Sunday, December 18, 2011

PERBATASAN

Saya masih berdiri di batas senja, memarahi langit yang menelan sang jingga. Mengulang kembali kesia-siaan itu. Ah, bukankah itu tak perlu untuk melawan takdir. Maka biarkanlah langit, tanah, dan lautan berseru, di antara tangis yang tergugu, di sela-sela doa yang terabaikan.

Maka saya terdiam disini. Terdampar, dan masih mencoba mengetuk pintu kebebasan. Berharap ia dapat membuka sedikit, memberikan celah untuk masuk, menyelinap.

Bukankah itu menyenangkan, untuk terbang mengepakkan sayap. Ya, sayap pemberianmu sayang. Sayap dengan rangka yang teramat rapuh. Namun kau telah mengikatnya cukup kuat, hingga mampu mengangkat seluruh beban yang ikut saya bawa. Kau memberi saya kesempatan untuk melempar jauh kerikil-kerikil itu, ke jalan tak berujung di luar jendela kotak.

Dan kini saatnya bulan tenggelam, bersembunyi di balik punggung malam. Adakah lagi yang kau sesalkan? Selain cahaya yang semakin meredup, tak lagi menyilaukan. Kau takut akan kungkungan gelap, sementara nyala itu pelan-pelan menghilang dari bola matamu.

Doa-doa memanjat, mendesak keluar dari atap pembebasanmu. Tenang saja, saya masih berdiri di perbatasan, menunggu pagi yang membebaskan terang.

No comments:

Post a Comment