Friday, March 30, 2012

YANG HILANG DARI DUNIA

Terkadang bila rasa anti sosial saya muncul, saya diam mengunci diri. Dunia pribadi saya terlalu ramai sehingga saya tidak sanggup untuk menemui keramaian yang sesungguhnya. Saya sering rindu pada sepi, membutuhkan waktu dimana hanya ada saya sendiri, tanpa gangguan. Sering saya pergi, melarikan hati saya tanpa tujuan pasti di senja hari. Berjalan sendirian, sementara hati saya terlalu penuh sehingga harus tumpah meninggalkan jejak yang mengalir. Saya tak peduli dengan orang-orang yang berpapasan dengan saya di tengah jalan. Saya tak peduli dengan tatapan aneh mereka, kala melihat seorang perempuan berjalan sendirian sambil menatapi langit. Karena kala itu, saya tengah sibuk berdialog dengan langit.

Karena saat sendirian itu saya merasa bebas. Tidak ada yang bertanya atau menuntut penjelasan, dan membebani saya dengan berbagai masalah. Ya, pundak dan hati saya mungkin seharusnya tak memiliki batas, tetapi batas itu telah ada, entah kapan munculnya.

Masalah mengajari saya untuk berhati-hati, karena hati setiap orang memiliki corak yang berbeda. Putih bersih itu hanya mitos, bahkan bagi orang paling suci sekalipun. Masalah mengajari saya untuk tak mudah percaya, karena terkadang bahkan seorang manusia bisa menjadi sebegitu jahatnya hingga mampu menikam dari belakang, tanpa peringatan. Karena bahkan masalah pun sering terwujud atas interaksi antar sosialis.

Masalah-masalah itu menciptakan sifat anti sosial pada saya sebagai bentuk reaksi penolakkan. Entah mengapa, terkadang dunia kecil saya itu bisa menawarkan rasa aman, suatu rasa yang sulit saya temukan di dunia nyata. Ya, bagi saya rasa aman itu ternyata begitu mahal.

Tetapi terkadang saya pun benci rasa sepi itu. Karena ternyata, berbaikan dengan masalah pun membuat saya lebih mengerti arti dari hidup dan kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan kebahagiaan semu yang sering bertentangan dengan realitas.

Dan terkadang saya merasa ada yang hilang dari dunia, ketika saya memutuskan untuk menyepi.

Sunday, March 25, 2012

TUHAN

Tuhan . . .
Aku takut.
Tolonglah aku, Tuhan . . .

Thursday, March 22, 2012

PEREMPUAN DALAM KODRATNYA

Banyak yang bilang bahwa perempuan, bagaimanapun kerasnya dia berusaha, tetap tidak akan pernah dan tidak boleh memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari laki-laki. Karena sudah menjadi kodrat seorang laki-laki untuk menjadi pemimpin. Entahlah, saya tak tahu apakah statement ini muncul sebagai keegoisan laki-laki atau ketidakberdayaan perempuan.

Dulu, entah kapan mulanya, ibu saya sering menasihati saya, bahwa perempuan sekarang haruslah punya pekerjaan sendiri dan tidak bergantung pada laki-laki. Karena faktanya kini jumlah laki-laki dan perempuan tidaklah imbang. Perempuan sekarang harus lebih mandiri, lebih cerdas, karena belum tentu ada laki-laki yang bertanggung jawab dan masih bisa untuk menjadi pemimpin bagi hidup seorang perempuan. Karena hidup itu tidak seperti dongeng-dongeng pengantar tidur yang selalu live happily ever after.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak harus mandiri bila memiliki suami yang mapan atau memiliki kedudukan tinggi. Namun, bagaimana bila suatu hari suami yang dianggap ideal tersebut ternyata pergi atau tak sanggup memenuhi kewajiban untuk memberikan nafkah bagi perempuan dan anak-anaknya? Bagaimana dengan laki-laki yang tak bisa memberi rasa aman bagi perempuan, haruskah seorang perempuan tetap bergantung pada laki-laki tersebut? Bahkan banyak kasus perempuan-perempuan yang diposisikan sebagai boneka bagi para laki-laki hanya karena terlalu bergantung pada laki-laki.

Bagi saya, perempuan mapan dari segi financial sangat penting untuk memberikan rasa aman. Karena bahkan zaman pun berubah, dan tidak dapat disamakan dengan dulu-dulu ketika seorang perempuan masih berlindung di balik punggung laki-laki.
Karena pencapaian yang sebenarnya adalah bukan apa yang bisa diberikan oleh orang lain, tetapi bagaimana untuk berdiri sendiri dan memberikan pada orang lain.
Saya kurang setuju bila ada orang yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari laki-laki. Bahkan dalam kehidupan nyata pun, sering saya mendapat teguran-teguran kecil dari kaum laki-laki, karena saya dinilai memposisikan diri saya di atas laki-laki. Padahal kenyataannya, saya tetap mengakui bahwa memang sudah menjadi kodrat bahwa posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Namun dalam kasus ini, saya lihat banyak laki-laki yang tidak mau diungguli dari perempuan, tetapi mereka tidak pernah berusaha untuk lebih unggul dari perempuan. Lalu saya sebagai perempuan harus bagaimana, terus mengalah? Mengalah pada laki-laki yang bahkan tidak memiliki keinginan untuk maju dan hanya mencoba untuk menutupi kelemahannya sendiri tanpa mengembangkan diri? Apakah kepada laki-laki semacam itu seorang perempuan harus bergantung? Saya rasa tidak.

Sebenarnya, bukan berarti saya menyatakan bahwa perempuan harus lebih unggul dari laki-laki. Hanya saja saya tidak suka bila egoisme laki-laki membuat saya sulit untuk berkembang. Menurut saya sangat simpel sih sebenarnya, bila laki-laki tidak mau diungguli oleh perempuan, kenapa mereka tidak mencoba untuk mengembangkan dirinya sendiri? Saya hanya tidak suka dijegal dan dipaksa.

Namun terkadang saya tidak setuju dengan perempuan yang terlalu mandiri hingga merasa dirinya superior dan kehilangan rasa hormatnya pada laki-laki. Saya percaya, masih banyak laki-laki yang tidak egois dan bertanggung jawab sehingga patut untuk dihormati. Walau bagaimanapun juga, seorang perempuan butuh seorang laki-laki sebagai sosok pemimpin. Karena seluruh perempuan, butuh kepastian dan rasa aman. Karena seluruh perempuan membutuhkan sosok laki-laki yang benar-benar pantas untuk menjadi imam. Karena bagaimanapun juga, laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan.

Tuesday, March 20, 2012

SAYA DAN MEREKA

.Pic taken from random googling.

Sebagai seseorang yang sering dibicarakan di belakang, saya termasuk cuek dalam menanggapi segala omongan miring tentang saya. Saking terbiasanya, saya jadi tak mau ambil pusing, walaupun saya tidak bisa menyangkal, bahwa hingga saat ini saya masih terganggu dengan omongan-omongan orang di belakang saya. Bahkan dulu ketika hati saya tengah mencapai puncak kelelahan, saya pernah menangis terisak-isak di depan teman saya tanpa berkata apa-apa, membuat teman saya itu kebingungan. Saat itu saya merasa benar-benar sendirian. Saya sampai tak sanggup memandang wajah teman-teman saya, hingga saya sering pergi menyendiri karena saya butuh waktu dimana saya tidak diganggu.

Sepertinya memang saya tidak terlalu cocok dengan sebagian besar teman-teman di lingkungan kuliah saya. Sering saya menyalahkan diri saya dan introspeksi diri. Mungkin saya yang salah, entah karena perbedaan kultur, pemikiran, kebiasaan, atau hal lainnya. Tetapi lama kelamaan saya mulai menyadari, bahwa bukan saya yang salah, hanya saja mereka yang tidak bisa menerima diri saya. Bahkan saya sering dianggap sombong, yang mungkin disebabkan oleh sedikit kelebihan yang tidak bisa mereka miliki. Saya seperti tidak dapat berkembang, karena saya berada di lingkungan yang menurut saya terlalu statis.

Bagi mereka, saya terlalu berbeda. But I don't care, because I don't wanna be a fake.

Pada akhirnya, saya sendiri yang malas untuk berinteraksi terlalu jauh. Saya lebih sering berinteraksi dengan orang-orang di luar jalur jurusan saya. Bahkan ada teman saya yang mengatakan saya sok sibuk. Ah biarlah, toh ketika saya punya waktu luang banyak pun teman saya itu tidak pernah mencoba untuk bermanis-manis dengan saya, kecuali bila ada maunya. Jika mereka hanya sibuk sirik dan membicarakan orang lain di belakang, maka saya mencoba untuk sibuk mengembangkan diri dan melakukan hal-hal yang saya sukai. Jika mereka langsung pulang dan menghabiskan sore hari dengan menghabiskan uang dengan berbelanja, maka saya menghabiskan sore saya dengan organisasi.

Lama kelamaan saya semakin terbiasa dengan omongan-omongan miring tentang saya, walaupun seringkali omongan-omongan itu membuat hati saya panas karena menurut saya tidak benar. Mereka seolah-olah memposisikan saya sebagai orang yang terlihat "jahat". Bahkan saking buruknya omongan mereka, saya sudah menganggap bahwa apa yang mereka bicarakan adalah fitnah. Biarlah orang lain yang menilai bagaimana diri saya sebenarnya, terlepas dari rasa iri seperti mereka yang sering membicarakan saya. Saya sudah memiliki terlalu banyak masalah, sehingga saya tak mau membuang waktu percuma dengan menanggapi mereka. Saya hanya mengambil sisi positifnya saja, karena terbiasa itulah pikiran saya semakin terbuka dan dewasa. Dan saya semakin percaya bahwa saya mampu, karena rintangan yang saya hadapi lebih berat dari orang lain, maka hadiah saya pun pasti akan lebih besar.

Saya sering tertawa dalam hati jika mendengar ada teman saya yang sedang bingung dengan masalah yang menurut saya sepele. Bila pikiran jahat saya sedang muncul, terkadang saya ingin agar mereka bisa merasakan sakitnya dijahati orang seperti yang pernah mereka lakukan pada saya, agar mereka berhenti untuk menyakiti perasaan orang lain. Lucunya, ada teman saya yang bilang bahwa dia anti kemapanan, padahal dia belum pernah merasakan rasanya menjadi tidak mapan yang sebenarnya. Dia terlalu aman, dengan posisi limpahan harta dan perhatian orang tua, sehingga dia tidak tahu bagaimana rasanya punya masalah yang berat. Dan mereka tidak tahu bagaimana rasanya harus menghadapai berbagai masalah berat sendirian dengan bonus sering dijahati orang.

Sebagai manusia biasa, saya pun ingin terbebas dari masalah. Namun bila hidup saya terlalu aman, maka saya hanya seperti daun yang tertiup angin, hampa. Saya lebih suka menentang arus, walaupun itu artinya tidak hanya kerikil yang harus saya hadapai, tetapi juga batu-batu besar masalah. Tidak apa-apa, karena dengan begitu hidup saya lebih berarti.

Ya, mungkin hidup mereka terlalu lurus dan membosankan, sehingga mereka sibuk mengurusi urusan orang lain dan menjelek-jelekkan orang lain. Mereka sepertinya tidak mengerti, bahwa dengan begitu mereka hanya menunjukkan bahwa hidup mereka tidak bermakna.