Saturday, January 29, 2011

YA, PEREMPUAN

Selaksa rindu ini semakin membuncah, semakin meruncing, seiring dengan guliran setiap milisekon waktu, tak terbantahkan.

Kau tahu, perempuan, ketika telah mengkristalkan butiran-butiran bening dalam setiap heningnya, maka seluruh rasa dan perasaan yang dimilikinya luruh beserta aliran dalam pelupuknya. Dan hati perempuan itu begitu lembut, begitu rapuh, bagaikan embun, terjebak, dipermainkan serat-serat daun. Namun tahukah kau, bahkan pundak seorang perempuan begitu kuatnya, hingga mampu menopang dunia, menampung seluruh kepedihan, seluruh dusta.

Ya, perempuan, sang pelita, sang lentera, yang bahkan tanpanya sang langkah pun berat untuk beranjak, untuk menjejak. Karena dialah, sang penopang.

Ya, perempuan, yang dalam setiap gurat raut keningnya, tersimpan berjuta kasih yang siap dilontarkan. Yang dalam setiap sela jemarinya, tersimpan kehangatan yang tak pernah kau kira, mampu merubah dunia.

Ya, perempuan, dialah sang awal dan akhir dalam sebuah torehan kisah. Dialah, sang penanti di setiap penghujung, yang dalam raganya tersimpan berjuta dekapan kasih.

Ya, perempuan, yang bahkan dalam setiap tatapnya selalu terpancar penantian. Dan dialah sang cermin, tempatmu memantul diri, dengan berbagai tambalan yang jika kau perhatikan, hampir menutupi seluruh retak permukaannya.

Ya, perempuan, dia serupa kain perca yang siap menjadi penghangat jemarimu. Dialah sang tujuan, yang kepada tangannyalah kau kembali, untuk pulang, untuk merasakan seluruh hangat kelembutan belaiannya.

Ya, perempuan, yang kerap kali kau retakkan hatinya, kau renggut senyumnya, tetapi tahukah kau, persediaan senyumnya untukmu tak pernah habis, selalu tersedia.

Ya, perempuan, yang dalam setiap auranya terpancar ketulusan tak terperi.

Ya, dialah . . .
Perempuan . . .

Tuesday, January 25, 2011

DAN KINI

Dan kini yang tersisa hanyalah senyap
Bahkan senyap itu masih bising terasa
Kau meliuk meretas nyawa, dalam alur panggung tak bertiang, membongkar buncahan ratap, menutup sang relung tawa, bergemuruh, meruntuh dinding kepastian.

Dan kini kau serupa melati, yang dalam anggun putihnya, mampu menebar layangan wewangi.
Aku pun terpikat, terpana, bagai semut yang merindukan kehadiran sang manis.
Merubung, kalap menghirup, tak sabar menderu waktu, mabuk dalam angan.

Dan kini kau pun serupa mata, yang menatap tajam menyorot kelam.
Sampai dalam kedua bola matamu kulihat
kesunyian
Sunyi, yang bahkan mampu menggurat raut-raut kelam dalam lekuk hitam keningmu.

Friday, January 14, 2011

MASA UJIAN

Saya bukanlah orang suci. Saya juga tidak bisa dikatakan sebagai orang baik. Tetapi setidaknya saya telah mencoba untuk jujur, pada diri saya sendiri . . .

Dua minggu ini, saya memasuki masa ujian di kampus saya. Masa ini adalah masa yang paling berat dan paling membuat saya sebal. Bukan karena susahnya ujian atau saya yang malas belajar (walaupun faktanya saya memang malas, hehe . . :P), tetapi lebih karena saya melihat teman-teman saya melakukan hal yang menurut saya, kotor. MENCONTEK.

Bukan mencontek saling berdiskusi dengan teman sebelah yang saya tak suka. Bagi saya, mencontek seperti ini masih dalam taraf kewajaran, karena setidaknya dia sudah berusaha dan belajar, tetapi kalau memang tidak bisa mengerjakan, ya sudah, terpaksa menempuh jalan itu. Jenis mencontek yang saya benci adalah mencontek dengan mencari-cari kesempatan untuk membuka catatan. Bagi pandangan subjektif saya, itu sama saja dengan mencuri.

Saya tak mau memberi cap negatif, tetapi sesak rasanya hati saya bila melihat teman saya sendiri mencontek dengan cara ini. Apalagi teman saya itu sehari-harinya selalu bertingkah (sok) idealis. Ikut organisasi ini-itu, sering bicara tentang agama dan Tuhan, sering berbicara tentang bagaimana membuat gebrakan baru, dll. Tetapi pada kenyataannya, untuk menghadapi ujian sekecil ini saja dia sudah berbuat curang. Apalagi untuk menghadapi masalah kehidupan nyata, yang sebenarnya jauh lebih keras.

Saya hanya sesak, bagaimana teman saya itu begitu mudah berkata-kata, sehingga seolah-olah dia berpikiran luas. Tetapi kenyataannya, dia berpikiran sempit.

Saya tahu, saya salah bila saya hanya memberikan cap buruk pada orang lain. Saya sendiri juga punya banyak dosa dan kesalahan. Saya hanya ingin mengungkapkan isi hati saya, tentang buruknya mood saya dua minggu ini, setelah melihat kelakuan teman saya itu.

Sebenarnya bukan cuma dua minggu saja sih. Karena dia 'begitu' bukan cuma kali ini saja . . .

Saya sedih. Saya bukannya benci dengan teman saya. Saya sayang dia, dan saya ingin dia berubah. Tetapi saya tidak tahu caranya. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat . . .

Saya sedih, saat melihat dia mencari-cari kesempatan saat dosen lengah, dan mengaduk-aduk tasnya untuk mencari catatan. Saya sedih, saat melihat dia bolak-balik pergi ke toilet, hanya untuk melihat catatan yang sudah dia siapkan. Saya sedih, ketika ujian selesai, dia memamerkan kertas kecil contekannya. Saya sedih, ketika dia meminta semua bahan kuliah dari saya, padahal saya tahu itu hanya untuk membuat contekan, sehingga membuat saya merasa serba salah. Saya sedih, ketika yudisium, dia marah-marah karena nilainya ada yang tidak sesuai harapan.

Sebegitu pentingkah nilai di matamu kawan? Padahal itu hanyalah sebuah coretan hitam kecil di atas kertas putih . . .

Nilai terpenting, bagi saya, adalah kejujuran. Dibohongi orang lain saja sudah sakit, apalagi dibohongi diri sendiri. Walau tak disadari, kebohongan itu akan mengubah hati dan diri kita . . .

Saya bukanlah orang yang jujur. Saya juga sering bohong. Tetapi setidaknya saya telah mencoba jujur, pada diri saya sendiri . . .

Maafkan saya ya, yang kini tengah sebal dengan tingkah kamu.

Saturday, January 8, 2011

Friday, January 7, 2011

APA SALAH

Bahkan kini senyumanmu terasa beku.

Saya merasa ditinggalkan . . .

Saya rasa, kau datang hanya ketika kau membutuhkan tangan seseorang. Maka dengan senang hati akan saya ulurkan tangan saya. Kau tarik tangan ini, hingga memerah luka, hingga kebas tak berasa, lunglai tak berdaya. Dan bahkan kau tetap tak mampu, atau mungkin tak mau, untuk menatap mata saya.

Saya cemburu, pada mereka, yang kerap kau rubungi. Saya cemburu, dengan perhatian dan tatapan hangat yang kau berikan khusus untuk mereka. Saya cemburu, dengan kuatnya genggamanmu, yang kau berikan ketika mengajak mereka berlari.

Apakah salah, bila saya, sampai kapanpun, tetap tidak bisa menjadi sama . . .

Saya bukanlah lebah pekerja, yang terikat kontrak mati dengan sang ratu. Kebebasan adalah dunia saya, dunia fana, sekaligus nyata. Apakah itu salah . . .

Mungkin saya terlalu kaku . . .

Tetapi setidaknya saya jujur . . .