Saturday, December 10, 2011

GEMPA LITERASI

Saya kemarin menghadiri acara di aula Suara Merdeka (Jl. Kaligawe Semarang). Acara ini semacam workshop kepenulisan bersama Gol A Gong yang bertajuk "Gempa Literasi". Gempa Literasi di sini maksudnya adalah menghancurkan kebodohan, terutama lewat membaca dan menulis.

Sebenarnya Jum'at kemarin Gol A Gong sudah menyambangi kampus saya (FIB Undip) dalam acara yang diselenggarakan atas kerja sama antara KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) dan Teater Emka. Awalnya saya tidak tahu bahwa ada Gol A Gong di lantai 1 kampus. Begitu tahu, saya langsung pingin ikut lihat. Padahal waktu itu saya sedang berada di lantai 3 dan sedang menunggu narasumber untuk diwawancara. Jadinya saya nontonnya bolong-bolong.

Gol A Gong sempat bercerita mengenai masa lalunya. Ia mulai menulis sejak umur 12 tahun, di tengah segala keterbatasannya. Perlu diketahui, tangan kiri Gol A Gong sudah cacat sejak kecil. Namun semangatnya untuk membaca dan menulis semakin tumbuh, tatkala Ayahnya berkata, "Ini buku, bacalah! Maka kamu akan lupa bahwa kamu cacat".

"Buku itu wanita (oke, dalam kasus ini kata wanita perlu diubah menjadi pria, karena saya perempuan), maka nikahilah buku . . ." Kata Gol A Gong.
"Buku itu tanda, maka kenali maknanya . . ." Kata Dayat, salah seorang teman saya. Oia, Dayat ini berhasil mendapatkan sebuah buku Gol A Gong yang berjudul Menggenggam Dunia lewat kata-kata itu. Ternyata sebuah kalimat pun bisa sangat berharga ya.

Saya jadi teringat dengan masa kecil saya. Dulu, saya sudah bercita-cita untuk kuliah di jurusan sastra Indonesia, walaupun keinginan itu sempat ditentang orang tua saya. Saya sempat memiliki mimpi-mimpi tentang dunia sastra, seperti menjadi penulis dan bermain teater. Bacaan saya semenjak SD adalah buku-buku terbitan Balai Pustaka, seperti Salah Asuhan, dll (Saya lupa judul-judulnya). Bahkan majalah Horison pun sudah saya lahap, walaupun pada masa itu saya tidak terlalu mengerti karena diksinya yang terlalu nyastra.

Sering saya berpikir kalau saya salah jurusan. Saya tidak pernah menyesal masuk jurusan Sejarah, hanya saja saya memiliki minat yang sangat besar untuk mempelajari sastra. Jujur saja, terkadang saya iri pada teman-teman saya yang berasal dari jurusan Sastra Indonesia. Di jurusan saya sendiri, tidak banyak orang yang nyambung dengan saya. Tetapi begitu saya main dengan teman-teman dari Sastra Indonesia, saya seperti menemukan potongan diri saya yang sempat hilang.

No comments:

Post a Comment