Saturday, December 27, 2014

Pulang?

Saya tak tahu, apakah umur dua puluh tiga ini akan menjadi titik balik, atau hanya akan berakhir sama seperti rentang umur sebelumnya. Sementara saya semakin jatuh pada perenungan-perenungan akan hidup, mau menjadi seperti apakah saya. Apakah saya akan masih bersikeras untuk melakukan pencarian untuk pencapaian-pencapaian yang bahkan belum diketahui kepastiannya? Atau akankah saya menyerah dan kembali, pulang...

Namun saya tak tahu, apakah saya akan menemukan rumah yang sama untuk pulang...

Waktu semakin menjauhi saya. Dan semalam saya tersadarkan dengan status keperempuanan dan kedudukan sebagai anak pertama dalam keluarga kecil saya. Kesadaran itu begitu memberikan beban moral, dan secara perlahan mengikis keegoisan yang saya miliki, berikut kebebasan diri saya. Saya tak bisa terus menghindar.

Orang tua saya adalah yang terbaik yang bisa saya miliki, dalam segala kelebihan dan kekurangannya. Sementara semakin lama saya merasa semakin kecil, dengan segala kekeraskepalaan yang selama ini saya simpan. Dunia saya seperti terlalu berpusat pada diri saya sendiri, sementara saya semakin menjauh dari keinginan akan pencapaian orang tua yang tersirat dari sorot mata mereka. Saya merasa bersalah. Saya rindu mereka.

Mungkin memang sebaiknya saya pulang, meski sejenak...

Wednesday, December 17, 2014

DuaPuluhTiga

Hari minggu lalu, pada 14 Desember yang kesekian, kehidupan saya menjejak pada level baru, level duapuluhtiga. Pada hari itu, saya menerima sejumlah ucapan selamat untuk bertambahnya (atau berkurangnya?) usia saya, baik dari orang-orang yang telah lama mengenal saya, maupun dari mereka yang masih asing. Ada pula ucapan yang telah hilang, seperti uap di udara. Pernah di suatu waktu saya enggan mencapai 14 Desember, karena mengingatkan saya dengan satu masa yang hingga kini masih menyisakan bekas. Namun kini saya telah ikhlas dan berbaikan dengan memori maupun kenangan menyesakkan itu.

Berbeda dengan satu, dua ataupun tiga tahun yang lalu, 14 Desember kemarin sengaja saya rayakan dengan kesendirian. Kala itu saya merasa tak siap untuk bertemu dengan siapapun dan berbagi kabar dengan sejumlah keengganan. Saya ingin menikmati sepanjang hari itu dengan kebebasan dan kebisuan, bukan hiruk pikuk yang semu dengan bermacam-macam topeng ekspresi. Rasanya aneh bagi saya untuk menjejak angka duapuluhtiga, sementara saya merasa semakin kehilangan waktu untuk melakukan beberapa hal. Memang, pada akhirnya sebagian manusia terkalahkan oleh waktu yang tak pernah puas.

Pada hari itu, saya membiarkan diri saya tenggelam dalam arus memori dan kilas balik. Setidaknya dengan itu, saya dapat tetap mengingat siapa dan seperti apa diri saya. Saya tenggelam pada berbagai lamunan perjalanan, baik yang sudah maupun belum saya jalani. Saya merasa bahwa saya masih memiliki jarak dengan apa-apa yang selama ini saya cari, meskipun saya tak tahu apakah jarak tersebut semakin menjauh atau justru saling mengejar. Entahlah.

Semoga Allah selalu melindungi saya.

Saturday, December 13, 2014

Malam

Malam ini, saya baru menyadari bahwa menaiki bianglala dapat terasa begitu memabukan.

Omong-omong, selamat bereksistensi, dear me... :)

Monday, December 8, 2014

Selfnote

Seseorang pernah berkata pada saya, "tindakan kriminalitas yang bisa dibenarkan, adalah mencuri buku..."
Saya pikir, tindakan seperti itu hanya menyenangkan bagi pelaku, bukan pada "korban-korban" yang bermunculan setelahnya. Pada akhirnya, kami para penikmat buku mendapatkan kesulitan menjadi-jadi dalam pencarian pemenuhan kebutuhan akan buku-buku khusus yang telah hilang itu.

Sunday, November 30, 2014

Random

Hujan. Tiba-tiba saya rindu membaca buku tanpa keterburuan yang memaksa, ditemani sepiring pisang goreng dan segelas teh manis hangat. Di tengah perantauan, saya ingin pulang. Saya rindu "rumah".

Wednesday, November 26, 2014

Siapa yang Tahu

Siapa yang tahu hati perempuan?
Perempuan, ia pandai melukis dan bersandiwara.
Ia dapat begitu terbuka, namun pandai menutup diri dan mengunci hati.
Ia bisa sehangat matahari pagi dan sedingin tatapan mati.
Ia begitu hidup, dan juga mati.

Siapa yang tahu hati perempuan?
Ah, bukankah hati adalah milik masing-masing orang, katanya...

Kesadaran

"kehilangan itu lebih menyakitkan pada prosesnya, bukan pada suatu hal bersifat kebendaan sebagai obyeknya. Melainkan pada kesadaran bahwa manusia telah mengalami kehilangan. Jika kesadaran itu tidak ada, kenyataan mengenai hilangnya sesuatu tidak akan terasa menyakitkan..."

Saturday, November 8, 2014

Hebat

"Perempuan itu bisa hebat, dengan caranya sendiri. Termasuk kamu..."

Wednesday, November 5, 2014

November Rain

Malam ini, untuk kesekian kalinya, saya berada dalam suatu perjalanan kereta. Menuju ke barat tepatnya, ke sebuah kota yang begitu rimba bagi saya. Sebuah kota yang, jika saya boleh memilih, tidak saya minati untuk menjadi tempat saya untuk "pulang".

Malam ini, dalam sepenggal perjalanan saya, hujan turun dengan derasnya. Ini hujan pertama di bulan November untuk saya. Hujan ini membuat saya kembali memeras memori. Kenangan akan hal-hal yang dulu begitu menyenangkan, hingga kenangan tentang hal-hal yang hingga kini masih sulit untuk saya bicarakan. Ada alasan tertentu, pada setiap hal yang tidak terungkapkan. There are words, better unheard, better unsaid...

Seperti biasa, saya suka perjalanan kereta, karena saya bisa mengamati berbagai macam orang. Kali ini, di depan saya duduk seorang ibu muda, beserta seorang anak perempuannya yang masih balita. Tidak ada yang aneh dari kedua orang tersebut. Akan tetapi, saya melihat suatu hal yang luar biasa darinya: cinta.

Tak banyak memang yang bisa saya ceritakan, selain bahwa ibu muda itu meladeni anaknya yang sedang rewel di sepanjang perjalanan. Tapi dari situ saya menemukan cinta, dimana seorang perempuan muda mengorbankan satu bagian besar hidupnya untuk satu makhluk kecil yang pasti akan memberikan sebentuk kesedihan dan kebahagiaan yang nyata. Ia memiliki alasan dan tujuan, dan terikat dengan cintanya. Sementara saya di sini masih berlarian tak tentu arah, mencari hal-hal yang belum pasti, atau bahkan tak memiliki ujung kepastian.

Seperti hujan, yang akan kembali menjadi laut. Akankah saya menemukan hal yang sama?

Saturday, October 25, 2014

Tanya

Aku sering bertanya-tanya, akankah masih ia mengingatku? Akankah mau ia mengingatku?

Sementara aku tak bisa lupa, tentang bagaimana ia menjadi titik terendah dalam masa laluku. Namun tanpanya, aku mungkin tak pernah bisa sampai pada titik dimana aku berada kini.

Pada akhirnya, kita saling mengusir keberadaan satu sama lain.
Pada sebuah akhir yang tak berawal.

Friday, September 26, 2014

Memandang Langit

Saya suka sekali memandangi langit, terutama langit sore, saat cahaya matahari telah menjadi ramah bagi mata saya. Saat itu adalah salah satu masa dimana saya bisa merasa sedikit bebas, lupa sejenak terhadap berbagai hal.

Saya suka menikmati sore dalam kesendirian, menikmati waktu yang saya ciptakan untuk diri saya sendiri tanpa perlu bertemu dengan orang lain. Tapi dengan itu bukan berarti saya antisosial. Saya hanya belum menemukan "teman" yang tepat untuk mengerti akan keindahan dan kedamaian dari sudut pandang yang serupa.

"Diam itu terkadang indah, sunyi itu terkadang damai. Sendiri belum tentu berarti sepi.."

Saya sering bertanya-tanya, apakah ukuran dari kebahagian? Sementara kebahagiaan tidak selalu berarti tawa. Toh tinggal sewa pelawak saja untuk menghadirkan tawa, sementara pelawak bukan pencipta kebahagian. Lalu, saya pun merenung dan berpikir, bahwa bahkan pemenuhan tujuan manusia pun belum tentu berakhir pada kebahagiaan. Bukankah manusia terkadang terlalu tamak, sehingga akan menciptakan tujuan-tujuan lain yang lebih besar?

Maka, setelah sekian lama, saya memutuskan bahwa kebahagiaan bagi saya adalah letak dimana saya menempatkan sudut pandang pada hidup. Saya sendiri adalah "penentu" bagi kebahagiaan saya.

Sore ini, saya kembali memandangi langit, dengan matahari yang belum kehilangan keganasannya. Saya pun masih mencoba untuk memahami, kebahagiaan seperti apa yang saya inginkan...

Wednesday, September 24, 2014

Orang Itu

"Orang itu, secara tak sengaja, telah membuat saya melupakan diri saya yang sebenar-benarnya. Maka, dengan sengaja, saya kini melupakan dirinya yang sebenar-benarnya.."

Adaptasi Baru

Tujuan, atau obsesi, kah?
Entahah, saya hanya mencoba menjalani hidup saya dengan sebaik-baiknya cara menurut subjetivitas saya.

Saya seperti mengawang-awang, lupa daratan. Lupa pada diri saya sendiri. Sudah satu bulanan ini saya disibukkan dengan aktivitas baru saya sebagai mahasiswa program magister sejarah. Sibuk kah? Mungkin. Tapi untuk kesekian kalinya saya merasa seperti melayang-layang dalam berbagai dunia.

Ada satu hal yang saya rasakan ketika memasuki sebuah rutinitas baru, tapi saya tidak tahu bagaimana menamakannya. Mungkin bisa dibilang rasa itu merupakan perpaduan dari rasa takut, tidak percaya diri, maupun rasa lain yang terkadang meninggalkan rasa mual di perut saya. Ada kenyamanan dan ketidaknyamanan baru yang saya temui, tapi saya rasa kondisi tersebut sangat manusiawi.

Kami bersepuluh, dalam dunia baru yang tak baru. Tak baru, karena memang masing-masing dari kami memiliki latar belakang pendidikan yang hampir sama, tapi dengan pengalaman yang berbeda-beda. Mungkin hanya saya yang justru paling tidak berpengalaman. Nyatanya, dalam hampir dua tahun terakhir ini saya seakan melupakan dunia sejarah dan tenggelam dalam dunia yang saya ciptakan sendiri. Hasilnya, saya terseok-seok.

Jujur, saya merasa malu, ketika melihat sembilan orang selain saya yang (mungkin) begitu mencintai sejarah dan menerimanya sebagai dunia utama. Bukan berarti saya tidak mencintai sejarah, hanya saja pikiran dan hati saya terbagi dengan berbagai hal lain yang juga saya cintai. Saya merasa seperti peselingkuh, ketika pikiran saya terbagi-bagi seperti saat ini.

Apakah saya bisa survive? Harus bisa. Saya memang harus banyak belajar lagi, mengejar ketertinggalan saya dan meraih kembali apa-apa yang tak sengaja saya lupakan. Dunia saya berubah lagi, kini. Tapi dengan tujuan pencarian yang masih sama.

Tapi kini saya seperti kehilangan waktu untuk memenuhi "keegoisan" saya, sebagai suatu bentuk pemenuhan "rasa haus" dalam diri saya. Dilematis memang, tapi itu adalah konsekuensi yang saya sadar betul, akan saya alami ketika saya mengambil keputusan mengenai hidup yang saya jalani kini.

Memang, ada banyak hal yang masih tak dapat terkatakan. Dan hal-hal tersebut seakan begitu meluap-luap dalam diri saya. Ah, yang saya butuhkan saat ini adalah adaptasi dan penyamaan persepsi, agar saya tidak merasa menjadi "orang lain" lagi. Saya masih harus belajar untuk segala hal, dan kembali fokus untuk menjalankan segala konsekuensi (baik atau buruk) dari keputusan saya.

Wednesday, September 17, 2014

Bebas?

Semakin lama, saya semakin kehilangan rasa percaya terhadap kebebasan. Tapi dengan itu, semakin kuat pula keinginan saya untuk mencapainya...

Friday, August 15, 2014

Rasa itu masih ada, saya belum bisa sepenuhnya ikhlas. Malam ini, saya telah menggali rindu terlalu dalam.

:(

Wednesday, August 13, 2014

Mimpi Berpola

Beberapa waktu ini mimpi dalam tidur saya seolah memiliki pola. Mimpi saya bukan jenis mimpi bersambung yang seolah mengisyaratkan sebentuk firasat. Saya merasa bahwa mimpi saya berusaha untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang diam-diam saya simpan. Dan semalam saya memimpikan suatu hal yang saya harap tidak terjadi, tetapi secara sepihak hati kecil saya menginginkannya. Semalam rasanya saya seperti bertemu dengan seseorang yang hingga kini saya pikir saya rindukan. Tapi anehnya dalam mimpi semalam saya hanya merasa kosong ketika memandang wajahnya. Mungkin rasa rindu itu memang tak pernah ada, dan yang ada hanyalah rasa penasaran untuk kembali bertemu. Atau bisa jadi rasa kosong itu merupakan sebuah pertahanan diri untuk menghindari rasa sakit berlarut-larut. Ah, saya memang tidak mahir memaknai mimpi.

Tapi sepagi tadi, mimpi itu berhasil membangun kerinduan yang lebih dalam terhadap sosok lama orang itu, sosok yang saya kenal bertahun-tahun lalu. Sebentuk sosok yang saya tahu sudah tidak melekat lagi pada dirinya saat ini.

Tuesday, August 12, 2014

Teguran

Awal bulan ini, keluarga saya mendapat dua teguran kecil. Teguran pertama terjadi ketika saya dan orangtua saya datang ke kota Y untuk pindahan barang-barang ke tempat tinggal baru saya. Tempat tinggal tersebut berupa kamar kos yang telah saya bayar uang mukanya bulan Juni lalu. Kamar tersebut berukuran lebih kecil (sekitar 2,75 x 3 m) dibandingkan kamar kos saya di kota S, namun dengan harga yang lebih mahal. Walau begitu, pada awalnya saya senang karena kamar kos tersebut dilengkapi dengan fasilitas kasur tanpa ranjang, lemari kecil, meja kecil, listrik gratis, serta wi-fi. Namun, rasa senang itu sirna ketika saya mendapati bahwa kamar saya kosong tanpa perabotan apapun, ketika saya dan orangtua berkunjung ke sana tanggal 4 Agustus lalu. Ibu saya lah yang menyadari keganjilan tersebut dan kemudian menyuruh saya untuk menanyakan hal tersebut kepada pemilik kos yang biasa dipanggil Mbak W. Namun, jawaban dari Mbak W begitu mengejutkan saya. Ia bilang, bahwa kamar kos saya memang kosongan. Jika ingin ditambah perabot berupa kasur dan lemari, maka saya harus menambah biaya sebesar satu juta per tahun.

Saya kaget, karena saya ingat betul bahwa Mbak W bilang bahwa kamar kos tersebut tidak kosongan. Lgipula, jika begitu saya tidak mungkin untuk memilih kos tersebut sebagai tempat tinggal saya, karena saya tidak ingin direpotkan dengan banyaknya perabotan yang harus saya bawa jika saya pindah kelak. Seketika saya merasa ingin menangis, namun saya tahan sebisa mungkin. Saya merasa tertipu dan terdzalimi. Selain itu, saya merasa sangat tidak enak pada orangtua saya. Dengan perlahan, saya meminta maaf pada ibu saya karena telah menyusahkannya, wallaupun hal tersebut bukan kesalahan saya. Ibu saya pun kesal dan sempat mengeluarkan omelan, yag walau bukan tertuju untuk saya, tetap saja membuat hati saya semakin sedih. Saat itu juga diam-diam saya berdoa pada Tuhan, untuk memberikan kesadaran pada pemilik kos akan kedzalimannya karena telah menipu saya. Namun, beberapa saat kemudian saya mendengar Mbak W memanggil saya. Ketika saya keluar kamar, saya melihat Mbak W membawa kasur lipat. Katanya, kasur tersebut akan ia pinjamkan untuk saya sementara waktu, dan pada akhir bulan ia berjanji akan memberikan kasur untuk kamar saya. Sepertinya ia menyadari kesalahan yang telah ia lakukan, walaupun tidak sepenuhnya. Mengenai perabotan lain, ia bilang bahwa saya harus menambah biaya sekian ratus ribu. Secara otomatis saya menolak. Dengan harga segitu, saya bisa membeli perabotan baru sendiri.

Mbak W sempat meminta maaf pada saya, namun rasa sakit hati saya tidak sepenuhnya terobati. Bukan masalah uang sebenarnya, tapi kebohongan yang saya peroleh. Bahkan untuk memastikan bahwa saya benar, ibu saya sampai menelpon sepupu saya yang dulu menemani saya saat mencari kos. Sepupu saya jelas kesal, bahkan ia berkata akan mendatangi pemilik kos untuk protes karena telah berbohong. Tapi, walau saya merasa sakit hati, saya tidak ingin memperpanjang masalah, karena bagaimanapun juga, kos tersebut akan menjadi tempat tinggal saya untuk satu tahun mendatang. Biarlah Tuhan yang memberikan balasan terhadap orang-orang yang dzalim.

Teguran kedua datang ketika adik saya yang paling kecil akan berangkat ke kota G di pulau seberang karena telah memasuki tahun ajaran baru. Sebelumnya, orangtua saya telah memesankan tiket pesawat G****a pulang-pergi untuk adik saya melalui travel milik salah seorang saudara ayah saya (sebut saja Pak J) dengan harga yang lumayan tinggi dibandingkan biasanya, karena berada pada musim mudik lebaran. Saat penerbangan dari kota G menuju ibukota, tiket adik saya sempat error, hingga pada akhirnya pihak travel mengganti penerbangan adik saya dengan maskapai L**n A*r. Orangtua saya pikir kejadian tersebut tidak akan terulang. Namun ternyata kami salah. Pada malam hari tanggal 9 Agustus sebelum waktu keberangkatan, ayah saya menelpon Pak J untuk memastikan tiket adik saya. Ternyata setelah di cek, kode booking tiket adik saya error (saya tidak tahu apa sebabnya). Pak J pun mencari jadwal penerbangan lainnya yang tersedia. Satu-satunya penerbangan yang tersedia terjadwal pada pukul 15.20 WIB. Adik saya panik, karena ia harus sudah berada di sekolahnya paling telat pada pukul 15.00 WITA, atau ia akan terkena hukuman paling ringan berupa skorsing. Sekolah adik saya kebetulan merupakan sekolah asrama milik pemerintah yang memiliki peraturan sangat ketat. Bahkan permohonan izin dari orangtua pun tidak berlaku di sana, yang artinya jika adik saya terlambat, ia akan tetap terkena sanksi tegas.

Ibu saya segera meminta Pak J untuk mencarikan tiket penerbangan yang terjadwal pada pagi hari. Saat itu sudah pukul 21.00, sedangkan adik saya harus berangkat paling telat pukul 02.00 menuju bandara di ibukota agar tidak terlambat. Beberapa waktu tidak ada kabar, ibu saya pun menelpon pak J berkali-kali, namun tidak diangkat. Suasana semakin memanas dan adik saya semakin panik. Dalam kondisi kacau, saya mencoba mencari tiket pesawat melalui internet, namun tidak ada penerbangan yang tersedia. Ibu saya pun segera menelpon pihak maskapai G****a untuk menanyakan masalah kode booking penerbangan adik saya. Ternyata, tiket adik saya telah dibatalkan oleh pihak travel. Adapun kursi yang tersedia untuk penerbangan pagi menuju kota G adalah kursi bussiness class, dengan harga mencapai lima kali lipat dari harga tiket yang dibeli untuk adik saya sebelumnya.

Ibu saya tidak patah arang. Ia pun mencoba menelpon maskapai lainnya, namun tidak ada lagi kursi kosong yang tersedia. Dengan terpaksa, tiket penerbangan business class pun harus dibeli, karena tidak ada pilihan lain. Namun masalahnya, kami tak bisa dengan mudahnya membeli tiket tersebut karena tidak begitu mengerti tata caranya sedangkan waktu menuju keberangkatan semakin menipis. Akhirnya, pada pukul 01.00 ibu saya menelpon sahabatnya untuk membantu proses pembelian tiket. Prosesnya pun tidak mudah karena terus-terusan error, hingga akhirnya tiket tersebut bisa didapat pada pukul 02.30.

Meskipun sedikit terlambat berangkat, namun adik saya tidak terlambat sampai di bandara karena ayah saya mengebut sepanjang jalan. Ketika sampai di rumah sepulang dari mengantar adik saya, ibu saya berkata bahwa hingga waktu tersebut Pak J tetap tidak bisa dihubungi. Ibu saya pun menumpahkan kekesalannya terhadap Pak J melalui SMS. Hingga saat ini, Pak J belum meminta maaf maupun menghubungi orangtua saya, atau mencoba bertanggung jawab terhadap kelalaian yang telah ia perbuat. Bahkan uang tiket sebelumnya pun tidak dikembalikan. Entah bagaimana nasib tali silaturahmi antara keluarga saya dengan Pak J kelak.

Dalam waktu kurang dari satu minggu, keluarga saya diberi teguran kecil berupa dua kedzaliman orang yang menimpa pada kami. Memang, tidak begitu besar kerugian yang ditimbulkan. Namun tetap saja hal tersebut meruntuhkan kepercayaan kami terhadap beberapa orang dan mengingatkan kami untuk selalu waspada, bahkan pada orang yang telah dikenal sekalipun. Waspada, namun bukan penuh curiga. Kedua teguran ini berhasil menyadarkan kami untuk bersikap hati-hati dalam menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Semoga, ya semoga saja, Tuhan memberikan kesadaran bagi mereka yang telah sengaja berbuat dzalim terhadap orang lain.

Untitled

"Jika saya sampai kehilangan rasa untuk membaca dan menulis, maka jiwa saya seolah-olah mati."

Dua Tahun

Dua Tahun!
Dua tahun itu telah berlalu begitu cepat, hingga saya sempat tak percaya sudah mencapai fase kehidupan yang lain. Tepat dua tahun lalu saya sedang menjalani program KKN, serta masih terikat kontrak SKS pada perkuliahan saya. Dan dua tahun lalu saya mengalami berbagai rasa yang berujung menyakiti saya, namun tak pernah saya sesali keberadaannya. Hey, rasa sakit memang bagian dari manusia bukan? Itu alamiah untuk dirasakan.

Sore ini saya begitu rindu pada masa lingkup dua tahun saya, pada masa-masa awal umur kepala dua saya. Semakin tua manusia, waktu memang akan terasa semakin cepat. Seperti kemarin rasanya, ketika saya dibebankan dengan satu bentuk tanggung jawab yang telah hampir satu tahun lalu telah saya tuntaskan. Sebentuk tanggung jawab yang telah menghancurkan dan membentuk diri saya. Ah, kehancuran dan kebangkitan hanyalah proses bagi manusia.

Apakah saya bahagia?
Entahlah. Saya tak ingin sok tahu definisi kebahagian itu seperti apa. Jujur saja, kejadian yang saya alami selama kurun waktu dua tahun ini telah meninggalkan kekosongan yang pekat pada satu bagian dari diri saya. Tapi, saya sekarang jauh lebih tenang daripada sebelum-sebelumnya. Saya lebih mampu mengendalikan diri, walaupun emosi belum sepenuhnya mampu saya bendung. Saya menganggap bahwa kejadian selama dua tahun ini merupakan bagian dari ujian saya pada masa awal menuju usia seperempat abad (yang untungnya, masih 2-3 tahun lagi). Sayangnya, saya merasa belum sepenuhnya menang terhadap ujian tersebut.

Saya tak tahu apa yang akan terjadi pada dua tahun yang akan datang. Apakah saya akan diberi ujian berupa kesedihan, atau malah kebahagian yang membuat saya "mabuk". Saya ingin dapat melewati dua tahun mendatang dengan rasa lapang.

There're so many if's ...
Tapi, saya punya Tuhan sebagai tempat untuk meminta.
Semoga duatahun-duatahun berikutnya, saya semakin baik-baik saja.

Monday, July 28, 2014

Manusiawi

Bagi sebagian orang, idul fitri adalah suatu momen untuk mensucikan diri dengan saling memaafkan. Mungkin bagi saya juga. Tapi yang saya tahu, hanya pada momen inilah saya memiliki kepastian untuk menerima permohonan maaf dari seseorang yang seringkali tak menganggap serius kata "maaf", sehingga sering tidak peduli dengan hal tersebut. Dan pada momen inilah hati saya diliputi oleh kerinduan yang sangat terhadapnya.

Tapi, apakah saya harus menunggu selama satu tahun untuk mendapat kata tersebut secara tulus darinya?

Saya rindu, pada sisi dirinya yang lebih manusiawi...

Thursday, July 24, 2014

Alhamdulillah

Alhamdulillah, satu tahap terlampaui. Selamat kembali menjadi mahasiswa! :)


Ikhlas

Saya belajar bahwa ketidakikhlasan yang berkepanjangan hanya meninggalkan rasa sesak yang berlarut-larut. Keikhlasan bersifat pribadi dan hanya meninggalkan pengaruh secara sepihak, tidak berkaitan dengan pihak yang menjadi objek untuk diikhlaskan. Keikhlasan itu bersifat seperti kebahagiaan, yang menjadi tanggung jawab diri sendiri dalam perwujudannya.

Keikhlasan tak pernah meninggalkan luka.
Manusialah, yang terlalu sering melukai dirinya sendiri, tanpa disadari.

Thursday, June 12, 2014

Kabar pada Kawan

Kalau saja saya disuruh untuk menggambarkan seluruh perasaan yang saya rasakan selama beberapa waktu ini kawan, maka saya tak akan bisa dengan mudah menjawabnya. Kemarahan itu perlahan sirna, namun ingatan tak akan pernah hilang. Maka dengan begitu saya belum sepenuhnya terbebas. Saya memang tak ingin lupa, tapi saya tak ingin merasa terganggu dengan memori yang begitu membekas. Ah, manusia memang kerap saling menyakiti, walau tanpa sengaja. Namun, dengan sengaja mereka kerap saling menyalahkan...

Kawan, perbedaan itu ada bukan untuk dihakimi, kan?
Tapi rasanya masih sulit untuk menerima beberapa perbedaan. Apakah dengan itu menjadikan saya termasuk manusia yang begitu egois?
Nyatanya lebih banyak manusia yang ingin diterima perbedaannya, tanpa mau benar-benar berusaha menerima perbedaan manusia lain. Dan ada pula manusia yang ingin diterima, tapi tidak mengkondisikan dirinya untuk dapat diterima oleh orang lain. Ah, manusia itu kompleks, bukan?
Satu-satunya solusi adalah, jangan jadi manusia.

Tapi saya sudah terlanjur tercipta jadi manusia, dan saya tak menyesalinya.

P.S. Dan untuk pertama kalinya saya merasa baik-baik saja dengan tidak mengetahui apa-apa.

Tuesday, June 10, 2014

Tiba-tiba

Tiba-tiba saya terlalu lelah untuk menghadapinya, D. Berhadapan dengan segala ego yang saling bertubrukan hingga memecah emosi..
Dan tiba-tiba saya merasa bertambah tua dengan beban pertemuan yang ia ciptakan..

Farewell

"Tidak ada lagi yang tersisa bagi saya di kota mimpi, selain kenangan. Maka dalam diam saya mengucapkan selamat tinggal kepadanya."

Wednesday, June 4, 2014

Untitled

Kemarin, seorang teman (dengan sengaja) men-share ilustrasi ini ke halaman mukabuku saya. Saya jadinya nyengir lebar melihatnya. :)


Pulang

Pulang. Untuk saat ini kata tersebut memberikan saya gambaran pada rumah tempat saya menghabiskan sebagian besar masa kecil saya, pada kota tempat saya tumbuh. Ketika saya meninggalkan rumah untuk pertama kalinya sekitar lima tahun lalu, saya sempat memutuskan untuk tidak kembali menetap di kota tersebut. Pada saat itu saya hanyalah seorang remaja yang masih labil dan ingin melarikan diri. Saya mengalami masa remaja yang cukup sulit dan saat itu saya belum dewasa betul untuk mengatasi segala masalah-masalah saya. Tapi meskipun saya ingin melarikan diri, nyatanya tetap ada hal-hal yang menarik saya untuk kembali. Seringnya saya malah merindukan rumah ketika berada di tanah perantauan.

Minggu ini sepertinya menjadi saat-saat terakhir saya tinggal di kota S. Saya berencana pulang dan menetap untuk beberapa bulan di rumah sebelum akhirnya pindah ke kota Y, kalau jadi. Dulu sewaktu saya masih kuliah, saya begitu bersemangat untuk tinggal di kota Y. Tapi entah kenapa bagi saya kota Ysekarang  seakan kehilangan daya magisnya. Saya merasa begitu asing. Berbeda dengan kota S yang dulu ingin saya tinggalkan. Kini belum apa-apa saya sudah merindukan kota S. Ah, entahlah.

Terlalu banyak kenangan di kota S, dari kenangan terburuk hingga terbaik. Kota S adalah tempat saya belajar dan mencoba untuk mengenal diri saya sendiri. Kota ini adalah tempat dimana saya berubah dan mengambil beberapa keputusan penting mengenai hidup saya. Bagi saya, kota S telah meninggalkan jejak begitu dalam.

Meninggalkan tempat yang begitu berarti bagi saya, ternyata menyisakan sebuah perasaan yang begitu menyesakkan. Saya tidak tahu jenis apa perasaan itu. Tapi perasaan itu yang mengantarkan saya untuk menelusuri kembali sudut-sudut kota S sendirian. Terlalu melankolis memang, apalagi saya tahu bahwa saya akan memiliki beberapa alasan untuk kembali singgah ke kota ini. Yah, saya memang tidak bisa hidup di masa lalu.

Ada beberapa hal yang akan saya tinggalkan seiring dengan kepindahan saya dari kota S, termasuk perasaan saya. Sudah seperti menjadi kebiasaan bagi saya, bahwa kepindahan adalah kehidupan baru, yang artinya akan ada beberapa bagian dari diri saya yang saya coba untuk tinggalkan. Mungkin ini memang sudah saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal, ya! :)

Selfnote

"Terkadang seseorang menganggap orang lain berubah, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya dirinyalah yang telah menjadi orang asing"

Monday, May 26, 2014

Percaya

Seseorang secara tidak sengaja - secara tidak langsung - secara paksa - secara tidak sadar telah mengajari saya untuk tidak mempercayai janji orang lain, karena begitu banyaknya orang yang lalai dan mudah berjanji. Begitu pula orang yang mengajari saya itu. Ia dan saya sering berjanji untuk satu sama lain, tapi ia sendiri yang membatalkan dan melupakan janji itu, atau bahkan mengalihkan janji itu untuk orang lain. Menyakitkan memang. Dan setelahnya saya tidak mau menaruh harapan pada kepastian. People are too cruel. There're forgetting their promises easily without hesitate.

Tapi sejujurnya saya masih ingin mempercayai. Saya masih mempertahankan keyakinan bahwa di dunia ini masih ada orang yang benar-benar baik dan amanah terhadap omongan maupun janji. Saya tidak ingin kehilangan seluruh rasa kepercayaan dan keyakinan saya. Saya masih ingin percaya dan merasakan kegembiraan ketika sebuah janji benar-benar ditepati. Ah, saya memang harus belajar untuk menghilangkan prasangka buruk.

Sunday, May 25, 2014

Hidup dan Waktu

Salah satu hal yang paling saya sukai dari dini hari adalah matahari terbit. Kalau saya sedang berada di rumah orangtua, saya paling suka naik ke atas atap rumah setelah shalat subuh. Saya suka memandangi langit, dan saa-tsaat itu udara masih terasa dingin menusuk. Dingin yang bagi saya bisa mampu mengembalikan kesadaran. Mungkin saat-saat itu adalah salah satu waktu yang bisa membuat saya benar-benar merasakan "rumah", merasakan kenyamanan dan merasa sangat hidup.

Bagi saya, hidup selalu rumit. Tapi bukannya saya ingin mempersulit atau merumit keadaan. Hanya saja saya merasa hidup itu terlalu banyak berisi misteri, berisi rahasia. Bahkan waktu satu detik pun dapat merubah segala hal, merubah keputusan, dan saya telah beberapa kali mengalami hal itu. Telah beberapa waktu ini saya belajar untuk tidak memiliki pengharapan yang terlalu tinggi untuk hal-hal yang saya rasa belum pasti. Mungkin bagi orang lain sikap saya ini dianggap sebagai sikap pesimistik, walaupun menurut saya bukan itu poinnya. Saya tidak mau menjadi orang sombong yang terlalu percaya diri sehingga melupakan hal lain yang lebih berkuasa, yaitu waktu dan Tuhan. Maka sebagai manusia, saya memilih untuk pasrah setelah berusaha, serta menyiapakan mental untuk kemungkinan terbaik dan terburuk.

Akhir-akhir ini banyak orang yang bertanya pada saya yang intinya berkisar pada pertanyaan "kamu mau melakukan apa?". Jujur saja saya bingung untuk menjawabnya. Saya punya beberapa keinginan dan tujuan yang ingin saya capai, tapi keinginan saya itu bersifat sangat pribadi dan tidak berhubungan dengan pekerjaan yang berorientasi pada uang. Sedangkan kebanyakan orang berpikir bahwa keberhasilan itu baru tercapai jika memiliki pekerjaan  bergengsi dengan gaji melimpah. Tapi pikiran saya tidak seperti itu. Saya ingin melakukan hal-hal yang bisa memuaskan rasa "lapar" di diri saya. Tapi sayangnya, saya belum tau pasti jenis "pekerjaan" apa yang harus saya ambil untuk memenuhi keinginan dan tujuan saya.

Apa saya egois? Bisa jadi. Ibu saya sering mencoba mengarahkan saya untuk melakukan suatu hal yang ia inginkan, tapi saya tak pernah mau jika hal itu tidak sesuai dengan apa yang ingin saya lakukan. Setelahnya terkadang saya melihat raut kecewa di wajah ibu saya, walaupun ia berusaha untuk menutup-nutupinya. Saya sedih melihatnya, tapi saya juga tidak mau menjadi orang yang merasa terjebak.

Yah, walau bagaimanapun, meskipun saya memiliki beribu keinginan, tidak ada satupun yang memiliki kepastian untuk dapat saya alami atau jalani. Hidup dan waktu memang penuh rahasia, bukan? Dan saya memang harus sudah siap untuk menanggung segala risiko.

Monday, May 12, 2014

Morning!

I'll live happily,

meskipun kau mencoba menjatuhkanku dengan berbagai cara.

:)

Wednesday, April 30, 2014

Graduation

Setidaknya, ada moment baru yang bisa dikenang :)





Another Step

"Haha, iya. yah, manusia kan senang membuat kenangan. Jadi ketika sudah di dunia nyata, manusia perlu media untuk kembali ke dunia fana, atau singkatnya, ngelamunin masa lalu, hehehe..."

Perkataan itu adalah sepenggal percakapan saya dengan salah satu teman jauh saya. Jauh, karena memang kami belum pernah bertatap muka langsung karena tidak ada kesempatan. Sejak tadi pagi kami asyik mengobrol tentang wisuda via chat "mukabuku". Kebetulan momentnya pas, karena tanggal 25 dan 29 April lalu saya diwisuda, dan sekarang saya resmi menyandang titel S. Hum. sekaligus "pengacara" (pengangguran banyak acara, hehehe).

Teman saya itu berpendapat bahwa acara wisuda itu useless. Aneh katanya, sebab melepas pengangguran kok pakai dirayakan. Dipikir-pikir, memang ada benarnya juga teman saya itu. Toh rasa senangnya cuma dirasakan pada saat acara wisuda berlangsung. Beberapa hari kemudian saat mulai kembali pada kenyataan hidup, baru para mantan mahasiswa itu kebingungan, termasuk saya. Bingung karena dihadapkan pada beberapa pilihan yang memang belum dapat menawarkan kepastian apa-apa; akan melamar kerja, berwirausaha, meneruskan studi, atau bersenang-senang menjadi "pengacara". Saya sendiri sepertinya akan memilih opsi ketiga, dengan segala resikonya.

Berbicara soal resiko, untuk melanjutkan kuliah bagi saya perlu pemikiran dan perenungan yang matang. Masalah paling krusial tentu saja adalah waktu dan biaya. Saya perempuan, dan sekarang umur saya sudah duapuluhdua. Bagi masyarakat kebanyakan, seumur saya itu sudah pantas untuk mencari jodoh. Bohong kalau saya bilang saya tidak memikirkan hal itu. Tapi saya juga masih ingin menjalani dan mengalami berbagai hal yang saya tahu akan sulit tercapai bila saya sudah menikah. 

Masalah kedua adalah biaya. Saya belum sanggup membiayai sekolah pascasarjana saya sendiri, karena saya memang belum bekerja. Palingan saya cuma ikut proyekan, atau mencari pekerjaan part time. Soalnya, setahu saya jadwal kuliah S2 di universitas tujuan saya begitu padat, sehingga sulit untuk mencari pekerjaan yang menggunakan jam kantoran. Apalagi ketika mencari beasiswa, saya belum menemukan beasiswa yang pas dengan jurusan yang akan saya ambil. Apakah saya masih harus bergantung pada orang tua? Kedua orangtua saya memang masih sanggup untuk membiayai, tetapi sebagai anak sulung, hal itu memberikan beban moral yang sangat besar bagi saya.

Dan masalah terakhir adalah kesiapan diri. Jika orang lain mempermasalahkan "otak", bagi saya masalah mental dan moral adalah yang terpenting. Tetapi, sejak dulu saya berusaha meyakinkan diri saya untuk tidak takut. Bagi saya, memang akan ada hal yang dikorbankan untuk mencapai segala sesuatu. Maka yang harus saya lakukan hanyalah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terbaik, maupun terburuk.

Resiko dan masalah memang akan selalu ada. Tetapi semoga saya bisa melewati semua itu. Selamat datang ke dunia nyata, semoga saya tidak hanya dapat melangkah, tetapi juga berlari untuk mencapai keinginan-keingininan saya. :)

P.S. Semoga beberapa bulan lagi status saya sudah berubah menjadi mahasiswa kembali ya..

Monday, April 14, 2014

Kesempatan

Hal yang paling membuat dada saya sesak akhir-akhir ini adalah ketika mengetahui kenyataan bahwa ada suatu hal yang tidak bisa terjadi dalam hidup saya, karena saya memang tidak diberi kesempatan.

Bukannya tidak ada kesempatan, tetapi tidak diberi kesempatan. Ada perbedaan yang nyata di antara keduanya...

Friday, March 28, 2014

Perjalanan

Setelah kelulusan saya bulan Februari lalu, saya banyak berpikir tentang beberapa rencana saya ke depan. Saya ingin melakukan beberapa perjalanan lagi, entah jarak jauh maupun jarak dekat. Ada beberapa tempat yang ingin saya kunjungi, berkaitan dengan janji, keinginan pribadi, maupun tugas yang harus saya selesaikan. Saya tidak ingin terjebak di rumah, atau sebetulnya belum ingin. Yang saya pahami, saya sendiri belum menemukan "rumah" yang dapat menarik saya agar tidak "mencari-cari" lagi. Jadi selagi sempat, saya tidak ingin menunda-nunda selama kesempatan, waktu dan dana memungkinkan.

Beberapa tempat yang ingin saya kunjungi memiliki ikatan emosional dengan saya. Tapi, bukan berarti saya pernah mengunjungi tempat-tempat itu dan ingin menelusuri ingatan. Justru saya ingin meninggalkan kenangan. Walaupun mungkin sebagian dari perjalanan itu akan saya lakukan sendirian. Pernah saya berpiir, bagaimana rasanya jika saya meninggalkan tempat saya yang lama dan pergi berkelana ke berbagai tempat baru. Saya bisa bertemu orang-orang baru, dan meninggalkan orang-orang di masa lalu sebagai bagian dari kenangan. Tapi, akankah saya merasa nyaman dan bahagia dengan itu? Saya memang telah memutuskan untuk pergi jauh dari "rumah" yang dibuat orang tua saya. Tapi saya melakukan itu karena saya ingin menemukan "rumah" saya sendiri. Saya tak mau terus-terusan pergi, mencari. Karena mungkin justru "ikatan' itulah yang saya cari, yang sayangnya hingga kini belum saya temukan dan rasakan.

Ada yang bilang bahwa sesuatu terlihat begitu berharga ketika telah jauh. Sudah beberapa waktu pula saya hidup dengan menyimpan rindu dan kenangan. Sesungguhnya karena dua hal itu pula lah saya ingin kembali melakukan perjalanan, terus mencari dan menciptakan kenangan baru. Tapi ada satu hal yang saya ketahui pasti. Tidak setiap hal yang saya kenang bisa menjadi kenangan pada orang lain. Tidak setiap hal yang saya anggap penting, bisa menjadi penting pula untuk orang lain. Terkadang itu menyesakkan.

Ah, saya begitu rindu, dan rasa itu pulalah yang menjadi salah satu alasan bagi saya untuk melakukan perjalanan. Saya begitu rindu, pada beberapa tempat, suasana, maupun orang tertentu. Terkadang saya ingin memotong jarak...

Random

ubi dubium, ibi libertas.
(Di mana ada keraguan/pertanyaan, di sana ada kebebasan.)


Mungkin seharusnya ditambahkan juga, di mana tidak ada keraguan, di sana tidak ada "kehidupan".

Mencapai Jeda, Sejenak

Sudah lama saya tidak menulis. Bukannya malas, hanya saja terlalu banyak hal yang saya pikirkan dan renungkan, terlalu membuncah, hingga rasanya saya kesulitan untuk merangkai kata. Karena memang segala hal yang terjadi pada saya di beberapa bulan ini begitu "tak terkatakan".

Kabar baik di awal tahun ini, saat sedang bimbingan skripsi dosen pembimbing saya (sebut saja Pak S) berkata pada saya, "Kamu mau revisi lagi sekarang, atau setelah sidang?" Perkataannya tersebut bisa diartikan sebagai izin untuk mendaftarkan sidang skripsi saya. Memang, setahu saya semua skripsi di jurusan saya pasti mengalami revisi setelah sidang, walau hanya untuk perbaikan redaksional. Tapi, setelah saya berdiskusi singkat dengan Pak S mengenai beberapa kesulitan saya dalam pengerjaan skripsi, saya memutuskan bahwa skripsi saya masih membutukan perbaikan. Ya, semacam sentuhan akhir hingga saya benar-benar merasa bahwa skripsi saya cukup layak untuk diujikan.

Tapi, apakah skripsi saya memang benar-benar layak untuk diujikan? Saya tak tahu. Saya pribadi merasa bahwa saya belum maksimal dalam pengerjaan skripsi, terutama karena terkadang saya kesulitan dalam memilah-milah permasalahan yang harus ditulis secara kronologis berdasarkan urutan waktu, tidak hanya bersifat tematik. Apalagi permasalahan yang saya ambil begitu luas, karena memang pada awalnya saya sempat kebingungan untuk mengerucutkan permasalahan, dikarenakan oleh keberadaan data yang masih simpang siur. Saking luasnya, saya pikir skripsi saya dapat dipecah setidaknya menjadi 2-3 judul penelitian. Hasilnya, skripsi saya hampir menembus 200 halaman. Itu pun sudah ada beberapa bagian yang saya potong. Padahal skripsi lain di jurusan saya rata-rata hanya memiliki 100an halaman, jarang yang mencapai 150 halaman.

Pada bulan Februari, saya kembali menemui Pak S, dan saat itu juga saya diizinkan untuk daftar sidang. Saya pun menjalani sidang dengan agak terburu-buru, karena ketua penguji sidang saya ternyata akan berangkat ke Belanda. Hari Jum'at tanggal 21 Februari saya sidang, itu pun baru mulai pukul 15.30 karena harus menunggu ruang sidang kosong setelah dipakai untuk seminar S2.

Tak banyak kendala yang saya alami selama sidang. Koreksi pun hanya sedikit, sebatas kurang detailnya beberapa penjelasan dalam skripsi saya. Selama sidang jadinya saya semacam berdiskusi dengan para dosen penguji. Mereka bilang isi skripsi saya menarik, karena di jurusan saya memang masih jarang yang menulis tentang kondisi masyarakat di wilayah pesisir selatan Jawa. Ah iya, saya memang mengambil tema sejarah maritim, tentang kehidupan sosial ekonomi nelayan di suatu daerah di pesisir selatan Jawa Barat.

Lega rasanya, karena saya mendapat kelancaran dalam sidang skripsi, bahkan mendapatkan "pencerahan" untuk beberapa hal. Dosen penguji malah terang-terangan memuji skripsi saya, dengan mengatakan bahwa skripsi saya bagus dan "berbobot". Tapi di sisi lain, saya masih merasa belum puas. Saya rasa seharusnya saya masih bisa mengeksplor pembahasan dalam skripsi saya, walau saya sebenarnya bingung harus diapakan lagi.

Tidak banyak sih revisi yang harus saya kerjakan. Tapi revisi terberat justru datang dari Pak S. Ia menyarankan saya untuk mengganti judul skripsi. Sebetulnya gampang saja, tapi jadinya saya harus merombak bab 1 dan bab 4, jadi ya merepotkan. Saya sampai sebal sendiri, kenapa baru sekarang menyuruh saya ganti judul. Selain itu, ada beberapa bagian yang harus dijelaskan dengan lebih detail, sehingga jumlah halaman skripsi saya bertambah. Ya sudahlah.

Akhir bulan April nanti saya akan diwisuda, dan resmilah saya menyandang titel S. Hum.. Selain itu, saya juga resmi menambah jumlah pengangguran di negara ini, karena sejauh ini saya belum mendapatkan (bahkan belum melamar) satu pun pekerjaan tetap. Tapi setidaknya, saya masih punya "pekerjaan" yang harus saya lakukan hingga Juni nanti. Yah, bahkan mungkin jadinya saya harus meninggalkan Pulau Jawa untuk beberapa waktu, kalau jadi. Semoga jadi. :)

Kehidupan saya sebagai mahasiswa untuk sementara mengalami jeda, dan saya harap belum mencapai titik akhir. Masih banyak hal-hal yang ingin saya lakukan, dan melalui "jeda" ini, semoga jalan saya semakin dilapangkan, aamiin!

Monday, February 24, 2014

:)

S. Hum. Alhamdulillah.. :)