Friday, December 9, 2011

PERMEN KAPAS

image was taken from here
Sekali lagi aku terkenang dengan moment itu, saat berjalan di sore hari, menyapukan tangan pada hamparan ilalang. Dan kau datang dengan kesan yang begitu manis, semanis permen kapas. Kau tahu, dari dulu aku suka permen kapas, tentang bagaimana mereka bisa begitu manis dan lembut. Manis yang begitu menggigit, dan aku tak pernah peduli. Kau bilang gigiku bisa bolong-bolong. Tak apalah. Rasa suka ini masih lebih besar dibandingkan dengan rasa takut nanti akan sakit gigi.

Tetapi kau tahu, aku tak peduli dengan permen kapas itu kala aku melihat senyummu. Ternyata melihatmu tersenyum memberikan sensasi yang lebih menyenangkan dari sekadar menikmati permen kapas di sore hari. Kau bilang kau tidak mau membawakanku permen kapas. Tetapi aku tidak peduli. Melihatmu tersenyum sudah cukup membuatku sakit gigi.

Kau bilang kau akan sering-sering mengajakku ke pasar malam, melihat kerlap-kerlip lampu di setiap wahana yang ingin aku naiki. Kau senang melihatku kegirangan saat aku terpana melihat penjual permen kapas ada di mana-mana. Tetapi itu tidak perlu, bercakap-cakap denganmu sudah cukup membuat pikiranku berseru-seru ramai, lebih ramai dari keramaian celoteh anak kecil di pasar malam.

Dan permen kapas itu, apakah kau ingat? Satu-satunya permen kapas besar yang kau belikan untukku. Kau tahu, aku menyimpan permen kapas itu begitu lama, karena aku tak sanggup memakannya. Bukan karena aku takut sakit gigi. Aku hanya tidak mau kenangan itu hilang bersama setiap sapuan rasa manis yang mencair di mulut.

Tetapi kau ternyata sama saja dengan permen kapas itu, begitu cepat menghilang dengan menyisakan sedikit cecapan rasa manis.

Saya menemukan tulisan ini di diary lama saya. Tiba-tiba saya teringat dengan sepotong kecil kenangan itu, saat kemarin di sore hari saya kembali menikmati permen kapas. Permen kapas pertama yang saya makan setelah kenangan itu. Ternyata rasanya masih sama. Manis dan lembut, dan saya masih suka.

No comments:

Post a Comment