Monday, April 30, 2012

HARI INI

Gerimis sore ini cantik.
Saya suka dengan moment-moment seperti ini. Cuaca mendung dengan angin dingin yang sedikit kencang, dan dihiasi dengan gerimis yang masih malu-malu. Langit begitu abu-abu, tidak lagi menyuguhkan terik yang terlalu menyilaukan. Tadi saya sempat berjalan-jalan sebentar, membiarkan gerimis menghujani saya. Saya rindu berbasah-basahan dengan air hujan.

Cuaca hari ini memberikan kesempatan bagi saya untuk bisa menikmati nyamannya rasa hangat, dengan ditemani semangkuk sup dan susu cokelat hangat. Tidak perlu lagi menyalakan kipas angin untuk meredakan rasa panas. Rasanya kali ini saya ingin bergelung di balik selimut untuk terlelap sejenak, melupakan kepenatan dan rasa pegal yang terus menumpuk dalam minggu-minggu terakhir ini.

Saya jadi ingat rumah, dengan suasana dingin pascahujan seperti ini. Kota saya memang memiliki cuaca yang lebih dingin, lebih sejuk, karena berada di dataran tinggi. Airnya pun hampir sedingin es. Beda dengan di kota mimpi di mana saya tinggal kini. Pada masa-masa awal kepindahan saya, untuk mandi saja berasa memakai air hangat. Bahkan dulu saya tidak tahan untuk tidur tanpa menyalakan kipas angin. Pikir saya, lebih baik saya tidur di lantai.

Saya rindu rumah. Saya rindu kota lama saya dengan cuaca dinginnya. Saya rindu sawah-sawahnya, kebun tehnya, dan pemandangan hijau di mana-mana.

Jadi judulnya hari ini saya sedang merindu. Hujan seperti ini memang selalu membangkitkan rasa rindu.

Friday, April 27, 2012

ARMS



Entah kenapa, saya langsung suka dengan lagu ini, ketika pertama kali saya mendengarnya melalui laptop teman saya, walaupun pada awalnya saya agak kurang sreg dengan konsep videonya. Jadinya untuk beberapa hari ini, lagu ini menjadi salah satu lagu yang sering saya nyanyikan pelan-pelan.

PERJALANAN KERETA

 .Pic taken from random googling.

Tiba-tiba hari ini saya rindu naik kereta api. Kereta api kelas ekonomi, bukan bisnis maupun eksekutif. Bukan kenyamanan yang saya cari, tetapi pengalaman. Pengalaman berkipas-kipas kepanasan sembari melihat orang-orang dengan berbagai jenis karakter yang tak selalu sama. Bahkan dulu, ketika kereta api ekonomi tak senyaman sekarang (dengan tempat duduk untuk masing-masing orang), selalu saja ada pegalaman baru yang terkadang terasa mengesalkan, namun menjadi lucu ketika diingat-ingat kembali.

Dulu sewaktu saya kecil, saya sering naik kereta api, terutama kala waktu mudik tiba. Saya masih ingat, ketika dulu para penumpang masih duduk bertumpah ruah di kursi dan lorong kereta, bahkan hingga ke dalam toilet yang selalu berbau pesing. Berdesak-desakan dengan terpaksa bersama para pedagang, pengamen, bahkan pengemis yang setiap hari menaruh harapan pada gerbong-gerbong kereta.

Pada tahun-tahun pertama saya di tanah rantau, saya kembali menumpang kereta, seolah-olah menelusuri jejak masa kecil saya yang sempat tertinggal sepanjang alur rel. Saya pergi ke arah timur, menjauhi kota mimpi yang tertinggal di ujung rel yang tertelan rob. Saat itu saya hanya mendapat tiket berdiri. Inilah sulitnya untuk tinggal di kota yang hanya menjadi tempat singgah. Berada di tengah, tidak mengawali atau menjadi akhir dari tujuan. Tiket berdiri itu ternyata hanya mengizinkan saya untuk duduk bersandar di lorong. Dengan beralas koran bekas dan memeluk ransel, sembari berdoa agar tidak terinjak oleh penumpang lain.

Kereta, salah satu kendaraan yang tak pernah membuat saya mual karena mabuk. Mungkin karena saya terlalu sibuk mengejar bayangan matahari yang terbias dalam retakan jendela kusam.

Bagian favorit saya adalah ketika kereta melewati kelokan tajam, terowongan, dan jembatan panjang. Saya ingat dulu ketika saya kecil, saya suka sekali berdiri dan menjulurkan kepala ke luar jendela, sembari mengawasi kepala kereta yang berbelok. Kala itu angin menderu-deru di telinga saya, terasa menakjubkan. Atau ketika kereta melewati sungai lebar, memadukan kecepatan dengan cahaya matahari yang terpantul pada permukaan air. Cantik.

Kereta ekonomi adalah kereta yang dikalahkan. Kereta tanpa waktu perjalanan pasti. Saya ingat betapa dulu dengan mudahnya saya dibohongi oleh orang tua saya, ketika saya protes saat kereta tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Mereka bilang, ban kereta sedang bocor, jadi saya harus bersabar untuk menunggu petugas menambal ban. Dan dengan lugunya saya menelan mentah-mentah omongan tersebut.
Ah, saya rindu moment itu.

Kereta ekonomi ini membawa saya ke sisi lain kehidupan yang lebih nyata. Ia memberikan pemahaman tersendiri akan hidup. Kereta inilah yang menjadi saksi keberanian saya saat sengaja meninggalkan kota mimpi, melawan rasa takut akan ketidakmandirian saya. Bahkan mengajarkan saya lebih ketika akhir perjalanan kereta ini mengantar saya untuk setengah terlelap di kursi tunggu stasiun, menanti fajar.

Ah, bukankah terlalu terburu-buru pun tak selamanya baik. Kereta ekonomi mengajarkan saya bahwa kehidupan pun memiliki alur seperti perjalanan kereta ekonomi ini. Bukan hanya pencapaian tujuan yang menjadi hal penting, tetapi perjalanan dalam pencapaian itu. Perjalanan yang tak selalu mulus, tetapi menawarkan makna lebih bagi hati yang lebih memahami.

Tuesday, April 24, 2012

DARADANGDUT

.Pic taken from here.

Masih ingat dengan sang raja dangdut ini?

Jadi, jadi, sore tadi saya habis ngobrol macam-macam sama teman-teman saya di kantor redaksi Hawe, sampai kemudian berlanjut di pinggiran sendang fakultas dan meja angkringan. Berawal dari puisi dan karya sastra Indonesia, novel lupus, film dan cerita horor, sampai masuk ke topik musik asli ala Indonesia: musik dangdut.
Kok tiba-tiba saya jadi kepikiran buat bikin skripsi tentang perkembangan musik dangdut ya? Kayaknya menarik deh, hehe :D

Di wikipedia, disebutkan bahwa sejarah musik dangdut ini berawal dari musik Qasidah yang terbawa oleh agama Islam yang masuk ke Nusantara pada sekitar abad 7-17 M, dan Gambus yang dibawa oleh migrasi orang Arab pada abad 19. Jenis musik ini dipengaruhi juga oleh musik dari Amerika Latin dan India. Sekitar tahun 1960, pengaruh barat masuk dengan ditandai oleh penggunaan gitar listrik. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka oleh pengaruh bentuk musik lain, baik keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.

Bagi orang Indonesia, musik dangdut kini telah mengalami perubahan makna. Jenis musik yang identik dengan gendang dan suling ini sering dianggap sebagai musik rendahan, dan penikmatnya pun dapat dikatakan menjadi suatu kelompok yang termarginalkan. Anggapan merendahkan terhadap jenis musik ini bisa dibilang disebabkan oleh anggapan bahwa musik dangdut adalah milik orang-orang dengan ekonomi yang di bawah rata-rata. Ya, budaya dangdut di Indonesia sendiri kini telah hampir terpinggirkan oleh budaya musik lain, terutama oleh musik-musik berjenis mainstream, seperti pop, dll.

Saya sendiri tidak suka dengan dangdut. Tetapi saya tidak suka dangdut bukan dikarenakan oleh anggapan bahwa dangdut adalah musik rendahan. Saya tidak suka karena menurut saya musik dangdut kini sudah tidak murni lagi. Lihat saja, penyanyi-penyanyi dangdut saat ini rata-rata berdandan seronok dan menurut saya agak (maaf) vulgar. Bahkan kualitas suara kini sudah tidak lagi menjadi perhatian yang utama. Padahal bagi saya, musik itu dinikmati dengan cara didengar, tidak hanya di lihat. Bahkan terkadang saya tak peduli dengan rupa sang penyanyi, yang terpenting adalah suara dan lagunya dapat memanjakan telinga saya.

Gara-gara penampilan para penyanyi dangdut itu, saya jadi tak lagi menyukai dangdut. Bahkan terkadang hanya untuk mendengarnya saja sudah malas. Padahal sewaktu saya kecil, saya sempat menyukai musik dangdut, yang kala itu lagu dan penyanyinya masih tergolong 'sopan'.

Masih ingat dengan musik dangdut pada masa Rhoma Irama? Bagi saya, itu adalah zaman keemasannya musik dangdut. Kala itu, musik dangdut masih dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Liriknya pun masih 'ramah' dan memang mencerminkan karakter orang Indonesia. Perhatikan saja, meskipun lirik lagu dangdut kerap diwarnai oleh kisah percintaan, namun bila dilihat lebih teliti lagi, lagu dangdut pun sarat akan cerminan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Ok, kembali lagi ke soal rencana skripsi saya. Akhir-akhir ini saya memang sedang bingung dengan rencana skripsi saya. Kepinginnya sih saya mengangkat topik mengenai sejarah maritim, karena saya suka laut dan kebudayaan orang-orang di sekitarnya. Tetapi entah kenapa saya tadi kepikiran untuk mengangkat dangdut, sebagai musik kaum marginal. Tentang bagaimana musik dangdut dan kaum marginal itu saling mempengaruhi. Ya, ini hanya sebuah ketertarikan awal saja sih. Saya yang tidak suka dangdut jadi merasa tertantang untuk mengangkat musik yang satu ini. Tetapi saya masih ragu juga, karena tema ini rawan sekali tersangkut pada hal kajian antropologi. Padahal saya justru ingin mengangkat dari segi sejarahnya, mengenai perkembangan dari masa ke masa. Seperti sebuah siklus, berawal dari tunas-tunas kehidupan, masa keemasan, hingga masa-masa layu, dimana musik ini tetap bertahan, walau tak lagi 'seindah' dulu.

Saya bingung. Sepertinya saya masih harus berpikir keras untuk menentukan tema (calon) skripsi saya . .

LUCU

Terasa lucu, ketika saya bahkan sudah tidak nyaman lagi dengan tempat saya.
Apa saya harus mencari tempat baru?

Masalah memang datang dari kehidupan sosial manusia. Entah kenapa, kemarin saya dan teman saya ribut hanya kesalahpahaman yang sepele. Saya yang sering sibuk sehingga hanya punya waktu sedikit untuk saya habiskan dengan teman saya itu. Tetapi kemarin ketika saya mencoba menyisihkan waktu saya untuknya, dia malah malas-malasan. Saya bertanya kenapa, dan dia balik menyalahkan saya. Dan hingga kini kami masih diam-diaman.

Entahlah, siapa yang salah. Saya sudah minta maaf, karena saya tidak ingin ribut dengan teman saya sendiri. Tetapi dia tidak pernah membalas pesan saya itu. Jujur saja, saya kesal.

Kata teman saya yang lain, memang sifatnya seperti itu. Sering ngomel-ngomel, jadi harap maklum. Tapi saya merasa kenapa saya harus memaklumi sifat buruknya yang seperti itu. Saya yang harus memberi pengertian, tetapi dia sendiri tidak pernah mencoba untuk mengerti perasaan orang lain.

Saya memang seperti tak pernah memilikinya sebagai teman. Dia hampir tidak pernah ada ketika saya sedang kacau. Dia lebih sering menyalahkan dan mengomeli saya atas apa-apa yang saya kerjakan, bukannya membantu dan menemani saya.
Mungkin karena kehidupan kami berbeda. Saya lebih suka bebas dan ke luar dari zona nyaman, sementara dia lebih suka untuk tidak keluar dari dunia rumahannya.

Yah, kata 'teman' itu sendiri sekarang memang kini telah terjual atas dasar 'kepentingan'.

Thursday, April 19, 2012

MEREKA

Hai D.
Keadaan saya semakin memburuk akhir-akhir ini. Saya masih merasa sakit D, baik fisik maupun urusan hati . . .

D, saya lelah. Saya lelah untuk berjuang sendiri, tanpa dibela. Lelah rasanya ketika saya harus terus berjuang untuk kepentingan orang banyak, namun bahkan mereka sendiri tidak mau peduli. Saya capek D, untuk terus menerus menjadi boneka permainan mereka.

Berat rasanya untuk berada di lingkungan yang salah dan menyalahkan. Saya merasa sepi D, karena bahkan kehadiran mereka hanya menempati batas antara ada dan tiada. Secara fisik mereka ada, tetapi naluri saya kerap mengatakan bahwa mereka tidak ada.

Mereka tidak pernah ada untuk saya, sedangkan mereka selalu memaksa saya untuk tetap ada bagi mereka . . .

D, sakit sekali rasanya, ketika saya harus berjuang sendirian, namun pada akhirnya menjadi satu-satunya orang yang disalahkan, bahkan untuk hal-hal di luar kendali saya. Lebih sakit lagi ketika saya melihat orang lain lah yang diberi penghargaan atas semua kerja keras saya.

D, apakah salah bila saya ingin membuktikan diri? Apakah salah bila saya ingin dikenal dari apa-apa yang telah saya lakukan . . .
Mereka tidak pernah mau menghargai saya D, karena menurut mereka saya aneh, saya sok sibuk, bahkan saya dikatai tidak normal, hanya karena saya memegang teguh prinsip-prinsip saya, yang menurut mereka tidak pantas untuk seorang perempuan.

Saya sakit, D . . .

Sudah sejak lama saya mencoba tak peduli D, tetapi nyatanya saya masih punya hati, yang bisa merasakan semua emosi tanpa terkecuali.
Sementara saya ingin meninggalkan mereka pun masih tidak bisa . . .

Wednesday, April 4, 2012

LIVE A LIFE

.Pic taken from random googling.

"Dua puluh tahun dari sekarang kau akan lebih menyesal atas apa-apa yang tidak pernah kau kerjakan dibanding atas apa-apa yang kau kerjakan."
- Tere Liye (Senja Bersama Rosie) -

Masih tetap pada cerita yang sama. Jadi kemarin, ada satu orang teman saya yang bilang bahwa saya adalah orang yang tidak normal. Dia mengatakan itu dengan cara-cara yang menurut saya menjelek-jelekkan dan merendahkan saya. Dengan entengnya dia menghakimi saya seperti itu. Dia yang sok tahu akan kehidupan dan pribadi saya, padahal interaksi dia dengan saya bisa dibilang jarang. Dia yang selama ini hidup dalam zona nyaman tanpa masalah yang di dalamnya termasuk juga rutinitas yang membosankan dan kegiatan yang tidak berguna. Dan dia, kemarin berhasil membuat mood saya buruk selama seharian penuh. Saya sakit hati, walaupun menurutnya perkataan itu hanyalah candaan, tetapi bagi saya kata-katanya itu adalah suatu bentuk penghakiman.

Menurutnya saya tidak normal, hanya karena saya tidak sama dengan perempuan lainnya yang sibuk mempercantik diri dan bersikap sok manis. Menurutnya, sebagai perempuan saya terlalu berani, terlalu mandiri. Padahal menurut saya, dia sebagai laki-laki namun tak memiliki nyali yang cukup untuk melakukan hal-hal baru, untuk menghidupkan hidup. Saya marah, pada perkataan sok tahunya tentang saya, padahal dia tidak pernah benar-benar mengenal saya.

Teman saya itu, yang hidupnya terlalu aman dan seperti tanpa masalah, menghakimi saya atas hal-hal yang telah saya lakukan, namun tidak pernah dia lakukan. Dia menyalahi saya karena saya lebih berani untuk keluar dari zona aman saya untuk menikmati hidup, dan dia terlalu takut untuk melihat dunia luar. Menyedihkan, bagaimana seseorang bisa menjadi begitu sok tahu akan kehidupan orang lain tanpa pernah mengerti kerasnya kehidupan di luar zona nyamannya.

Baginya, hidup itu harus santai, mengalir saja. Dan sepertinya dia agak tidak suka dengan saya yang terkadang cenderung menentang arus. Ya, saya punya pendirian dan tujuan, sementara bagi saya, hidup mengikuti arus itu seperti hidup tanpa tujuan, seperti sayur yang tidak pernah dipanaskan, basi!

Saya sangat kesal, pada orang-orang yang suka menghakimi orang lain, atau ikut campur dalam urusan orang lain. Mereka sering bertindak seperti hidup merekalah yang paling sempurna, atau diri merekalah yang paling benar. Padahal bagi saya, terkadang mereka yang suka menghakimi malah memiliki hidup yang terlalu statis dan terlalu kosong, seperti kanvas yang tidak sengaja tertinggal di sudut gelap gudang. Mereka tidak benar-benar hidup, sehingga harus ikut campur atas hidup orang lain.

So pathetic!


P.S. Hingga sekarang saya masih kesal dengan teman saya itu. Bisa-bisanya dia menjelek-jelekkan saya, melihat saya hanya dari satu sisi, seakan-akan dia itu Tuhan yang tahu segalanya.

WONDERLAND

.Pic taken from here.

"Yeah, we're not living in wonderland"