Friday, August 15, 2014

Rasa itu masih ada, saya belum bisa sepenuhnya ikhlas. Malam ini, saya telah menggali rindu terlalu dalam.

:(

Wednesday, August 13, 2014

Mimpi Berpola

Beberapa waktu ini mimpi dalam tidur saya seolah memiliki pola. Mimpi saya bukan jenis mimpi bersambung yang seolah mengisyaratkan sebentuk firasat. Saya merasa bahwa mimpi saya berusaha untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang diam-diam saya simpan. Dan semalam saya memimpikan suatu hal yang saya harap tidak terjadi, tetapi secara sepihak hati kecil saya menginginkannya. Semalam rasanya saya seperti bertemu dengan seseorang yang hingga kini saya pikir saya rindukan. Tapi anehnya dalam mimpi semalam saya hanya merasa kosong ketika memandang wajahnya. Mungkin rasa rindu itu memang tak pernah ada, dan yang ada hanyalah rasa penasaran untuk kembali bertemu. Atau bisa jadi rasa kosong itu merupakan sebuah pertahanan diri untuk menghindari rasa sakit berlarut-larut. Ah, saya memang tidak mahir memaknai mimpi.

Tapi sepagi tadi, mimpi itu berhasil membangun kerinduan yang lebih dalam terhadap sosok lama orang itu, sosok yang saya kenal bertahun-tahun lalu. Sebentuk sosok yang saya tahu sudah tidak melekat lagi pada dirinya saat ini.

Tuesday, August 12, 2014

Teguran

Awal bulan ini, keluarga saya mendapat dua teguran kecil. Teguran pertama terjadi ketika saya dan orangtua saya datang ke kota Y untuk pindahan barang-barang ke tempat tinggal baru saya. Tempat tinggal tersebut berupa kamar kos yang telah saya bayar uang mukanya bulan Juni lalu. Kamar tersebut berukuran lebih kecil (sekitar 2,75 x 3 m) dibandingkan kamar kos saya di kota S, namun dengan harga yang lebih mahal. Walau begitu, pada awalnya saya senang karena kamar kos tersebut dilengkapi dengan fasilitas kasur tanpa ranjang, lemari kecil, meja kecil, listrik gratis, serta wi-fi. Namun, rasa senang itu sirna ketika saya mendapati bahwa kamar saya kosong tanpa perabotan apapun, ketika saya dan orangtua berkunjung ke sana tanggal 4 Agustus lalu. Ibu saya lah yang menyadari keganjilan tersebut dan kemudian menyuruh saya untuk menanyakan hal tersebut kepada pemilik kos yang biasa dipanggil Mbak W. Namun, jawaban dari Mbak W begitu mengejutkan saya. Ia bilang, bahwa kamar kos saya memang kosongan. Jika ingin ditambah perabot berupa kasur dan lemari, maka saya harus menambah biaya sebesar satu juta per tahun.

Saya kaget, karena saya ingat betul bahwa Mbak W bilang bahwa kamar kos tersebut tidak kosongan. Lgipula, jika begitu saya tidak mungkin untuk memilih kos tersebut sebagai tempat tinggal saya, karena saya tidak ingin direpotkan dengan banyaknya perabotan yang harus saya bawa jika saya pindah kelak. Seketika saya merasa ingin menangis, namun saya tahan sebisa mungkin. Saya merasa tertipu dan terdzalimi. Selain itu, saya merasa sangat tidak enak pada orangtua saya. Dengan perlahan, saya meminta maaf pada ibu saya karena telah menyusahkannya, wallaupun hal tersebut bukan kesalahan saya. Ibu saya pun kesal dan sempat mengeluarkan omelan, yag walau bukan tertuju untuk saya, tetap saja membuat hati saya semakin sedih. Saat itu juga diam-diam saya berdoa pada Tuhan, untuk memberikan kesadaran pada pemilik kos akan kedzalimannya karena telah menipu saya. Namun, beberapa saat kemudian saya mendengar Mbak W memanggil saya. Ketika saya keluar kamar, saya melihat Mbak W membawa kasur lipat. Katanya, kasur tersebut akan ia pinjamkan untuk saya sementara waktu, dan pada akhir bulan ia berjanji akan memberikan kasur untuk kamar saya. Sepertinya ia menyadari kesalahan yang telah ia lakukan, walaupun tidak sepenuhnya. Mengenai perabotan lain, ia bilang bahwa saya harus menambah biaya sekian ratus ribu. Secara otomatis saya menolak. Dengan harga segitu, saya bisa membeli perabotan baru sendiri.

Mbak W sempat meminta maaf pada saya, namun rasa sakit hati saya tidak sepenuhnya terobati. Bukan masalah uang sebenarnya, tapi kebohongan yang saya peroleh. Bahkan untuk memastikan bahwa saya benar, ibu saya sampai menelpon sepupu saya yang dulu menemani saya saat mencari kos. Sepupu saya jelas kesal, bahkan ia berkata akan mendatangi pemilik kos untuk protes karena telah berbohong. Tapi, walau saya merasa sakit hati, saya tidak ingin memperpanjang masalah, karena bagaimanapun juga, kos tersebut akan menjadi tempat tinggal saya untuk satu tahun mendatang. Biarlah Tuhan yang memberikan balasan terhadap orang-orang yang dzalim.

Teguran kedua datang ketika adik saya yang paling kecil akan berangkat ke kota G di pulau seberang karena telah memasuki tahun ajaran baru. Sebelumnya, orangtua saya telah memesankan tiket pesawat G****a pulang-pergi untuk adik saya melalui travel milik salah seorang saudara ayah saya (sebut saja Pak J) dengan harga yang lumayan tinggi dibandingkan biasanya, karena berada pada musim mudik lebaran. Saat penerbangan dari kota G menuju ibukota, tiket adik saya sempat error, hingga pada akhirnya pihak travel mengganti penerbangan adik saya dengan maskapai L**n A*r. Orangtua saya pikir kejadian tersebut tidak akan terulang. Namun ternyata kami salah. Pada malam hari tanggal 9 Agustus sebelum waktu keberangkatan, ayah saya menelpon Pak J untuk memastikan tiket adik saya. Ternyata setelah di cek, kode booking tiket adik saya error (saya tidak tahu apa sebabnya). Pak J pun mencari jadwal penerbangan lainnya yang tersedia. Satu-satunya penerbangan yang tersedia terjadwal pada pukul 15.20 WIB. Adik saya panik, karena ia harus sudah berada di sekolahnya paling telat pada pukul 15.00 WITA, atau ia akan terkena hukuman paling ringan berupa skorsing. Sekolah adik saya kebetulan merupakan sekolah asrama milik pemerintah yang memiliki peraturan sangat ketat. Bahkan permohonan izin dari orangtua pun tidak berlaku di sana, yang artinya jika adik saya terlambat, ia akan tetap terkena sanksi tegas.

Ibu saya segera meminta Pak J untuk mencarikan tiket penerbangan yang terjadwal pada pagi hari. Saat itu sudah pukul 21.00, sedangkan adik saya harus berangkat paling telat pukul 02.00 menuju bandara di ibukota agar tidak terlambat. Beberapa waktu tidak ada kabar, ibu saya pun menelpon pak J berkali-kali, namun tidak diangkat. Suasana semakin memanas dan adik saya semakin panik. Dalam kondisi kacau, saya mencoba mencari tiket pesawat melalui internet, namun tidak ada penerbangan yang tersedia. Ibu saya pun segera menelpon pihak maskapai G****a untuk menanyakan masalah kode booking penerbangan adik saya. Ternyata, tiket adik saya telah dibatalkan oleh pihak travel. Adapun kursi yang tersedia untuk penerbangan pagi menuju kota G adalah kursi bussiness class, dengan harga mencapai lima kali lipat dari harga tiket yang dibeli untuk adik saya sebelumnya.

Ibu saya tidak patah arang. Ia pun mencoba menelpon maskapai lainnya, namun tidak ada lagi kursi kosong yang tersedia. Dengan terpaksa, tiket penerbangan business class pun harus dibeli, karena tidak ada pilihan lain. Namun masalahnya, kami tak bisa dengan mudahnya membeli tiket tersebut karena tidak begitu mengerti tata caranya sedangkan waktu menuju keberangkatan semakin menipis. Akhirnya, pada pukul 01.00 ibu saya menelpon sahabatnya untuk membantu proses pembelian tiket. Prosesnya pun tidak mudah karena terus-terusan error, hingga akhirnya tiket tersebut bisa didapat pada pukul 02.30.

Meskipun sedikit terlambat berangkat, namun adik saya tidak terlambat sampai di bandara karena ayah saya mengebut sepanjang jalan. Ketika sampai di rumah sepulang dari mengantar adik saya, ibu saya berkata bahwa hingga waktu tersebut Pak J tetap tidak bisa dihubungi. Ibu saya pun menumpahkan kekesalannya terhadap Pak J melalui SMS. Hingga saat ini, Pak J belum meminta maaf maupun menghubungi orangtua saya, atau mencoba bertanggung jawab terhadap kelalaian yang telah ia perbuat. Bahkan uang tiket sebelumnya pun tidak dikembalikan. Entah bagaimana nasib tali silaturahmi antara keluarga saya dengan Pak J kelak.

Dalam waktu kurang dari satu minggu, keluarga saya diberi teguran kecil berupa dua kedzaliman orang yang menimpa pada kami. Memang, tidak begitu besar kerugian yang ditimbulkan. Namun tetap saja hal tersebut meruntuhkan kepercayaan kami terhadap beberapa orang dan mengingatkan kami untuk selalu waspada, bahkan pada orang yang telah dikenal sekalipun. Waspada, namun bukan penuh curiga. Kedua teguran ini berhasil menyadarkan kami untuk bersikap hati-hati dalam menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Semoga, ya semoga saja, Tuhan memberikan kesadaran bagi mereka yang telah sengaja berbuat dzalim terhadap orang lain.

Untitled

"Jika saya sampai kehilangan rasa untuk membaca dan menulis, maka jiwa saya seolah-olah mati."

Dua Tahun

Dua Tahun!
Dua tahun itu telah berlalu begitu cepat, hingga saya sempat tak percaya sudah mencapai fase kehidupan yang lain. Tepat dua tahun lalu saya sedang menjalani program KKN, serta masih terikat kontrak SKS pada perkuliahan saya. Dan dua tahun lalu saya mengalami berbagai rasa yang berujung menyakiti saya, namun tak pernah saya sesali keberadaannya. Hey, rasa sakit memang bagian dari manusia bukan? Itu alamiah untuk dirasakan.

Sore ini saya begitu rindu pada masa lingkup dua tahun saya, pada masa-masa awal umur kepala dua saya. Semakin tua manusia, waktu memang akan terasa semakin cepat. Seperti kemarin rasanya, ketika saya dibebankan dengan satu bentuk tanggung jawab yang telah hampir satu tahun lalu telah saya tuntaskan. Sebentuk tanggung jawab yang telah menghancurkan dan membentuk diri saya. Ah, kehancuran dan kebangkitan hanyalah proses bagi manusia.

Apakah saya bahagia?
Entahlah. Saya tak ingin sok tahu definisi kebahagian itu seperti apa. Jujur saja, kejadian yang saya alami selama kurun waktu dua tahun ini telah meninggalkan kekosongan yang pekat pada satu bagian dari diri saya. Tapi, saya sekarang jauh lebih tenang daripada sebelum-sebelumnya. Saya lebih mampu mengendalikan diri, walaupun emosi belum sepenuhnya mampu saya bendung. Saya menganggap bahwa kejadian selama dua tahun ini merupakan bagian dari ujian saya pada masa awal menuju usia seperempat abad (yang untungnya, masih 2-3 tahun lagi). Sayangnya, saya merasa belum sepenuhnya menang terhadap ujian tersebut.

Saya tak tahu apa yang akan terjadi pada dua tahun yang akan datang. Apakah saya akan diberi ujian berupa kesedihan, atau malah kebahagian yang membuat saya "mabuk". Saya ingin dapat melewati dua tahun mendatang dengan rasa lapang.

There're so many if's ...
Tapi, saya punya Tuhan sebagai tempat untuk meminta.
Semoga duatahun-duatahun berikutnya, saya semakin baik-baik saja.