Wednesday, February 29, 2012

YA, SAYA BERKERUDUNG

.Pic taken from here.

Saya perhatikan, belakangan ini banyak perempuan yang menggunakan kerudung layaknya aksesoris belaka, yang dapat dipakai dan disimpan semau-maunya. Mereka hanya menggunakan kerudungnya di saat-saat tertentu, dan lebih sering menanggalkannya. Contohnya, banyak teman di jejaring sosial saya, yang ketika di dunia nyata sering saya lihat memakai kerudung, tiba-tiba meng-upload fotonya yang saat itu sedang tidak menggunakan kerudung. Bahkan ada teman yang menampilkan fotonya ketika dia menggunakan pakaian yang minim. Ironis, sayang sekali.

Ada teman saya yang sering menyindir teman saya yang lain yang suka buka tutup kerudungnya. Lucunya, teman saya yang sering menyindir itu tidak berkerudung. Ketika saya tanya mengapa dia sibuk menyindir orang lain sedangkan dirinya sendiri belum berkerudung, dia hanya menjawab, "Ya nanti, aku belum siap. Yang penting kan hatinya dulu yang berjilbab, bukan badannya".

Mengapa harus menunggu urusan hati terlebih dahulu, urusan yang jauh lebih besar dan kompleks. Jika memang seperti itu, maka apa artinya sebuah jilbab, sebuah kerudung? Karena bagi saya, tidak ada hati seorang pun yang benar-benar bersih dan suci. Maka, untuk mensucikan hati bisa dimulai dari hal kecil kan, memperbaiki diri dari luar, dengan berkerudung. Karena kerudung merupakan salah satu sarana proteksi diri bagi seorang perempuan. Karena kerudung, merupakan sebuah penghalang kuat dari hal-hal buruk yang mengancam seorang perempuan. Dengan tertutupnya aurat, maka saya kira seorang perempuan akan lebih mudah memahami makna dari hati yang bersih.

Namun sayang, kerudung memang telah banyak dianggap hanya sebagai aksesoris, pelengkap pakaian. Banyak perempuan berkerudung menggunakan pakaian yang menurut saya tidak sesuai dengan kerudung yang mereka kenakan. Kerudung sebagai penutup kepala, namun pakaian ketat dan warna-warni mencolok mata tetap digunakan. Bahkan banyak perempuan yang menggunakan kerudung, namun mahkota yang seharusnya tertutupi dapat terlihat bebas, tergerai dengan cantiknya. Ya, atas nama mode, fashion, maka mereka mengubah fungsi kerudung yang sebenarnya.

Bagi saya, kerudung itu tidak main-main. Berkerudung adalah suatu komitmen yang akan saya pegang selama hidup saya. Saya tidak mau menjadi perempuan tak berpendirian yang berkerudung hanya untuk mengikuti mode. Karena saya berkerudung lebih untuk menjaga hati saya.

Ya, saya berkerudung. Saya tidak peduli dengan rambut saya yang tidak tergerai bebas, dan tidak terlihat oleh orang lain. Saya tidak peduli dengan paras saya yang terlihat lebih tua dari umur saya yang sebenarnya. Saya tidak peduli dengan tubuh saya yang terlihat semakin berisi. Tetapi saya peduli, dengan terjaganya kehormatan saya sebagai seorang perempuan.

Tuesday, February 28, 2012

MANUSIA

.Pic taken from random googling.

"Justru itu masalahnya. Aku hanya ingin sebebas awan, tapi Ia malah mengutukku jadi manusia."

(Percakapan malam dengan seorang teman, jauh di kota mimpi sana)

Memang, manusia tidak akan pernah sebebas awan, yang beriringan dengan angin, begitu luas, menyilaukan, dan mengangkasa. Ah, bukankah katamu kebebasan itu tak nyata, seperti juga kebenaran, sayang tak ada. Bahkan seberkas awan pun tidak bisa bebas dari cahaya, yang memaksanya untuk mengabu, bertransformasi dalam rintik-rintik yang menghujam bumi, tak berjejak.

Ya, mungkin memang benar apa katamu, bahwa manusia yang mencari kebebasan itu adalah orang yang sedang bermimpi. Jadi, tolong jangan bangunkan saya, karena saya masih ingin bermimpi.


Setidaknya dengan begitu saya masih menyadari bahwa saya masih memiliki jiwa, sebagai penanda bahwa saya . . .
manusia.

Saturday, February 25, 2012

RETAK

Hari ini terasa tak biasa. Entah mengapa beberapa penggal memori yang sempat terlupa meriap-riap keluar, kuat memaksa.

Hari ini saya kembali menyadari, tentang siapa diri saya, tentang bagaimana dan untuk apa hingga saya dulu memaksa lupa. Tentang bagaimana saya sempat mencoba untuk membuang diri saya. Saya yang dulu retak, terduduk diantara rasa utuh dan patah. Dulu, saya yang bahkan sulit untuk berdiri, tetapi dipaksa untuk berlari. Saya yang tertatih-tatih sendirian. Dan saya yang masih sulit untuk memahami, memutuskan untuk pergi, melarikan diri.

Saya dulu memaksa untuk berani di tengah rasa ketakutan. Memaksa untuk kuat, padahal saya lemah dengan segala keterbatasan. Memaksa, berusaha untuk menjadi nomor satu, padahal saya masih terseok-seok seratus nomor di belakang. Saya yang begitu ingin dilihat, walau sekali saja, dan tidak lagi menjadi orang yang disalahkan.

Saya ingat semuanya, tentang bagaimana saya sulit untuk berkata-kata. Saya yang begitu diam, terlalu larut dalam dunia semu saya. Saya yang masih tidak suka menjadi pusat perhatian banyak orang, karena rasanya tidak nyaman, setelah sekian lama terbiasa tersembunyi di balik tirai. Saya yang hingga kini masih sulit untuk menentukan sikap. Saya yang hingga hari ini masih merasa putus asa, karena ternyata lari saja tidak cukup. Untuk apa, toh diri saya hingga kini masih retak.

Saya ingin bebas, bebas dari rasa takut yang masih mengikat saya, karena saya lelah. Rasa takut itu ternyata menghabiskan energi yang begitu besar. Entahlah, saya tak tahu apakah saya masih kuat utuk berlari lagi. Saya hanya ingin jujur, melepaskan semua, dan merasakan utuh kembali.

Hari ini, memori itu meriap-riap memaksa untuk keluar, mengembalikan ingatan tentang diri saya yang dulu, setelah saya secara tak sengaja menemukan file-file lama saya. Entah mengapa tiba-tiba saya kembali membaca buku dan catatan yang dulu biasa saya baca. Dan mood saya langsung berubah ketika secara tak sengaja saya mendengarkan lagu-lagu yang dulu biasa saya dengarkan. Maka ingatan tentang masa lalu saya pun seperti berlomba-lomba untuk hadir di pikiran saya. Ingatan tentang diri saya, yang dulu sempat saya coba buang.

Dan saya menyadari apa yang salah dengan diri saya sekarang. Saya kini merasa seperti orang lain. Ya, saya berhasil membuang sebagian diri saya. Saya sempat melupakan kebiasaan-kebiasaan saya yang dulu begitu lekat dengan diri saya, bahkan mungkin bisa dikatakan sebagai penanda diri saya, penanda bahwa saya bisa berbeda dengan cara saya sendiri.

Ya, hingga kini saya masih tidak suka untuk menjadi sama . . .

Saturday, February 18, 2012

WISATA BERFOTO

Saya orangnya suka traveling, pergi ke berbagai tempat wisata maupun non-wisata, terutama ke tempat yang belum pernah saya datangi. Semakin jauh semakin bagus, dan saya lebih suka dengan tempat yang lebih sepi dan tidak biasa. Liburan kali ini pun saya pergi ke berbagai tempat, walaupun intensitasnya tidak terlalu sering karena limitnya dana yang saya miliki. Kemarin-kemarin juga saya sempat pergi berlibur bersama keluarga saya, menghabiskan waktu berkualitas yang jarang tersedia karena memang saya jarang pulang.

Ada satu fenomena yang umum saya lihat ketika saya pergi jalan-jalan ke tempat baru, khususnya tempat wisata, yaitu budaya foto-foto. Banyak sekali orang, terutama remaja, datang ke tempat wisata dengan intensitas berfoto lebih banyak dari pada menikmati wisata itu sendiri. Lucunya, yang sering menjadi obyek foto utama adalah orangnya, bukan background wisatanya. Ada yang bilang, bahwa budaya nampang bagi masyarakat Indonesia sudah sedemikian kuatnya.

Yah, jujur saja, saya juga sudah sedikit terpengaruh dengan budaya nampang itu, terkadang bila mood saya sedang bagus, saya sering berfoto di tempat wisata.

Bila dibandingkan dengan bangsa lain, cara menikmati liburan antara orang Indonesia dengan bangsa lain itu dapat dikatakan berbeda. Menurut perhitungan saya pribadi, cara berwisata orang Indonesia adalah 25% wisata, 75% foto-foto, sedangkan bangsa lain 75% wisata, 25% foto-foto, itupun yang sering di foto adalah obyek wisatanya, bukan orangnya.

Budaya nampang ini kemudian biasanya dilanjutkan dengan meng-upload foto-foto liburan tersebut ke jejaring sosial. Bilangnya sih foto-foto itu adalah salah satu kenang-kenang wisata mereka. Tetapi menurut saya, hal tersebut malah bisa dibilang pamer. Ya, selain budaya nampang, kebanyakan orang Indonesia juga dikenal dengan budaya pamernya.

Haha, lucu ya. Saya seperti membicarakan diri sendiri. Ya saya akui, saya juga terkadang begitu, foto-foto dan kemudian meng-uploadnya di jejaring sosial, walaupun intensitasnya bisa dibilang jarang. Ada perasaan bahwa saya ingin dilihat orang lain. Mungkin orang-orang yang melakukan hal-hal tersebut juga ingin dirinya dilihat oleh orang lain, dan merasa dirinya semakin keren dengan banyaknya foto ketika berwisata.

Lebih lucunya lagi, terkadang banyak orang yang tidak peduli dengan background tempat yang bisa dibilang "nggak bagus-bagus amat". Bagi mereka, yang penting adalah foto-foto, dengan obyek utama adalah diri mereka sendiri, jadi masa bodo dengan background yang jelek. Contohnya, saya pernah melihat orang-orang heboh berfoto di sebuah warung pinggir pantai yang menurut saya jelek dan kotor.

Ada juga orang yang sadar dengan pentingnya background yang bagus. Kapan waktu saya pernah pergi ke puncak dengan teman saya. Nah, teman saya itu mengajak temannya. Di sini lucunya, ketika temannya teman saya itu ribut minta pinjam hape dan kunci mobil, kemudian dia sibuk bernarsis-narsis ria di depan dan di dalam mobil teman saya yang diparkir di dekat kebun teh. Setelah itu, foto-fotonya tersebut saya lihat langsung di-upload di jejaring sosial dan dibuat seolah-olah mobil teman saya itu adalah mobil miliknya. Yah, namanya juga ingin nampang dan pamer.

Sepertinya di Indonesia yang menjadi obyek wisata terbesar adalah obyek foto-foto ya. Sayang sekali, padahal banyak obyek yang lebih bagus untuk difoto, dibandingkan dengan obyek diri sendiri. Tidak sadarkah bahwa ketika mereka meng-upload foto tersebut di dunia maya, akan terjadi kecemburuan sosial yang dapat berakibat buruk bagi kehidupan di dunia nyata. Ya, saya berkata seperti itu karena saya sudah pernah merasakan, bagaimana sebuah kecemburuan dapat berakibat buruk bagi kehidupan sosial.

Wednesday, February 1, 2012

KEMARIN, DAN HARI INI

Kemarin, saya kembali ingin pergi, ingin lari, menjauh dari semua keributan.

Tetapi ternyata lari pun tidak bisa menyelesaikan apa-apa. Pikiran saya rupanya masih tidak tenang, sementara ruang hati saya menyisakan sebuah rongga kosong.

Kemarin, saya masih belum merasa pulang, karena ternyata hati saya masih tertinggal, lupa saya kemas baik-baik.

Ah, tapi hari ini ada yang berbaik hati mengetuk pintu, berbisik, mengantarkan kembali sebuah hati untuk saya.

Hari ini saya merasa lebih hidup, sebuah rasa yang selama bertahun-tahun tidak sempat saya nikmati. Saya tidak ingin pergi, tidak ingin berlari. Saya ingin di sini.

Dan hari ini, saya bisa merasakan pulang.