Friday, June 22, 2012

MUNGKIN

Hari ini aneh. Ada rasa senang dan sedih yang melintas terlalu berdampingan. Senang atas hal-hal yang terselesaikan, dan sedih atas apa-apa yang (telah) meninggalkan. Saya tak tahu, rasa mana yang paling mendominasi. Rasanya terlalu tercampur aduk secara paksa, aneh.

Hari ini aneh. Ada kesalahpahaman yang tiba-tiba datang tadi. Tetapi hingga kini saya tak tahu apakah saya perlu untuk meluruskan kesalahpahaman itu. Saya juga tak tahu, apakah penjelasan saya masih memiliki arti penting untuk mau ia maknai. Ah, saya tak tahu.

Mungkin saya juga tak perlu tahu.

Sunday, June 10, 2012

THE TIME IS PASSING BY SO FAST, ISN'T IT?


 .Pic taken from here.


Apa yang tak berkaki namun mampu berlari sangat cepat tanpa terkejar? 
Itulah dia, waktu.

Terkadang saya lupa bahwa saya sudah mencapai "kepala dua". Rasanya baru kemarin, saya berumur sepuluh tahun, dengan rambut terkepang dan suka bermain lompat tali. Rasanya baru kemarin ibu saya datang ke sekolah untuk mengambil ijazah SD saya, mengambil rapor SMP dan membuatkan kebaya untuk wisuda SMA saya. Rasanya juga baru kemarin saya pertama kali memutuskan untuk pergi menuntut ilmu dan menuntut jawaban ke kota mimpi. Ah, saya telah tertipu oleh kecepatan waktu.

Di usia baru saya yang sudah memiliki embel-embel puluhan, saya pikir saya telah tumbuh semakin besar dan dewasa dengan cara saya sendiri. Namun terkadang, saya merasa di beberapa sisi saya mengalami stagnansi pertumbuhan, baik tubuh maupun perilaku. Sebagai contoh, kayaknya pertumbuhan tinggi badan saya tidak mengalami kemajuan semenjak saya SMP deh. Saya harus terima kenyataan bahwa saya (mungkin) ditakdirkan untuk memiliki tubuh pendek, bahkan terpendek di keluarga kecil saya. Padahal sejak kecil saya sudah melakukan banyak usaha dengan sering loncat-loncat, rajin berenang setiap minggu, minum susu untuk pertumbuhan, dan minum berbagai macam jus sayuran yang sampai sekarang untuk mengingatnya saja sudah bikin saya enek dan pingin muntah. Makanya saya berani bilang bahwa memang sepertinya sudah menjadi takdir saya untuk bertubuh pendek, sedihnya . . .

RELIEVED

Sore tadi saya pergi dengan seorang teman. Kami hanya janjian untuk bertemu di sebuah toko buku di salah satu mall. Ketika kemarin saya diajak teman saya itu untuk pergi ke luar, saya langsung mengiyakan. Nyatanya berdiam diri di kos pun nggak menghasilkan apa-apa, jadi mungkin saya butuh sedikit penyegaran.

Sejujurnya saya memang sedang ingin pergi, tapi bukan ke tempat ramai seperti mall, apalagi di malam minggu. Namun entah kenapa pertemuan saya dengan teman saya   walaupun kami bertemu di tengah keramaian malam minggu yang sering membuat saya merasa agak nggak nyaman   membuat saya merasa sedikit lega. Kami, dengan masalah masing-masing, saling menemani dan bercerita. Saya nggak tahu, apakah sedikit cerita yang teman saya sampaikan tadi itu benar atau nggak, karena nyatanya kami belum lama saling mengenal, sehingga kemungkinan ia menganggap saya belum bisa dipercaya, begitu pun dengan saya yang (mungkin) menganggapnya seperti itu. Tapi nggak tahu kenapa kepada teman saya itu saya nggak tahan untuk nggak bercerita mengenai sedikit masalah saya, kekhawatiran dan ketakutan saya. Mungkin itu disebabkan oleh rasa asing yang masih melingkupi kami. Saya memang lebih sulit bercerita mengenai keadaan diri saya terhadap orang-orang yang dekat dengan saya. Mungkin walaupun orang-orang itu dekat dengan saya, tetapi secara personal dan emosional saya nggak merasa dekat. Saya tidakbelum merasa aman dengan mereka. Ya, keterasingan membuat saya merasa aman, karena saya bebas melontarkan cerita mengenai diri saya tanpa takut cerita itu akan dijadikan senjata untuk menyerang saya. Saya bukan trauma, hanya saja sedikit mengantisipasi agar hal seperti itu nggak terjadi lagi. Boleh-boleh saja kan?

Friday, June 8, 2012

KABAR BAIK

.Pic taken from random googling.

"Seperti udara, saya ingin menjadi tiada yang nyatanya ada."
Tuhan, jika kedatangan masalah-masalah itu bisa membantu saya untuk mendapat sedikit arah dalam pencarian jawaban atas segala pertanyaan, maka kuatkanlah saya Tuhan. Kuatkanlah saya, jika saya memang harus melakukan pencarian itu seorang diri.
Karena saya masih takut, Tuhan . . .
Entah sejak kapan mulanya, saya sering berdiam diri sendiri, merenung dan berpikir. Orang bilang saya kebanyakan melamun. Pernah salah seorang teman bertanya saya sedang apa, dan saya menjawab bahwa saya sedang menunggu kabar baik. Saya tak tahu, entah kapan kabar baik itu sudi mampir ke peraduan nasib saya.

Saya hanya tahu, keberuntungan itu tidak dijual. Kalau pun ada, pasti sudah habis persediaannya. Maka saya pun meninggalkan kemungkinan untuk bertemu dengan keberuntungan. Nyatanya saya memang jarang beruntung, namun bukan berarti saya selalu sial. Saya hanya, belum beruntung. Kabar baik masih belum berbaik hati pada saya.

Saya sering melihat, pengharapan-pengharapan yang saya lambungkan ke langit sering limbung akibat tekanan-tekanan angin yang terlalu menusuk. Sementara balon pengharapan milik orang-orang lainnya telah membumbung begitu tinggi, siap ditelan oleh langit. Terkadang saya bisa begitu iri pada kabar baik milik orang lain, sementara nasib saya jarang dihinggapi oleh kabar baik, atau mungkin jatah kabar baik saya sudah kadaluarsa. Saya tak tahu.

Ah, masalah, selalu membuat saya rindu pada kebebasan.

Tuhan, jauhkanlah saya dari rasa mengiri, atas kabar-kabar baik yang ditiupkan pada orang lain. Nyatanya saya masih baik-baik saja, tidak apa-apa. Mungkin kabar baik itu masih menanti saya dalam dimensi yang berbeda.

TUJU(AN)

Mungkin akan kau lihat aku tampak seperti kepayahan.
Ah, aku kian tak mengerti, mengapa tujuan itu masih serupa dengan teka-teki.
Sementara menjadi mati adalah (bukan) tujuan, sebab mati adalah pasti tanpa teringkari.
Mati (pun) hanya serupa jiwa yang memisah, terpaksa.
Dan aku masih tersaruk-saruk menyuruk, di tengah hening yang tiba-tiba menjelma hiruk,
memungut pengertian yang (tak) sengaja lepas berceceran.

Thursday, June 7, 2012

SIAPALAH AKU

Lalu, siapalah aku dalam labirin benakmu.
Jejakmu selalu lebih hitam dari malam-malam tanpa penerangan, menjadi ada yang ditiadakan.
Siapalah aku, yang pada tanah bisu masih menceracau menghardik sepi.
Memusuhi.
Aku benci, pada kaca retak yang masih tidak memberi jawaban.
Siapalah aku, mungkin tak lebih dari gumpalan urat yang terlekat.
Aku tercipta, oleh kehendak yang dipaksakan.
Satu, dua, tiga.
Pada hitungan empat aku berhenti, untuk apa.
Siapalah aku, yang tak pernah tiba pada jarak yang kelima.
Nyatanya aku ada, maka aku tidak sekadar bukan siapa-siapa.
Patah-patah ku berpikir. Mungkinkah aku sebuah adikarya yang tak terselesaikan.
Aku, abu.

Tuesday, June 5, 2012

TAK TERLIHAT

.Pic taken from random googling.

Seperti menulis di atas pasir, selalu ada gelombang air yang akan menyapunya. Seperti itulah, saat-saat dimana saya sedang butuh untuk menjadi tak terlihat, menjadi orang yang terakhir untuk dicari.

Saat-saat seperti ini adalah masa ketika saya merasa benar-benar sendirian. Sendirian dan tak terbela. Tinggal di kota mimpi ini, saya sudah terbiasa sejak dulu untuk menebalkan hati dan menulikan telinga, menyiapkan proteksi. Sudah berkali-kali saya mencoba pergi, mencari tempat lain yang lebih "ramah" untuk saya. Namun, semakin keras saya berusaha, saya makin menyadari bahwa saya sudah begitu terikatnya dengan kota mimpi. Saya masih tertahan di sini, di kota mimpi yang saya harap tidak akan menjadi kota tempat realitas saya kemudian berlanjut. Setidaknya dengan begitu saya tidak akan bertemu dengan orang-orang yang sama.

Siang tadi, tiba-tiba seorang teman kuliah (kini saya jadi bertanya-tanya, masih layakkah "dia" untuk saya sebut teman?) mengirim pesan singkat melalui telepon selular. Dia memarahi dan memaki-maki saya, atas akumulasi kesalahannya dan teman saya yang lain. Dia menyalahi saya atas ketidaktahuannya mengenai banyak informasi penting tentang perkuliahan yang sebenarnya sudah diketahui oleh hampir semua orang. Menurut dia, saya tidak becus dalam memenuhi tanggung jawab saya sebagai "Asisten Dosen". Asisten dosen apa? Tiba-tiba titel itu diberikan pada saya yang tidak tahu apa-apa, hanya karena saya dekat dengan beberapa dosen. Ini bukan pertama kalinya ia menyalahkan saya disebabkan oleh berbagai hal. Saya yang tak terima disalahkan terus oleh orang atas kesalahannya sendiri pun berang. Bisa-bisanya dia   yang tak pernah melakukan apa-apa untuk dirinya apalagi untuk orang lain    menyalahi saya atas kesalahan yang tidak saya lakukan. Dengan gemetar saya membalas pesan singkatnya dengan kata-kata cukup pedas, yang kemudian dibalasnya dengan lebih pedas. Saking marahnya, kepala saya tiba-tiba pening dan pertahanan saya jebol, saya menangis.

"Teman" saya itu beranggapan bahwa saya adalah orang yang harus tahu segalanya mengenai segala informasi perkuliahan. Sekali saja tidak ada update informasi, saya menjadi orang pertama yang disalahkan. Begitu pun bila ada suatu kegiatan di kelas, saya selalu menjadi seksi paling sibuk. Posisi saya adalah "sekretaris abadi", dimana saya bertugas untuk mengurus urusan birokrasi dan urusan-urusan pelik lainnya, di luar tanggung jawab resmi jabatan sekretaris. Bahkan terkadang saya merasa saya bekerja sendiri, dengan seluruh tanggung jawab banyak orang yang tiba-tiba dibebankan hanya pada saya. Sebenarnya saya tidak mau, tetapi saya masih punya rasa peduli, pada keadaan yang sudah sedemikian pasifnya. Konsekuensinya, saya harus siap menjadi bahan omongan banyak orang di kelas saya. Selain banyak yang bilang saya terlalu mendominasi, saya pun sering harus menelan paksa omelan, komplain bahkan caci maki dari banyak orang, atas apa-apa yang seharusnya bukan tanggung jawab saya. Padahal saya dibayar pun tidak.

Saya capek, saya tidak tahan dan saya sakit. Saya lelah menjadi orang yang tidak dihargai di kelas sendiri, padahal di luar saya lebih dihargai dan diapresiasi. Saya lelah untuk terus peduli dan berusaha untuk kepentingan orang lain, sementara orang tersebut hanya mampu menyalahkan atas apa-apa yang dirasa salah. Mungkin mereka hanya menganggap saya "pesuruh", sebagai lebah pekerja dan menjadi tempat penyalahan atas apa-apa yang berada di luar kendali. Dan terkadang bila saya sedang kesal, saya menganggap mereka manusia setengah parasit. Maka salah satu pengharapan saya yang terbesar adalah saya bisa cepat-cepat meninggalkan mereka di belakang, yang hingga kini hanya mampu berjalan di tempat.

Terkadang saya merasa lucu. Saya lebih nyaman berinteraksi dengan orang-orang di luar kelas saya. Mereka menerima saya apa adanaya, dan menilai saya atas kemampuan yang saya miliki, bukan hanya dari omong-omong kosong belaka. Dan entah mengapa, di sanalah saya bisa menemukan sedikit celah kebebasan.