Friday, December 30, 2011

HUJAN HARI INI

image taken from here

Hari ini, langit menuangkan kembali memori yang sudah sejak lama saya abaikan. Sepenggal memori seperti kabut pagi, yang meriap-riap tipis mengaburkan cahaya. Hujan hari ini hadir begitu manis, semanis tetesan madu yang tak sengaja tertinggal dalam sebuah botol kaca.

Hujan hari ini menjadi penanda patahnya hati saya. Saya tak tahu hujan mana yang lebih berdentum. Yang saya tahu, hati saya telah tenggelam dalam genangan hujan di balik jendela. Dan tadi ada bias yang bergantungan di jemuran, tampaknya tengah menanti matahari yang memerah malu-malu, bersiap kembali dikalahkan malam.

Hujan hari ini begitu membiru, sebanding dengan mengabunya hati saya. Sejak kapan lalu saya telah terbiasa mendengarkan hujan yang tak lagi merintik. Dan saya masih enggan beranjak dari posisi bersedekap, tenggelam memeluk lutut. Jendela saya berwarna buram sudah, mengaburkan bayangan setiap tetes yang tercurah dari balik genting. Namun saya masih dapat merasakan dinginnya sapaan hujan yang meresap melalui memori, sebuah jejak penanda masa lalu.

Nyanyian hujan hari ini begitu merdu, dan saya terbius dengan mistisnya tarian hujan yang menyerbu bumi. Baru kali ini saya rasakan bisikan hujan yang mendayu. Saya, entah kapan mulanya, mulai menyengajakan mimpi tanpa memori. Biarlah memori itu terhanyut bersama riap-riap yang mengalir menuju laut, menyatu bersama buih-buih garam. Dan sejak itu saya mulai melupakan lupa.

Hujan hari ini menjadi saksi betapa suatu hal absurd bernama cinta telah mewariskan kegilaan pekat. Jatuh cinta kepadamu sama seperti memakan gula-gula, menumpuk rasa manis yang bila terlalu berlebihan akan menimbulkan sensasi mual yang menyenangkan. Tetapi saya lupa, bahwa cinta sama dengan gula-gula yang dapat menyisakan setitik lubang di dinding gigi. Ah, tapi buat apalah saya peduli. Pada guntur yang membentak pun saya balik menantang, tak lagi menyembunyikan muka di balik bantal.

Saya jatuh cinta pada caramu memanusiakan saya. Kamu yang menahan kaki saya untuk tetap menjejak ke tanah, dan memandang saya sebagai realitas nyata di balik jiwa semu saya. Saya yang begitu ingin terbang, tanpa menyadari bahwa sayap saya tak pernah tumbuh sempurna. Kalau begitu saya berenang saja. Merenangi lautan emosi yang menjadi jarak keberadaan kita. Hey, kita? Maksud saya antara saya dan hati milikmu. Namun, seberapa jauhkah saya harus berenang? Tolong beritahu saya, karena saya tak sanggup menembus batas.

Cinta memang selalu tak dapat diterka, datang sembarangan dan seringkali pergi tanpa pamit. Bahkan cinta bisa lebih kurang ajar ketika jatuh pada orang yang tak pernah dengan sengaja diprasangkai. Ya, itulah cinta, yang tak pernah mengenal batas-batas kewajaran. Memang, langit selalu tampak lebih menarik dari bumi. Tetapi cintalah yang memetamorfosiskan kelabu menjadi sebentuk hujan yang menghujam tanah. Kelabu tak pernah betah berlama-lama bercengkrama dengan langit.

Karena kelabu selalu rindu dengan bumi . . .

No comments:

Post a Comment