkan kualitas suara kini sudah tidak lagi menjadi perhatian yang utama. Padahal bagi saya, musik itu dinikmati dengan cara didengar, tidak hanya di lihat. Bahkan terkadang saya tak peduli dengan rupa sang penyanyi, yang terpenting adalah suara dan lagunya dapat memanjakan telinga saya.

Gara-gara penampilan para penyanyi dangdut itu, saya jadi tak lagi menyukai dangdut. Bahkan terkadang hanya untuk mendengarnya saja sudah malas. Padahal sewaktu saya kecil, saya sempat menyukai musik dangdut, yang kala itu lagu dan penyanyinya masih tergolong 'sopan'.

Masih ingat dengan musik dangdut pada masa Rhoma Irama? Bagi saya, itu adalah zaman keemasannya musik dangdut. Kala itu, musik dangdut masih dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Liriknya pun masih 'ramah' dan memang mencerminkan karakter orang Indonesia. Perhatikan saja, meskipun lirik lagu dangdut kerap diwarnai oleh kisah percintaan, namun bila dilihat lebih teliti lagi, lagu dangdut pun sarat akan cerminan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Ok, kembali lagi ke soal rencana skripsi saya. Akhir-akhir ini saya memang sedang bingung dengan rencana skripsi saya. Kepinginnya sih saya mengangkat topik mengenai sejarah maritim, karena saya suka laut dan kebudayaan orang-orang di sekitarnya. Tetapi entah kenapa saya tadi kepikiran untuk mengangkat dangdut, sebagai musik kaum marginal. Tentang bagaimana musik dangdut dan kaum marginal itu saling mempengaruhi. Ya, ini hanya sebuah ketertarikan awal saja sih. Saya yang tidak suka dangdut jadi merasa tertantang untuk mengangkat musik yang satu ini. Tetapi saya masih ragu juga, karena tema ini rawan sekali tersangkut pada hal kajian antropologi. Padahal saya justru ingin mengangkat dari segi sejarahnya, mengenai perkembangan dari masa ke masa. Seperti sebuah siklus, berawal dari tunas-tunas kehidupan, masa keemasan, hingga masa-masa layu, dimana musik ini tetap bertahan, walau tak lagi 'seindah' dulu.

Saya bingung. Sepertinya saya masih harus berpikir keras untuk menentukan tema (calon) skripsi saya . .

LUCU

Terasa lucu, ketika saya bahkan sudah tidak nyaman lagi dengan tempat saya.
Apa saya harus mencari tempat baru?

Masalah memang datang dari kehidupan sosial manusia. Entah kenapa, kemarin saya dan teman saya ribut hanya kesalahpahaman yang sepele. Saya yang sering sibuk sehingga hanya punya waktu sedikit untuk saya habiskan dengan teman saya itu. Tetapi kemarin ketika saya mencoba menyisihkan waktu saya untuknya, dia malah malas-malasan. Saya bertanya kenapa, dan dia balik menyalahkan saya. Dan hingga kini kami masih diam-diaman.

Entahlah, siapa yang salah. Saya sudah minta maaf, karena saya tidak ingin ribut dengan teman saya sendiri. Tetapi dia tidak pernah membalas pesan saya itu. Jujur saja, saya kesal.

Kata teman saya yang lain, memang sifatnya seperti itu. Sering ngomel-ngomel, jadi harap maklum. Tapi saya merasa kenapa saya harus memaklumi sifat buruknya yang seperti itu. Saya yang harus memberi pengertian, tetapi dia sendiri tidak pernah mencoba untuk mengerti perasaan orang lain.

Saya memang seperti tak pernah memilikinya sebagai teman. Dia hampir tidak pernah ada ketika saya sedang kacau. Dia lebih sering menyalahkan dan mengomeli saya atas apa-apa yang saya kerjakan, bukannya membantu dan menemani saya.
Mungkin karena kehidupan kami berbeda. Saya lebih suka bebas dan ke luar dari zona nyaman, sementara dia lebih suka untuk tidak keluar dari dunia rumahannya.

Yah, kata 'teman' itu sendiri sekarang memang kini telah terjual atas dasar 'kepentingan'.

Thursday, April 19, 2012

MEREKA

Hai D.
Keadaan saya semakin memburuk akhir-akhir ini. Saya masih merasa sakit D, baik fisik maupun urusan hati . . .

D, saya lelah. Saya lelah untuk berjuang sendiri, tanpa dibela. Lelah rasanya ketika saya harus terus berjuang untuk kepentingan orang banyak, namun bahkan mereka sendiri tidak mau peduli. Saya capek D, untuk terus menerus menjadi boneka permainan mereka.

Berat rasanya untuk berada di lingkungan yang salah dan menyalahkan. Saya merasa sepi D, karena bahkan kehadiran mereka hanya menempati batas antara ada dan tiada. Secara fisik mereka ada, tetapi naluri saya kerap mengatakan bahwa mereka tidak ada.

Mereka tidak pernah ada untuk saya, sedangkan mereka selalu memaksa saya untuk tetap ada bagi mereka . . .

D, sakit sekali rasanya, ketika saya harus berjuang sendirian, namun pada akhirnya menjadi satu-satunya orang yang disalahkan, bahkan untuk hal-hal di luar kendali saya. Lebih sakit lagi ketika saya melihat orang lain lah yang diberi penghargaan atas semua kerja keras saya.

D, apakah salah bila saya ingin membuktikan diri? Apakah salah bila saya ingin dikenal dari apa-apa yang telah saya lakukan . . .
Mereka tidak pernah mau menghargai saya D, karena menurut mereka saya aneh, saya sok sibuk, bahkan saya dikatai tidak normal, hanya karena saya memegang teguh prinsip-prinsip saya, yang menurut mereka tidak pantas untuk seorang perempuan.

Saya sakit, D . . .

Sudah sejak lama saya mencoba tak peduli D, tetapi nyatanya saya masih punya hati, yang bisa merasakan semua emosi tanpa terkecuali.
Sementara saya ingin meninggalkan mereka pun masih tidak bisa . . .

Wednesday, April 4, 2012

LIVE A LIFE

.Pic taken from random googling.

"Dua puluh tahun dari sekarang kau akan lebih menyesal atas apa-apa yang tidak pernah kau kerjakan dibanding atas apa-apa yang kau kerjakan."
- Tere Liye (Senja Bersama Rosie) -

Masih tetap pada cerita yang sama. Jadi kemarin, ada satu orang teman saya yang bilang bahwa saya adalah orang yang tidak normal. Dia mengatakan itu dengan cara-cara yang menurut saya menjelek-jelekkan dan merendahkan saya. Dengan entengnya dia menghakimi saya seperti itu. Dia yang sok tahu akan kehidupan dan pribadi saya, padahal interaksi dia dengan saya bisa dibilang jarang. Dia yang selama ini hidup dalam zona nyaman tanpa masalah yang di dalamnya termasuk juga rutinitas yang membosankan dan kegiatan yang tidak berguna. Dan dia, kemarin berhasil membuat mood saya buruk selama seharian penuh. Saya sakit hati, walaupun menurutnya perkataan itu hanyalah candaan, tetapi bagi saya kata-katanya itu adalah suatu bentuk penghakiman.

Menurutnya saya tidak normal, hanya karena saya tidak sama dengan perempuan lainnya yang sibuk mempercantik diri dan bersikap sok manis. Menurutnya, sebagai perempuan saya terlalu berani, terlalu mandiri. Padahal menurut saya, dia sebagai laki-laki namun tak memiliki nyali yang cukup untuk melakukan hal-hal baru, untuk menghidupkan hidup. Saya marah, pada perkataan sok tahunya tentang saya, padahal dia tidak pernah benar-benar mengenal saya.

Teman saya itu, yang hidupnya terlalu aman dan seperti tanpa masalah, menghakimi saya atas hal-hal yang telah saya lakukan, namun tidak pernah dia lakukan. Dia menyalahi saya karena saya lebih berani untuk keluar dari zona aman saya untuk menikmati hidup, dan dia terlalu takut untuk melihat dunia luar. Menyedihkan, bagaimana seseorang bisa menjadi begitu sok tahu akan kehidupan orang lain tanpa pernah mengerti kerasnya kehidupan di luar zona nyamannya.

Baginya, hidup itu harus santai, mengalir saja. Dan sepertinya dia agak tidak suka dengan saya yang terkadang cenderung menentang arus. Ya, saya punya pendirian dan tujuan, sementara bagi saya, hidup mengikuti arus itu seperti hidup tanpa tujuan, seperti sayur yang tidak pernah dipanaskan, basi!

Saya sangat kesal, pada orang-orang yang suka menghakimi orang lain, atau ikut campur dalam urusan orang lain. Mereka sering bertindak seperti hidup merekalah yang paling sempurna, atau diri merekalah yang paling benar. Padahal bagi saya, terkadang mereka yang suka menghakimi malah memiliki hidup yang terlalu statis dan terlalu kosong, seperti kanvas yang tidak sengaja tertinggal di sudut gelap gudang. Mereka tidak benar-benar hidup, sehingga harus ikut campur atas hidup orang lain.

So pathetic!


P.S. Hingga sekarang saya masih kesal dengan teman saya itu. Bisa-bisanya dia menjelek-jelekkan saya, melihat saya hanya dari satu sisi, seakan-akan dia itu Tuhan yang tahu segalanya.

WONDERLAND

.Pic taken from here.

"Yeah, we're not living in wonderland"

Friday, March 30, 2012

YANG HILANG DARI DUNIA

Terkadang bila rasa anti sosial saya muncul, saya diam mengunci diri. Dunia pribadi saya terlalu ramai sehingga saya tidak sanggup untuk menemui keramaian yang sesungguhnya. Saya sering rindu pada sepi, membutuhkan waktu dimana hanya ada saya sendiri, tanpa gangguan. Sering saya pergi, melarikan hati saya tanpa tujuan pasti di senja hari. Berjalan sendirian, sementara hati saya terlalu penuh sehingga harus tumpah meninggalkan jejak yang mengalir. Saya tak peduli dengan orang-orang yang berpapasan dengan saya di tengah jalan. Saya tak peduli dengan tatapan aneh mereka, kala melihat seorang perempuan berjalan sendirian sambil menatapi langit. Karena kala itu, saya tengah sibuk berdialog dengan langit.

Karena saat sendirian itu saya merasa bebas. Tidak ada yang bertanya atau menuntut penjelasan, dan membebani saya dengan berbagai masalah. Ya, pundak dan hati saya mungkin seharusnya tak memiliki batas, tetapi batas itu telah ada, entah kapan munculnya.

Masalah mengajari saya untuk berhati-hati, karena hati setiap orang memiliki corak yang berbeda. Putih bersih itu hanya mitos, bahkan bagi orang paling suci sekalipun. Masalah mengajari saya untuk tak mudah percaya, karena terkadang bahkan seorang manusia bisa menjadi sebegitu jahatnya hingga mampu menikam dari belakang, tanpa peringatan. Karena bahkan masalah pun sering terwujud atas interaksi antar sosialis.

Masalah-masalah itu menciptakan sifat anti sosial pada saya sebagai bentuk reaksi penolakkan. Entah mengapa, terkadang dunia kecil saya itu bisa menawarkan rasa aman, suatu rasa yang sulit saya temukan di dunia nyata. Ya, bagi saya rasa aman itu ternyata begitu mahal.

Tetapi terkadang saya pun benci rasa sepi itu. Karena ternyata, berbaikan dengan masalah pun membuat saya lebih mengerti arti dari hidup dan kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan kebahagiaan semu yang sering bertentangan dengan realitas.

Dan terkadang saya merasa ada yang hilang dari dunia, ketika saya memutuskan untuk menyepi.

Sunday, March 25, 2012

TUHAN

Tuhan . . .
Aku takut.
Tolonglah aku, Tuhan . . .

Thursday, March 22, 2012

PEREMPUAN DALAM KODRATNYA

Banyak yang bilang bahwa perempuan, bagaimanapun kerasnya dia berusaha, tetap tidak akan pernah dan tidak boleh memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari laki-laki. Karena sudah menjadi kodrat seorang laki-laki untuk menjadi pemimpin. Entahlah, saya tak tahu apakah statement ini muncul sebagai keegoisan laki-laki atau ketidakberdayaan perempuan.

Dulu, entah kapan mulanya, ibu saya sering menasihati saya, bahwa perempuan sekarang haruslah punya pekerjaan sendiri dan tidak bergantung pada laki-laki. Karena faktanya kini jumlah laki-laki dan perempuan tidaklah imbang. Perempuan sekarang harus lebih mandiri, lebih cerdas, karena belum tentu ada laki-laki yang bertanggung jawab dan masih bisa untuk menjadi pemimpin bagi hidup seorang perempuan. Karena hidup itu tidak seperti dongeng-dongeng pengantar tidur yang selalu live happily ever after.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak harus mandiri bila memiliki suami yang mapan atau memiliki kedudukan tinggi. Namun, bagaimana bila suatu hari suami yang dianggap ideal tersebut ternyata pergi atau tak sanggup memenuhi kewajiban untuk memberikan nafkah bagi perempuan dan anak-anaknya? Bagaimana dengan laki-laki yang tak bisa memberi rasa aman bagi perempuan, haruskah seorang perempuan tetap bergantung pada laki-laki tersebut? Bahkan banyak kasus perempuan-perempuan yang diposisikan sebagai boneka bagi para laki-laki hanya karena terlalu bergantung pada laki-laki.

Bagi saya, perempuan mapan dari segi financial sangat penting untuk memberikan rasa aman. Karena bahkan zaman pun berubah, dan tidak dapat disamakan dengan dulu-dulu ketika seorang perempuan masih berlindung di balik punggung laki-laki.
Karena pencapaian yang sebenarnya adalah bukan apa yang bisa diberikan oleh orang lain, tetapi bagaimana untuk berdiri sendiri dan memberikan pada orang lain.
Saya kurang setuju bila ada orang yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari laki-laki. Bahkan dalam kehidupan nyata pun, sering saya mendapat teguran-teguran kecil dari kaum laki-laki, karena saya dinilai memposisikan diri saya di atas laki-laki. Padahal kenyataannya, saya tetap mengakui bahwa memang sudah menjadi kodrat bahwa posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Namun dalam kasus ini, saya lihat banyak laki-laki yang tidak mau diungguli dari perempuan, tetapi mereka tidak pernah berusaha untuk lebih unggul dari perempuan. Lalu saya sebagai perempuan harus bagaimana, terus mengalah? Mengalah pada laki-laki yang bahkan tidak memiliki keinginan untuk maju dan hanya mencoba untuk menutupi kelemahannya sendiri tanpa mengembangkan diri? Apakah kepada laki-laki semacam itu seorang perempuan harus bergantung? Saya rasa tidak.

Sebenarnya, bukan berarti saya menyatakan bahwa perempuan harus lebih unggul dari laki-laki. Hanya saja saya tidak suka bila egoisme laki-laki membuat saya sulit untuk berkembang. Menurut saya sangat simpel sih sebenarnya, bila laki-laki tidak mau diungguli oleh perempuan, kenapa mereka tidak mencoba untuk mengembangkan dirinya sendiri? Saya hanya tidak suka dijegal dan dipaksa.

Namun terkadang saya tidak setuju dengan perempuan yang terlalu mandiri hingga merasa dirinya superior dan kehilangan rasa hormatnya pada laki-laki. Saya percaya, masih banyak laki-laki yang tidak egois dan bertanggung jawab sehingga patut untuk dihormati. Walau bagaimanapun juga, seorang perempuan butuh seorang laki-laki sebagai sosok pemimpin. Karena seluruh perempuan, butuh kepastian dan rasa aman. Karena seluruh perempuan membutuhkan sosok laki-laki yang benar-benar pantas untuk menjadi imam. Karena bagaimanapun juga, laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan.