Friday, December 30, 2011

HUJAN HARI INI

image taken from here

Hari ini, langit menuangkan kembali memori yang sudah sejak lama saya abaikan. Sepenggal memori seperti kabut pagi, yang meriap-riap tipis mengaburkan cahaya. Hujan hari ini hadir begitu manis, semanis tetesan madu yang tak sengaja tertinggal dalam sebuah botol kaca.

Hujan hari ini menjadi penanda patahnya hati saya. Saya tak tahu hujan mana yang lebih berdentum. Yang saya tahu, hati saya telah tenggelam dalam genangan hujan di balik jendela. Dan tadi ada bias yang bergantungan di jemuran, tampaknya tengah menanti matahari yang memerah malu-malu, bersiap kembali dikalahkan malam.

Hujan hari ini begitu membiru, sebanding dengan mengabunya hati saya. Sejak kapan lalu saya telah terbiasa mendengarkan hujan yang tak lagi merintik. Dan saya masih enggan beranjak dari posisi bersedekap, tenggelam memeluk lutut. Jendela saya berwarna buram sudah, mengaburkan bayangan setiap tetes yang tercurah dari balik genting. Namun saya masih dapat merasakan dinginnya sapaan hujan yang meresap melalui memori, sebuah jejak penanda masa lalu.

Nyanyian hujan hari ini begitu merdu, dan saya terbius dengan mistisnya tarian hujan yang menyerbu bumi. Baru kali ini saya rasakan bisikan hujan yang mendayu. Saya, entah kapan mulanya, mulai menyengajakan mimpi tanpa memori. Biarlah memori itu terhanyut bersama riap-riap yang mengalir menuju laut, menyatu bersama buih-buih garam. Dan sejak itu saya mulai melupakan lupa.

Hujan hari ini menjadi saksi betapa suatu hal absurd bernama cinta telah mewariskan kegilaan pekat. Jatuh cinta kepadamu sama seperti memakan gula-gula, menumpuk rasa manis yang bila terlalu berlebihan akan menimbulkan sensasi mual yang menyenangkan. Tetapi saya lupa, bahwa cinta sama dengan gula-gula yang dapat menyisakan setitik lubang di dinding gigi. Ah, tapi buat apalah saya peduli. Pada guntur yang membentak pun saya balik menantang, tak lagi menyembunyikan muka di balik bantal.

Saya jatuh cinta pada caramu memanusiakan saya. Kamu yang menahan kaki saya untuk tetap menjejak ke tanah, dan memandang saya sebagai realitas nyata di balik jiwa semu saya. Saya yang begitu ingin terbang, tanpa menyadari bahwa sayap saya tak pernah tumbuh sempurna. Kalau begitu saya berenang saja. Merenangi lautan emosi yang menjadi jarak keberadaan kita. Hey, kita? Maksud saya antara saya dan hati milikmu. Namun, seberapa jauhkah saya harus berenang? Tolong beritahu saya, karena saya tak sanggup menembus batas.

Cinta memang selalu tak dapat diterka, datang sembarangan dan seringkali pergi tanpa pamit. Bahkan cinta bisa lebih kurang ajar ketika jatuh pada orang yang tak pernah dengan sengaja diprasangkai. Ya, itulah cinta, yang tak pernah mengenal batas-batas kewajaran. Memang, langit selalu tampak lebih menarik dari bumi. Tetapi cintalah yang memetamorfosiskan kelabu menjadi sebentuk hujan yang menghujam tanah. Kelabu tak pernah betah berlama-lama bercengkrama dengan langit.

Karena kelabu selalu rindu dengan bumi . . .

Thursday, December 29, 2011

MUNGKIN KARENA SAYA ANEH

Kemarin saat saya sedang berkumpul dengan teman saya, dia sempat bertanya, "Na, kok kamu kaku banget. Tumben diam terus, biasanya ngomong."
Kenapa? Karena saya sedang berada di luar zona nyaman saya. Ketika saya tidak berada di zona nyaman saya, saya sering menjadi orang yang begitu diam, tenggelam pada keramaian dalam pikiran saya. Tetapi bila saya sudah memasuki zona nyaman saya, maka saya dapat menjadi orang yang tak bisa diam dan senang untuk berbicara, bercerita. Saya aneh ya? Saking anehnya, ada satu teman saya yang sering tertawa bila melihat tingkah saya. Katanya, saya seperti anak kecil.

Saya sering ketawa-ketawa sendiri, nyengir lebar hingga membuat orang lain merasa aneh. Bukan berarti saya gila, tetapi bagi saya banyak hal di dunia ini yang bisa ditertawakan dan dianggap lucu. Terkadang saya tak mampu mengontrol emosi euforia saya. Saat saya sedang senang, saya bahkan sering berjalan cepat seperti melompat-lompat. Tidak lupa juga saya akan pamer gigi ke semua orang, walaupun orang tersebut tidak ada hubungannya dengan kesenangan saya itu. Dan dengarlah intonasi suara saya yang meninggi saking semangatnya.

Bahkan terkadang saya malah nyengir lebar dan ketawa tak jelas saat mendengar sebuah kabar duka. Bukan kesedihan yang menghampiri saya, tetapi euforia itu. Saya yang bisa begitu mudah menertawakan kesedihan, seolah itu hanyalah sebuah lelucon di siang hari. Dan terkadang saya bisa bersikap begitu sinis sekaligus manis. Jangan tanya saya mengapa, karena saya pun tak mengerti.

Lucu ya, atau mungkin bisa dibilang ironis. Saya sendiri terkadang tidak mengerti dengan jalan pikiran saya. Sering sekali pikiran saya dipenuhi oleh gagasan-gagasan aneh dan begitu kompleks. Bahkan terkadang kehidupan imajinasi saya masih lebih ramai dari pada kehidupan nyata saya. Entah mengapa, di sana saya bisa merasa bebas.

Ya, bebas. Bebas untuk terbang tanpa harus merasakan rasa sakit karena terjatuh. Karena di dunia nyata saya tak pernah bebas, bahkan untuk menjadi diri sendiri.

Ada orang yang memarahi saya karena saya (mungkin) berbeda. Saya tak tahu maksud berbeda menurut dia bagaimana, yang saya tahu, saya akan menjauhi segala hal yang menurut saya tidak benar. Kata orang, jangan jadi orang muna dengan berlagak sok suci. Tetapi menurut saya, muna itu bila seseorang membohongi diri sendiri. Sudah cukup saya dibohongi oleh orang lain, dan saya tidak suka bila beban saya ditambah dengan kebohongan pada diri sendiri.

Saya aneh ya? Tetapi saya bangga untuk menjadi orang aneh dan berbeda.

Ah, sulit sekali untuk merangkaikan kalimat-kalimat ini. Saya bukan penulis yang baik, yang pandai merangkai kalimat-kalimat manis. Saya juga bukan tukang cerita yang baik. Saya hanya ingin berbagi, mengenai semua perasaan saya dan keributan di pikiran saya, agar saya bisa kembali tidur nyenyak, tanpa beban.

Mungkin bagi mereka saya membosankan, karena dunia saya berbeda. Saya yang begitu mencintai buku dan tak suka diam di suatu tempat. Saya suka pergi ke tempat-tempat baru, bahkan terkadang saya bisa nekat. Saya yang cenderung melawan arus, bukan karena tidak suka, tetapi lebih kepada ketidaksukaan saya untuk menjadi sama. Atau mungkin dari sudut pandang saya, yang sering melihat segala sesuatu dari isi, bukan bentuk.

Saya yang terkadang tidak peduli atau terlalu peduli, hingga membuat orang lain kesal. Saya akui memang saya terkadang berlebihan. Saya hanya tidak tahu, kadar mana yang pas bagi tiap-tiap orang. Bukankah setiap orang memiliki racikan kopi sendiri yang bisa diterima di lidah masing-masing.

Ya, saya akui saya memang aneh.

Wednesday, December 28, 2011

RINAI

image taken from here

Aku:

Kau lihat, telah terbingkis rindu dalam setiap rinai yang menjemput tanah. Sebingkis rindu yang dengan sengaja telah kubisikkan pada setiap bening rintik dini hari.

Kamu:

(Terdiam, menengadahkan tangan pada tetesan hujan yang bergulir dari atap)

Aku tak ingin berbagi rindu itu pada siapapun, bahkan pada tanah yang bersiap menyambut rinai . . .


SAYA DAN ORGANISASI

Kemarin-kemarin saya agak tersentak ketika membaca salah satu tulisan teman saya di sini. Tulisan itu berisi mengenai dualisme seorang mahasiswa dalam berorganisasi. Mengapa tulisan ini bisa menyentak batin saya? Karena jangankan 2, sekarang saya mengikuti 3 organisasi sekaligus, bahkan 4 jika sebuah grup diskusi juga ikut dihitung.

Saya sibuk ya? Ah, tidak juga. Sebenarnya saya hanya mencoba untuk menyibukkan diri ke dalam hal-hal positif. Mengikuti banyak organisasi masih lebih baik kan dari pada kebanyakan bengong di kamar sambil nonton TV. Lagi pula saya merasakan banyak manfaat dengan mengikuti berbagai aktivitas di luar aktivitas perkuliahan. Saya jadi tidak terlalu anti sosial, karena pada dasarnya saya termasuk orang yang pendiam, dan mungkin agak cenderung introvert. Dan jujur saja, saya lebih menikmati kehidupan saya dalam organisasi dan kegiatan di luar perkuliahan. Bahkan terkadang saya lebih suka berkumpul dengan orang-orang organisasi. Bukannya saya pilih-pilih teman atau bagaimana, tetapi setiap orang secara alami pasti akan mencari tempat yang membuat dirinya nyaman, dimana dia berada dalam satu komunitas dengan minat yang sama.

Saya suka organisasi, tetapi saya tidak suka politik. Terkadang saya lebih suka menjadi pihak oposisi, atau istilah lainnya tukang mengkritik. Ok, ini memang salah satu bad habit saya. Terkadang saya bisa mengatakan hal yang saya tidak suka atau saya anggap tidak benar dengan terlalu jujur dan blak-blakan. Tetapi sekarang kebiasaan itu sudah jauh berkurang. Saya lebih suka memendam rasa ketidaksukaan saya di dalam hati. Toh kritikan saya juga terkadang tidak terlalu berpengaruh, useless.

Ok, back to topic. Dari tadi saya hanya ngalor-ngidul tidak jelas. Saya sedang ingin menulis, tetapi saya tidak tahu mau menulis apa. Kehabisan ide memang sudah menjadi penyakit bagi saya.

Seperti yang tadi telah saya sebutkan, saya mengikuti 3 organisasi. Semenjak dulu saya sudah jatuh cinta dengan dunia teater, maka saya pun mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Teater Diponegoro (Dipo). Saya juga suka dunia kepenulisan dan jurnalistik, maka saya bergabung dalam LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Hayamwuruk (Hawe). Selain itu, saya juga mengikuti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah di kampus saya. Oia, saya juga masih sempat mengikuti salah satu grup yang bernama Riset Club.

Capekkah saya? Itu pasti. Bahkan terkadang saya keteteran untuk tetap aktif dalam semua organisasi yang saya ikuti. Ini semacam pengakuan dosa juga. Jujur saja, bila dilihat dari tingkat keaktifan, saya lebih aktif di Hawe dan Dipo. Mengapa? Karena saya merasa nyaman, dan saya merasa bahwa kedua organisasi ini sudah menjadi dunia saya. Selain itu, saya merasa lebih dihargai, hal inilah yang kemudian membuat saya nyaman.

Saya sudah terlalu lelah disalahkan dan tidak dihargai. Saya lelah terjebak dalam situasi seperti itu. Maka tidak salah kan bila saya secara alamiah mencari tempat yang bisa membuat saya lebih nyaman. Walaupun dualisme itu tidak bagus, tetapi saya tidak mungkin melepas dua hal yang telah tergabung dalam dunia saya, dunia teater dan kepenulisan. Selain itu, ada satu hal yang saya pegang teguh. Bila untuk tanggung jawab kecil saja saya tidak bisa, apalagi untuk tanggung jawab yang lebih besar. Maka saya pun mencoba untuk konsisten dengan apa yang telah saya pilih. Dan saya siap dengan konsekuensinya bila ternyata saya tidak mampu untuk tetap konsisten.

Monday, December 26, 2011

CANON - CHOPSTICK

Minggu-minggu ini saya sedang memasuki minggu (tak) tenang. Minggu depan saya akan memasuki masa ujian akhir semester. Saya (tidak) menikmati liburan saya di kosan, dengan setumpuk tugas yang menghalangi saya untuk pulang. Padahal saya sedang kangen-kangennya dengan rumah, dengan ibu, bapak, dan juga adik-adik saya. Saya juga kangen dengan teman-teman lama saya. Yah, inilah nasib mahasiswa rantau yang tidak bisa pulang . . :(

Sudah beberapa hari ini saya bebas bernyanyi-nyanyi keras di kosan, tidak peduli bila ada orang yang merasa terganggu. Lha, kosan saya sedang sepi-sepinya, hampir semua penghuninya mudik. Kalau sedang sendirian seperti ini, saya suka sekali bernyanyi lepas sambil main musik. Sayang, di sini saya tidak punya satu pun alat musik. Sepertinya sudah hampir dua tahun saya tidak main piano lagi. Jangan-jangan jari saya sekarang sudah kaku.

Saya kangen dengan Canon in D-nya Pachelbel. Bahkan saya juga kangen dengan irama Chopstick Waltz, simpel, tetapi mampu membuat tangan saya menari-nari di tuts piano. Dulu ibu saya paling suka kalau melihat saya main piano. Padahal saya mainnya juga ngasal. Saya masih amatiran, belajarnya saja kebanyakan otodidak. Apalagi sekarang sudah lama saya tidak main lagi, pasti saya sudah tidak bisa main piano dengan lancar . . -____-"

Ah, saya benar-benar kangen main piano *guling-guling di kasur . .

Akhirnya untuk mengobati kangen saya, saya iseng melihat-lihat video di KamuTabung. Dan saya menemukan video ini.



Ini Chopstick Waltz. Saya suka video ini, unik. Bahkan saya tidak pernah kepikiran untuk memainkan Chopstick dengan chopstick (sumpit) beneran. Oia, lagu Chopstick Waltz yang saya mainkan jauh lebih sederhana dari video ini. Lagu ini bisa dibilang lagu pertama yang saya kuasai secara otodidak.



Dan ini Canon in D. Canon versi video ini mirip dengan Canon yang biasa saya mainkan. Tetapi saya lebih suka memainkannya dengan tempo yang lebih cepat. Dan ternyata saya masih kalah dengan anak kecil di video itu. Seumuran itu jangankan bisa main piano, alatnya saja saya tidak punya.

Saya suka musik klasik, walaupun saya payah kalau disuruh main piano. Tetapi saya kangen, untuk melarikan perasaan saya melalui tuts dan partitur . . .

Thursday, December 22, 2011

UNTUKMU, BU

Siapa orang paling kau rindukan di dunia ini?
Ibu . . .

Bu, aku rindu, terhadap segala kata yang kau rangkaikan setiap malam untukku. Bu, jarak akan membuat bunga yang ingin kuberikan layu, dan aku takut wanginya pun akan berubah busuk. Maka di sini aku berikan hatiku padamu bu, sudah sampaikah?

Bu, jangan mencuci hati dengan air matamu lagi ya, karena aku tak rela, melihat kau menderita dengan linangan di ujung matamu . . .


Bu, terimakasih atas setiap belaian selamat malam itu. Tandanya masih membekas bu . . .


Selamat hari Ibu untukmu, Bu . . .

Wednesday, December 21, 2011

TENTANG KOMENTAR

Saya sedang ingin memberikan komentar (atau tepatnya memberikan penjelasan) terhadap komen beberapa orang yang (mungkin) agak tersindir atau tidak suka dengan tulisan saya yang berjudul BBB. Tulisan ini berisi komentar saya mengenai trend Blacberry dan behel. Di tulisan tersebut saya mengungkapkan bahwa saya agak tidak suka dengan orang yang terpengaruh oleh trend BBB.

Pada awalnya saya membuat blog ini hanya untuk konsumsi pribadi, yang isinya adalah curahan hati dan keseharian saya, beserta seluruh opini yang berkecamuk di kepala saya. Saya tidak terlalu peduli bila ada beberapa orang yang kebetulan mampir ke blog ini dan membaca isinya. Setiap orang punya pendapat bukan? Dan saya kira tidak apa-apa saya menuliskan opini saya selama saya tidak teran-terangan menjatuhkan satu pihak. Tetapi ternyata ada juga beberapa orang termasuk teman-teman saya yang berkeberatan dengan isi tulisan saya.

Ok, di sini saya bukan mau membela diri. Saya hanya ingin menjelaskan, bahwa dalam tulisan BBB itu saya tidak bertujuan untuk menjelek-jelekan satu pihak, terutama para user BBB. Saya hanya mengomentari tingkah laku beberapa orang, yang menurut saya agak berlebihan. Saya hanya bingung dengan orang-orang yang mau melakukan apa saja demi trend. Apakah hedonisme sudah menjadi budaya di Indonesia?

Mungkin salah saya juga. Ini internet, di mana setiap orang bisa mengaksesnya. Ah, sekali lagi saya merasa terkekang untuk menyuarakan pendapat saya. Walaupun begitu, maafkan saya ya bila ada perkataan saya yang salah dan tidak sengaja menyinggung.


P.S. Sebetulnya saya ingin berteriak, ini blog saya, terserah saya mau menulis apa. Tetapi tidak baik juga kan bila saya menambah musuh hanya karena hal seperti ini.

Sunday, December 18, 2011

PERBATASAN

Saya masih berdiri di batas senja, memarahi langit yang menelan sang jingga. Mengulang kembali kesia-siaan itu. Ah, bukankah itu tak perlu untuk melawan takdir. Maka biarkanlah langit, tanah, dan lautan berseru, di antara tangis yang tergugu, di sela-sela doa yang terabaikan.

Maka saya terdiam disini. Terdampar, dan masih mencoba mengetuk pintu kebebasan. Berharap ia dapat membuka sedikit, memberikan celah untuk masuk, menyelinap.

Bukankah itu menyenangkan, untuk terbang mengepakkan sayap. Ya, sayap pemberianmu sayang. Sayap dengan rangka yang teramat rapuh. Namun kau telah mengikatnya cukup kuat, hingga mampu mengangkat seluruh beban yang ikut saya bawa. Kau memberi saya kesempatan untuk melempar jauh kerikil-kerikil itu, ke jalan tak berujung di luar jendela kotak.

Dan kini saatnya bulan tenggelam, bersembunyi di balik punggung malam. Adakah lagi yang kau sesalkan? Selain cahaya yang semakin meredup, tak lagi menyilaukan. Kau takut akan kungkungan gelap, sementara nyala itu pelan-pelan menghilang dari bola matamu.

Doa-doa memanjat, mendesak keluar dari atap pembebasanmu. Tenang saja, saya masih berdiri di perbatasan, menunggu pagi yang membebaskan terang.

Thursday, December 15, 2011

BERANJAK

Image taken from random googling

Itu hanyalah masalah waktu, tentang bagaimana detik-detik itu berlarian. Bukan masalah umur yang membawa perubahan, tetapi itu hanyalah kita, tentang seberapa siap kita untuk menyambut waktu, berdamai dengannya.
Kemarin saya bertemu kembali dengan 14 Desember ke-20 dalam hidup saya. Sekali lagi waktu mengalahkan saya, dan saya belum berbuat apa-apa. Masih banyak hal yang tak sengaja saya lewati, bahkan banyak moment-moment kecil yang saya sesali karena saya tak sempat untuk mengalaminya. Bahkan lebih banyak hal yang saya sesali, karena apa yang saya lakukan masih bisa terhitung dengan mudah.

Perubahan umur itu bukan hanya masalah tentang tubuh yang semakin menua. Tetapi semoga saja perjumpaan saya kembali dengan 14 Desember ini memberikan perubahan, sebagai penjejak awal dari segala kebaikan.
Ah, saya sudah punya embel-embel puluhan sekarang, nggak ada lagi si belas-belas itu. Saya semakin beranjak tua, tetapi apakah saya semakin dewasa?
Padahal saya masih pingin seperti anak kecil itu, yang masih bebas berlari-larian, berceloteh riang sambil bermain bola atau layangan di sore hari. Saya masih kepingin memiliki kepolosan anak kecil . . .
Hari kemarin, saya menyadari, bahwa hidup hanya sesederhana itu. Kehidupan, kebahagiaan itu berasal dari hati. Satu doa saya di pengulangan hari itu, seberat apapun hidup, sesulit apapun langkah saya, atau seberat apapun beban saya, semoga hidup saya selalu dilimpahi senyuman. Senyuman tulus penerimaan, karena hidup bukan hanya tentang meminta, tetapi menerima.

Saturday, December 10, 2011

GEMPA LITERASI

Saya kemarin menghadiri acara di aula Suara Merdeka (Jl. Kaligawe Semarang). Acara ini semacam workshop kepenulisan bersama Gol A Gong yang bertajuk "Gempa Literasi". Gempa Literasi di sini maksudnya adalah menghancurkan kebodohan, terutama lewat membaca dan menulis.

Sebenarnya Jum'at kemarin Gol A Gong sudah menyambangi kampus saya (FIB Undip) dalam acara yang diselenggarakan atas kerja sama antara KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) dan Teater Emka. Awalnya saya tidak tahu bahwa ada Gol A Gong di lantai 1 kampus. Begitu tahu, saya langsung pingin ikut lihat. Padahal waktu itu saya sedang berada di lantai 3 dan sedang menunggu narasumber untuk diwawancara. Jadinya saya nontonnya bolong-bolong.

Gol A Gong sempat bercerita mengenai masa lalunya. Ia mulai menulis sejak umur 12 tahun, di tengah segala keterbatasannya. Perlu diketahui, tangan kiri Gol A Gong sudah cacat sejak kecil. Namun semangatnya untuk membaca dan menulis semakin tumbuh, tatkala Ayahnya berkata, "Ini buku, bacalah! Maka kamu akan lupa bahwa kamu cacat".

"Buku itu wanita (oke, dalam kasus ini kata wanita perlu diubah menjadi pria, karena saya perempuan), maka nikahilah buku . . ." Kata Gol A Gong.
"Buku itu tanda, maka kenali maknanya . . ." Kata Dayat, salah seorang teman saya. Oia, Dayat ini berhasil mendapatkan sebuah buku Gol A Gong yang berjudul Menggenggam Dunia lewat kata-kata itu. Ternyata sebuah kalimat pun bisa sangat berharga ya.

Saya jadi teringat dengan masa kecil saya. Dulu, saya sudah bercita-cita untuk kuliah di jurusan sastra Indonesia, walaupun keinginan itu sempat ditentang orang tua saya. Saya sempat memiliki mimpi-mimpi tentang dunia sastra, seperti menjadi penulis dan bermain teater. Bacaan saya semenjak SD adalah buku-buku terbitan Balai Pustaka, seperti Salah Asuhan, dll (Saya lupa judul-judulnya). Bahkan majalah Horison pun sudah saya lahap, walaupun pada masa itu saya tidak terlalu mengerti karena diksinya yang terlalu nyastra.

Sering saya berpikir kalau saya salah jurusan. Saya tidak pernah menyesal masuk jurusan Sejarah, hanya saja saya memiliki minat yang sangat besar untuk mempelajari sastra. Jujur saja, terkadang saya iri pada teman-teman saya yang berasal dari jurusan Sastra Indonesia. Di jurusan saya sendiri, tidak banyak orang yang nyambung dengan saya. Tetapi begitu saya main dengan teman-teman dari Sastra Indonesia, saya seperti menemukan potongan diri saya yang sempat hilang.

Friday, December 9, 2011

PERMEN KAPAS

image was taken from here
Sekali lagi aku terkenang dengan moment itu, saat berjalan di sore hari, menyapukan tangan pada hamparan ilalang. Dan kau datang dengan kesan yang begitu manis, semanis permen kapas. Kau tahu, dari dulu aku suka permen kapas, tentang bagaimana mereka bisa begitu manis dan lembut. Manis yang begitu menggigit, dan aku tak pernah peduli. Kau bilang gigiku bisa bolong-bolong. Tak apalah. Rasa suka ini masih lebih besar dibandingkan dengan rasa takut nanti akan sakit gigi.

Tetapi kau tahu, aku tak peduli dengan permen kapas itu kala aku melihat senyummu. Ternyata melihatmu tersenyum memberikan sensasi yang lebih menyenangkan dari sekadar menikmati permen kapas di sore hari. Kau bilang kau tidak mau membawakanku permen kapas. Tetapi aku tidak peduli. Melihatmu tersenyum sudah cukup membuatku sakit gigi.

Kau bilang kau akan sering-sering mengajakku ke pasar malam, melihat kerlap-kerlip lampu di setiap wahana yang ingin aku naiki. Kau senang melihatku kegirangan saat aku terpana melihat penjual permen kapas ada di mana-mana. Tetapi itu tidak perlu, bercakap-cakap denganmu sudah cukup membuat pikiranku berseru-seru ramai, lebih ramai dari keramaian celoteh anak kecil di pasar malam.

Dan permen kapas itu, apakah kau ingat? Satu-satunya permen kapas besar yang kau belikan untukku. Kau tahu, aku menyimpan permen kapas itu begitu lama, karena aku tak sanggup memakannya. Bukan karena aku takut sakit gigi. Aku hanya tidak mau kenangan itu hilang bersama setiap sapuan rasa manis yang mencair di mulut.

Tetapi kau ternyata sama saja dengan permen kapas itu, begitu cepat menghilang dengan menyisakan sedikit cecapan rasa manis.

Saya menemukan tulisan ini di diary lama saya. Tiba-tiba saya teringat dengan sepotong kecil kenangan itu, saat kemarin di sore hari saya kembali menikmati permen kapas. Permen kapas pertama yang saya makan setelah kenangan itu. Ternyata rasanya masih sama. Manis dan lembut, dan saya masih suka.

Thursday, December 8, 2011

YOU ARE (PRETENDING TO BE) A GOOD FRIEND

Saya punya banyak teman. Ya, tidak sebanyak itu juga. Saya bukan orang yang populer-populer amat. Teman saya di kota baru ini hanya berada di seputaran teman kuliah dan organisasi. Selebihnya hanya teman kos dan teman-teman lainnya yang terkadang menjadi tong sampah tempat saya meluapkan emosi. Mungkin ada sedikit juga teman-teman lain, yang terkadang hanya bertemu dan menukar sapaan saja.

Di antara sejumlah teman-teman itu tentu saya banyak memiliki teman perempuan. Sebenarnya saya susah untuk dekat dengan seseorang. Akrab mungkin bisa, tetapi tetap saja hati saya tidak bisa menjadi dekat. Saya agak kurang suka dengan istilah "sahabat". Menurut saya, tidak ada orang yang rela berteman tanpa timbal balik. Ketulusan di zaman sekarang sudah menjadi hal yang terlalu mahal dan hampir tak terbeli.

Saya susah dekat dengan seseorang, bukannya tanpa alasan. Orang-orang yang saya temui hingga kini kebanyakan berteman hanya sebatas kenal dan ngobrol sana-sini. Bahkan banyak juga yang berpura-pura berteman. Saya sendiri bingung dengan konteks kata pertemanan. Apakah bisa seseorang dibilang teman, bila di depan dia (sok) perhatian, tetapi di belakang ternyata dia banyak membicarakan. Bahkan ada juga teman yang menghubungi hanya saat dia membutuhkan. Jadi teman itu apa? Seseorang yang bisa dimanfaatkan?

Rata-rata teman saya suka bergosip. Tidak hanya yang perempuan, bahkan yang laki-laki pun malah lebih sering membicarakan orang. Saya terkadang jengah, sehingga hanya berhati-hati mendengarkan dan tidak mau ikut-ikutan. Saya sendiri pun merasakan, apa yang saya kerjakan sering menjadi topik pembicaraan teman-teman saya itu.

Saya bukannya orang yang anti sosial. Saya juga tidak mau sok suci dengan mengaku tidak pernah membicarakan orang. Tetapi setidaknya saya berusaha untuk tidak bergosip dan membicarakan urusan-urusan orang lain yang tidak penting. Bagi saya, teman itu haruslah saling menjaga, bukan saling menjatuhkan. Saya pun kali ini memilih untuk diam, dan berusaha menjadi seorang teman yang bisa menjaga rahasia orang lain.

Salah satu teman saya pernah bilang, kita ini makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain. Tetapi terkadang saya merasa lelah bila harus terus-terusan menjadi boneka. Lelah rasanya bila harus terus mendengarkan apa kata orang lain, dimana diri kita harus menjadi baik di mata orang lain, sedangkan di dalam diri sendiri berkecamuk banyak penolakkan. Saya seperti sulit untuk menjadi diri sendiri.

Wednesday, December 7, 2011

ERROR

Hari ini sebenarnya saya kenapa? Seharian berjalan dengan tatapan kosong. Apa ini karena pengaruh mata? Kaca mata saya memang sedang patah, sehingga saya terpaksa memakai contact lens berhari-hari. Lebih parahnya, mata saya yang kanan iritasi, dan selama berhari-hari perihnya masih terasa. Bahkan terkadang saya harus terus menutup mata saya karena tidak tahan. Padahal merah-merahnya sudah hilang. Alhasil selama berhari-hari saya terpaksa memakai contact lens hanya untuk mata kiri saya.

Saya sudah berniat untuk membetulkan kaca mata saya, tetapi ada saja halangannya. Saya masih belum sempat. Lagi pula sepertinya kaca mata saya memang sudah harus pensiun. Umurnya sudah dua setengah tahun. Tetapi saya sedang tidak punya uang, sedangkan untuk meminta ke orang tua rasanya segan. Soalnya rumah saya sedang di renovasi dan pasti membutuhkan dana ekstra.

Saya sekarang masih kaget. Setengah jam yang lalu motor saya ditabrak oleh mobil di belokan yang menuju kampus jurusan saya. Motor saya kena, di bagian knalpot. Sedih rasanya. Saya mau marah pun tidak bisa, saya terlalu kaget, sementara pikiran saya malah nge-blank. Setelah ditabrak saya hanya terdiam lama, dan kemudian buru-buru memasuki parkiran fakultas saya. Saya bahkan tidak mempedulikan orang-orang yang berkerumun dan orang yang menabrak saya. Saya baru bisa berpikir ketika saya sudah di parkiran. Ketika saya cek keadaan motor saya, ternyata penutup knalpotnya hancur . . . :(

Lemas sekali rasanya. Sampai-sampai saya tidak bisa berjalan tegak, terlalu limbung. Apalagi setelah saya ingat, mobil yang menabrak saya mirip dengan mobil dosen saya. Tetapi supirnya mas-mas, masih muda. Saya jadi khawatir. Mungkin itu salah satu alasan saya terdiam lama. Saya tidak ingin ada masalah, dan saya tidak suka menjadi pusat perhatian.

Sebenarnya ada apa dengan saya. Sepertinya ini bukan hanya masalah mata saja. Terlalu aneh bila hanya karena mata, pikiran saya bisa error selama berhari-hari. Mungkin saya harus beristirahat dulu, menenangkan diri dan mendinginkan pikiran.

Thursday, December 1, 2011