"Waktu berubah, hidup berubah, begitu pun dengan percakapan kita."
Sudah
lumayan lama saya tidak pulang, beberapa bulan yang rasanya telah
mencapai berlipat-lipat. Sudah lama juga saya tak berinteraksi lagi
dengan teman-teman lama saya secara intens. Dan ketika kami saling
menyapa kembali dalam suatu pertemuan yang memang telah lama
disengajakan, semua terasa tak sama, terlalu berbeda. Bukan lagi masalah
fisik dan penampilan yang kini telah tumbuh semakin matang, tetapi
perbedaan ini muncul ketika topik pembicaraan pun menyentuh hal-hal yang
melahirkan tanda tanya. Melahirkan tanda tanya bagi saya, karena jarak
fisik kami yang terbentang begitu jauh sehingga menyulitkan saya untuk
mengetahui kabar-kabar terbaru dari orang-orang dalam kehidupan lama
saya.
Pagi-pagi sekali, dalam usaha saya dengan ibu
saya untuk menghidupkan dapur rumah kami, tiba-tiba ibu saya memulai
percakapan mengenai salah satu teman lama saya, yang kini katanya telah
hidup berumah tangga. Teman saya ini, yang semenjak saya masih belajar
membaca telah menjadi teman duet saya dalam segala permainan
kanak-kanak, telah memiliki momongan yang umurnya lebih dari setengah
umur kuliah saya di kota mimpi. Saya yang baru mendengar kabar ini pun
kaget. Saya baru ngeh, ternyata inilah jawaban dari sukar ditemukannya
teman saya yang satu ini, baik dari pintu rumahnya yang selalu tertutup
dan berpagar tak ramah, maupun dari jejaring sosial yang kerap saya
gunakan untuk mencari teman saya itu.
Sore hari, ketika
menyusuri waktu dimana matahari berbatasan dengan malam, saya dan
teman-teman saya terdampar di sebuah toko roti di pinggir jalan. Kami
duduk berdampingan fisik, dengan hati yang kini mulai berjauhan. Tidak ada yang
kami lakukan, kecuali sibuk dengan gadget masing-masing dan sesekali
melontarkan percakapan kaku. Tidak jelas memang. Dan dalam
ketidakjelasan itu masing-masing dari kami mencoba untuk menemukan
tujuan dari pertemuan ini. Teman-teman saya pun mendapatkan satu topik
untuk diobrolkan. Namun, jarak saya yang terlampau jauh membuat saya
menjadi satu-satunya orang yang banyak diam hari itu. Apa lagi kalau
bukan karena saya yang kurang mengerti isi dari percakapan mereka.
Bahkan terkadang saya merasa sedikit asing dengan bahasa percakapan di
kota lama saya ini. Apakah saya sudah terlalu terikat dengan kota mimpi?
Ternyata perantauan saya ke kota mimpi sanggup untuk menceraiberaikan kehidupan di kota lama saya. Hati saya masih tertinggal di sini, namun belum tertata kembali untuk menyamai pikiran-pikiran yang telah berkembang berlainan arah dengan saya. Menyebalkan, jujur saja, ketika saya menjadi orang yang tiba-tiba banyak diam dan baru berbicara ketika ditanya. Teman-teman saya itu memang sering bertanya, terutama mengenai kehidupan saya di kota mimpi. Ah, tak tahukah mereka bahwa dengan kepulangan ini justru saya ingin membunuh kepenatan dari kota mimpi, bukannya malah mengenangnya kembali dalam setiap jawaban yang mau tak mau harus saya lontarkan.
Semuanya masih terdiam dalam gradasi perubahan dan ketidakberubahan. Kota lama saya masih sama, begitu pula dengan hati saya. Hanya saja, arah percakapan ini telah mulai berubah tak sama. Apakah ini karena jarak, yang juga turut membedakan arah pertumbuhan kedewasaan, dengan saya yang agak tertinggal di belakang.
No comments:
Post a Comment