Friday, May 18, 2012

BERUBAH

"Waktu berubah, hidup berubah, begitu pun dengan percakapan kita."

Sudah lumayan lama saya tidak pulang, beberapa bulan yang rasanya telah mencapai berlipat-lipat. Sudah lama juga saya tak berinteraksi lagi dengan teman-teman lama saya secara intens. Dan ketika kami saling menyapa kembali dalam suatu pertemuan yang memang telah lama disengajakan, semua terasa tak sama, terlalu berbeda. Bukan lagi masalah fisik dan penampilan yang kini telah tumbuh semakin matang, tetapi perbedaan ini muncul ketika topik pembicaraan pun menyentuh hal-hal yang melahirkan tanda tanya. Melahirkan tanda tanya bagi saya, karena jarak fisik kami yang terbentang begitu jauh sehingga menyulitkan saya untuk mengetahui kabar-kabar terbaru dari orang-orang dalam kehidupan lama saya.

Pagi-pagi sekali, dalam usaha saya dengan ibu saya untuk menghidupkan dapur rumah kami, tiba-tiba ibu saya memulai percakapan mengenai salah satu teman lama saya, yang kini katanya telah hidup berumah tangga. Teman saya ini, yang semenjak saya masih belajar membaca telah menjadi teman duet saya dalam segala permainan kanak-kanak, telah memiliki momongan yang umurnya lebih dari setengah umur kuliah saya di kota mimpi. Saya yang baru mendengar kabar ini pun kaget. Saya baru ngeh, ternyata inilah jawaban dari sukar ditemukannya teman saya yang satu ini, baik dari pintu rumahnya yang selalu tertutup dan berpagar tak ramah, maupun dari jejaring sosial yang kerap saya gunakan untuk mencari teman saya itu.

Sore hari, ketika menyusuri waktu dimana matahari berbatasan dengan malam, saya dan teman-teman saya terdampar di sebuah toko roti di pinggir jalan. Kami duduk berdampingan fisik, dengan hati yang kini mulai berjauhan. Tidak ada yang kami lakukan, kecuali sibuk dengan gadget masing-masing dan sesekali melontarkan percakapan kaku. Tidak jelas memang. Dan dalam ketidakjelasan itu masing-masing dari kami mencoba untuk menemukan tujuan dari pertemuan ini. Teman-teman saya pun mendapatkan satu topik untuk diobrolkan. Namun, jarak saya yang terlampau jauh membuat saya menjadi satu-satunya orang yang banyak diam hari itu. Apa lagi kalau bukan karena saya yang kurang mengerti isi dari percakapan mereka. Bahkan terkadang saya merasa sedikit asing dengan bahasa percakapan di kota lama saya ini. Apakah saya sudah terlalu terikat dengan kota mimpi?

Ternyata perantauan saya ke kota mimpi sanggup untuk menceraiberaikan kehidupan di kota lama saya. Hati saya masih tertinggal di sini, namun belum tertata kembali untuk menyamai pikiran-pikiran yang telah berkembang berlainan arah dengan saya. Menyebalkan, jujur saja, ketika saya menjadi orang yang tiba-tiba banyak diam dan baru berbicara ketika ditanya. Teman-teman saya itu memang sering bertanya, terutama mengenai kehidupan saya di kota mimpi. Ah, tak tahukah mereka bahwa dengan kepulangan ini justru saya ingin membunuh kepenatan dari kota mimpi, bukannya malah mengenangnya kembali dalam setiap jawaban yang mau tak mau harus saya lontarkan.

Semuanya masih terdiam dalam gradasi perubahan dan ketidakberubahan. Kota lama saya masih sama, begitu pula dengan hati saya. Hanya saja, arah percakapan ini telah mulai berubah tak sama. Apakah ini karena jarak, yang juga turut membedakan arah pertumbuhan kedewasaan, dengan saya yang agak tertinggal di belakang.

No comments:

Post a Comment