Monday, May 28, 2012

BARBIE FACE

.Pic taken from random googling. 
"Barbie face. It's just a mask . . ."

Malam-malam begini, bukannya dihinggapi rasa kantuk, saya malah duduk diam-diam memandangi langit malam. Rasanya damai, ketika saya menatapi langit. Damai yang bukan dipaksakan.

Terkadang berat rasanya untuk menjadi perempuan, dimana urusan hati dan perasaan lebih sering mendominasi dibandingkan dengan logika. Sekeras apapun untuk mengelak, seorang perempuan pasti memiliki sisi kepalsuan yang ditutup-tutupi, the part that covered by the "mask", like barbie face. Ya, seorang perempuan pasti pernah memiliki satu kepalsuan dalam senyumnya, sebagai tameng dalam menghadapi rasa takutnya.

Saya bingung, dan saya takut, hingga beberapa malam lalu saya terlelap dengan gemetar. Kemana saya harus bertanya di persimpangan, ketika semua orang terlalu sibuk saling menuding? Sementara pikiran saya sudah menyerupai karet, rasanya alot dan melar kesana kemari.

Ya, persimpangan itu, ketika saya kembali dihadapi pada dua buah pilihan sulit, seperti buah simalakama. Sementara efek dari apapun keputusan saya akan sangat mungkin mempengaruhi kehidupan saya bertahun-tahun yang akan datang.

Apakah saya sanggup untuk berani memberanikan diri?
Ah, jika hal kecil saja saya tak mampu, bagaimana dengan hal-hal yang besar . . .
Karena sesungguhnya orang-orang yang mampu mengubah dunia adalah orang-orang berani.
Mungkin saya harus berani untuk ke luar zona nyaman keperempuanan saya, dan melepaskan topeng "barbie face" itu . . .


*Ditulis oleh saya, yang sudah terlalu lama bengong menatap langit, sambil mikirin (calon) skripsi dan tanggung jawab lain yang sama beratnya dengan urusan skripsi itu . . .

Wednesday, May 23, 2012

KUNCI DAN MEMORI

Semenjak kecil, saya sangat mencintai tulisan. Tulisan apa pun akan saya baca hingga tuntas. Saya masih ingat dengan buku pertama saya, yang bahkan daftar isinya saja pun saya baca dan saya renungi dalam-dalam walaupun saya belum mengerti benar apa maksud dari banyaknya tanda titik yang memanjang dari kiri ke kanan. Dulu buku-buku "koleksi" saya banyak yang rusak dan tidak utuh lagi, karena terlalu sering saya baca. "Koleksi" buku saya yang tidak seberapa itu ternyata tidak mampu memuaskan rasa penasaran saya akan tulisan.

Bagi saya, tulisan itu adalah kunci dan memori, sebagai penjelasan akan apa-apa yang tidak saya ketahui, sehingga dapat memuaskan rasa keingintahuan saya. Rasa suka saya terhadap tulisan yang tertuang dalam bentuk buku pun melebihi rasa suka saya terhadap uang, makanan, bahkan mainan. Saya ingat ketika saya SD dulu, saya adalah satu-satunya pengunjung setia perpustakaan di sekolah. Hampir di setiap waktu istirahat saya pergi ke perpustakaan sekolah yang hampir tidak pernah dijaga, walaupun perpustakaan sekolah ini memiliki koleksi buku yang tergolong banyak untuk ukuran sekolah di pinggiran kota. Bahkan terkadang saya meminjam beberapa koleksi buku dari perpustakaan tanpa izin, karena memang tidak ada yang menjaga.

Saking sukanya dengan tulisan, ketika masa-masa SD itu saya sudah berlangganan majalah mingguan yang saya bayar sendiri, dengan harga satu majalah yang hampir mencapai setengah dari uang saku saya selama seminggu. Saya pun sering diajak oleh ibu saya ke perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Di tempat itulah saya mulai mengenal buku-buku dan majalah sastra. Saya sangat menyukai kata-kata kiasan yang "indah" dan "misterius" dalam berbagai tulisan sastra, walaupun saya tidak mengerti apa makna dibalik kata-kata tersebut. Dan cita-cita serius pertama saya pun muncul: menjadi seorang penulis.

Saat saya memasuki jenjang SMP dan SMA, saya menghabiskan sebagian besar uang saku bulanan saya yang tak seberapa untuk menyewa banyak buku. Bahkan selama beberapa tahun saya sempat dijuluki bandar novel oleh teman-teman saya, karena saya selalu membawa novel kemana pun saya pergi. Saat itu saya tahu berbagai macam novel populer maupun nonpopuler, dari kelas ecek-ecek hingga yang memiliki nilai sastra tinggi. Cita-cita saya pun bertambah, selain menjadi penulis, saya pun ingin menjadi editor dan penerjemah buku. Alasannya, karena saya ingin menjadi orang yang paling pertama membaca tulisan orang lain. Ya, saat itu rasa haus saya akan tulisan dan buku sangatlah besar.

Sayangnya, passion saya ini mulai memudar ketika saya memasuki jenjang perkuliahan. Pada awalnya, cita-cita saya untuk menjadi penulis kurang disetujui oleh orang tua saya. Mereka menganggap bahwa menulis tidak dapat dijadikan sebuah pekerjaan dan tidak menjanjikan. Bahkan keinginan saya untuk masuk sastra pun terkesan ditentang, hingga akhirnya sekarang saya masuk ke jurusan yang saya pilih sendiri dan disetujui oleh orang tua saya, walaupun dengan agak terpaksa. Memang, sedari dulu orang tua saya telah mengarahkan saya ke beberapa jurusan yang menurut mereka baik. Namun ternyata saya tidak berjodoh dengan jurusan-jurusan pilihan mereka. Maka di sinilah saya, melanjutkan studi di sebuah jurusan bercorak ilmu sosial, yang berdampingan dengan jurusan sastra.

Jujur, saya iri dengan beberapa teman saya yang menggeluti bidang sastra. Saya yang hanya memiliki kemampuan pas-pasan dalam menulis dan tidak memiliki banyak ilmu pun kagum dengan beberapa teman saya yang sanggup membuat berbagai tulisan apik nan manis. Saya sering iri dengan mereka-mereka yang mempelajari sastra secara mendalam. Selama ini, waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk membaca dibandingkan menulis. Ya, mungkin saya memang hanya masuk ke dalam golongan penikmat hasil karya sastra, bukan pencipta karya sastra.

Tuesday, May 22, 2012

PUTARAN WAKTU

"Mungkin mereka kini sudah menganggap saya angin lalu, antara ada dan tiada."

Jadi tadi malam, saya baru menghadiri pertemuan salah satu organisasi yang saya ikuti. Awalnya saya enggan, tapi berhubung saya masih merasa memiliki tanggung jawab, jadi saya datang saja, bersama satu teman saya yang memang sedari dulu sudah tidak pernah datang lagi ke perkumpulan organisasi tersebut. Dulu, saya pernah menganggap sekumpulan orang dalam organisasi ini adalah keluarga saya. Saya begitu bahagia di sana, bahkan saya rela untuk menghabiskan sebagian besar waktu saya, konsentrasi saya, hingga hati dan pikiran saya. Tetapi ternyata, rasa yang saya miliki terlalu tinggi, terlalu melambung hingga saya tidak siap betul ketika tiba-tiba saya harus menghadapi rasa kecewa yang luar biasa terhadap keluarga saya ini.

Saat-saat seperti ini merupakan saat perenungan bagi saya. Saya rindu masa-masa dulu, ketika keluarga saya ini masih dipenuhi oleh orang-orang yang saling peduli, dimana keluarga saya ini sempat menjadi satu alasan akan sebagian besar senyum saya di kota mimpi ini. Saya bisa lepas, bebas, bersama keluarga saya ini. Namun, karena keegoisan beberapa pihak dan kurangnya komunikasi yang mendalam, satu persatu anggota keluarga saya pun menghilang. Kini saya merasa sendirian dalam keluarga itu, di tengah sekumpulan anggota keluarga baru yang tidak saya kenal, dengan beberapa anggota keluarga lama yang kini sudah demikian egoisnya dan terlalu kaku bagi saya. Hubungan ini sudah sebegitu dinginnya sehingga saya terlalu enggan untuk menapakkan kaki di "rumah" keluarga ini yang dulu selalu saya sambangi hampir tiap hari, siang hingga malam. Dan dengan perlahan-lahan, saya mulai meninggalkan dan ditinggalkan oleh keluarga ini.

Ketika tadi malam saya dan teman saya datang lagi ke "rumah" itu, kami tidak lagi merasakan suasana hangat seperti dulu. Kehadiran kami seperti tidak ada gunanya, padahal itu merupakan salah satu bentuk kepedulian kami yang tersisa terhadap keluarga kami itu. Kedatangan kami tidak disambut apapun, bahkan hanya untuk sapaan kecil belaka. Padahal kami termasuk "tua" dalam keluarga ini. Pada akhirnya, di tengah perkumpulan ini kami malah sibuk saling bertukar pesan melalui gadget kami, mengenai ketidaknyamanan kami akan keluarga ini, serta tentang berbagai alasan keluarnya teman-teman kami yang lain dari keanggotaan keluarga ini. Kami yang masih peduli dan mau mengulurkan tangan untuk membantu seperti dimanfaatkan oleh mereka. Kami sempat berjuang untuk mereka, namun yang kami dapatkan hanya penyalahan atas apa-apa yang telah kami kerjakan dan perjuangkan. Saya sendiri merasa tidak begitu dihargai, ketika dulu ada satu beban tanggug jawab berat yang tiba-tiba diserahkan begitu saja pada saya dan teman saya, tanpa memikirkan perasaan kami. Padahal beban tersebut adalah tanggung jawab orang lain, sehingga kesalahan-kesalahan orang tersebut juga turut ditimpakan pada kami yang tidak tahu apa-apa. Kami pun menerima, karena kami dulu masih mengganggap bahwa perkumpulan ini adalah keluarga kami. Tetapi, dalam lanjutan waktu, kami sudah tidak merasa lagi bahwa keluarga ini adalah keluarga kami. Keluarga kami telah hilang, mungkin terhapus oleh waktu yang kian menua.

Ya, kehidupan itu siklis, tak pernah terdiam dalam ruang posisi yang sama.

Friday, May 18, 2012

BERUBAH

"Waktu berubah, hidup berubah, begitu pun dengan percakapan kita."

Sudah lumayan lama saya tidak pulang, beberapa bulan yang rasanya telah mencapai berlipat-lipat. Sudah lama juga saya tak berinteraksi lagi dengan teman-teman lama saya secara intens. Dan ketika kami saling menyapa kembali dalam suatu pertemuan yang memang telah lama disengajakan, semua terasa tak sama, terlalu berbeda. Bukan lagi masalah fisik dan penampilan yang kini telah tumbuh semakin matang, tetapi perbedaan ini muncul ketika topik pembicaraan pun menyentuh hal-hal yang melahirkan tanda tanya. Melahirkan tanda tanya bagi saya, karena jarak fisik kami yang terbentang begitu jauh sehingga menyulitkan saya untuk mengetahui kabar-kabar terbaru dari orang-orang dalam kehidupan lama saya.

Pagi-pagi sekali, dalam usaha saya dengan ibu saya untuk menghidupkan dapur rumah kami, tiba-tiba ibu saya memulai percakapan mengenai salah satu teman lama saya, yang kini katanya telah hidup berumah tangga. Teman saya ini, yang semenjak saya masih belajar membaca telah menjadi teman duet saya dalam segala permainan kanak-kanak, telah memiliki momongan yang umurnya lebih dari setengah umur kuliah saya di kota mimpi. Saya yang baru mendengar kabar ini pun kaget. Saya baru ngeh, ternyata inilah jawaban dari sukar ditemukannya teman saya yang satu ini, baik dari pintu rumahnya yang selalu tertutup dan berpagar tak ramah, maupun dari jejaring sosial yang kerap saya gunakan untuk mencari teman saya itu.

Sore hari, ketika menyusuri waktu dimana matahari berbatasan dengan malam, saya dan teman-teman saya terdampar di sebuah toko roti di pinggir jalan. Kami duduk berdampingan fisik, dengan hati yang kini mulai berjauhan. Tidak ada yang kami lakukan, kecuali sibuk dengan gadget masing-masing dan sesekali melontarkan percakapan kaku. Tidak jelas memang. Dan dalam ketidakjelasan itu masing-masing dari kami mencoba untuk menemukan tujuan dari pertemuan ini. Teman-teman saya pun mendapatkan satu topik untuk diobrolkan. Namun, jarak saya yang terlampau jauh membuat saya menjadi satu-satunya orang yang banyak diam hari itu. Apa lagi kalau bukan karena saya yang kurang mengerti isi dari percakapan mereka. Bahkan terkadang saya merasa sedikit asing dengan bahasa percakapan di kota lama saya ini. Apakah saya sudah terlalu terikat dengan kota mimpi?

Ternyata perantauan saya ke kota mimpi sanggup untuk menceraiberaikan kehidupan di kota lama saya. Hati saya masih tertinggal di sini, namun belum tertata kembali untuk menyamai pikiran-pikiran yang telah berkembang berlainan arah dengan saya. Menyebalkan, jujur saja, ketika saya menjadi orang yang tiba-tiba banyak diam dan baru berbicara ketika ditanya. Teman-teman saya itu memang sering bertanya, terutama mengenai kehidupan saya di kota mimpi. Ah, tak tahukah mereka bahwa dengan kepulangan ini justru saya ingin membunuh kepenatan dari kota mimpi, bukannya malah mengenangnya kembali dalam setiap jawaban yang mau tak mau harus saya lontarkan.

Semuanya masih terdiam dalam gradasi perubahan dan ketidakberubahan. Kota lama saya masih sama, begitu pula dengan hati saya. Hanya saja, arah percakapan ini telah mulai berubah tak sama. Apakah ini karena jarak, yang juga turut membedakan arah pertumbuhan kedewasaan, dengan saya yang agak tertinggal di belakang.

Monday, May 7, 2012

SEDIKIT KELUHAN

Hal-hal yang menyebalkan ketika harus berurusan dengan birokrasi kampus adalah:
  • Lamaaaaa. Tapi saya masih berpikir positif saja. Mungkin mereka memang sibuk, dan banyak yang antri untuk dilayani.
  • Dilempar kesana-sini, dari orang satu ke orang lainnya.
  • Alur pengecekkan berkas menurut saya agak menyulitkan dan sedikit ribet.
  • Berkas dibilang salah. Satu dua kali, saya pikir memang kesalahan saya. Tapi ini kok sudah berkali-kali masih dibilang salah juga. Saya jadi mondar-mandir terus buat revisi.
  • Revisi berkas kayak dicicil, diperiksa satu-satu, tidak secara keseluruhan. Untung stock sabar saya masih banyak.
  • Banyak misscomunication dan missunderstanding. Kata Ibu A, berkas sudah benar. Tiba-tiba Ibu B bilang kalau berkas masih salah, haduh.
  • Peraturan untuk setiap orang berbeda. Saya tanya pada si C, katanya dia boleh mengumpulkan berkas satu rangkap. Lha saya yang sudah mengumpulkan berkas satu rangkap, kok disuruh bikin 2 rangkap, harus asli, tidak bisa foto kopi. Jadinya saya harus mulai dari awal lagi.
  • Setelah proses yang begitu lama dan melelahkan, tiba-tiba di akhir proses saya agak dimarahi karena dianggap telat mengumpulkan berkas. Saya hanya bisa menyimpan rasa sebal saya dalam hati, lha yang mempersulit dari awal itu sebenarnya siapa??
  • Peraturan hampir setiap tahun ganti. Tetapi kok saya yang malah dimarahi, cuma gara-gara saya belum mengerti peraturan yang baru.
  • Ini pendapat pribadi, tetapi menurut saya, ada beberapa petugas yang kurang ramah, dan kesannya mengolok-olok ketika saya melakukan kesalahan. Bahkan ada teman saya yang bilang begini, "Kalau lagi mengurus masalah birokrasi di bagian ******** dan dipersulit, bentak saja mbaknya. Mbaknya tuh memang harus dikasarin sedikit, kalu nggak, nanti dia semakin ngelunjak."
  • dll, dll, dll.
Dari sekian keluhan tersebut, tidak semua birokrasi kampus itu menyulitkan kok. Masih ada orang-orang yang mau bekerja sama, dan lebih welcome terhadap mahasiswa. Tetapi saya sebal dengan petugas-petugas yang merasa dirinya superior karena merasa dibutuhkan oleh para mahasiswa. Tolonglah, di sini kita bekerja bersama, dalam satu naungan lembaga pendidikan. Saya harap, tidak ada lagi bentrok antara mahasiswa dan pihak birokrasi. Mungkin mahasiswa memang memiliki banyak kesalahan dan masih buta soal birokrasi, tetapi alangkah baiknya jika kedua pihak saling membantu. Jadinya kan tidak ada yang sebal-sebalan seperti ini.