Wednesday, May 23, 2012

KUNCI DAN MEMORI

Semenjak kecil, saya sangat mencintai tulisan. Tulisan apa pun akan saya baca hingga tuntas. Saya masih ingat dengan buku pertama saya, yang bahkan daftar isinya saja pun saya baca dan saya renungi dalam-dalam walaupun saya belum mengerti benar apa maksud dari banyaknya tanda titik yang memanjang dari kiri ke kanan. Dulu buku-buku "koleksi" saya banyak yang rusak dan tidak utuh lagi, karena terlalu sering saya baca. "Koleksi" buku saya yang tidak seberapa itu ternyata tidak mampu memuaskan rasa penasaran saya akan tulisan.

Bagi saya, tulisan itu adalah kunci dan memori, sebagai penjelasan akan apa-apa yang tidak saya ketahui, sehingga dapat memuaskan rasa keingintahuan saya. Rasa suka saya terhadap tulisan yang tertuang dalam bentuk buku pun melebihi rasa suka saya terhadap uang, makanan, bahkan mainan. Saya ingat ketika saya SD dulu, saya adalah satu-satunya pengunjung setia perpustakaan di sekolah. Hampir di setiap waktu istirahat saya pergi ke perpustakaan sekolah yang hampir tidak pernah dijaga, walaupun perpustakaan sekolah ini memiliki koleksi buku yang tergolong banyak untuk ukuran sekolah di pinggiran kota. Bahkan terkadang saya meminjam beberapa koleksi buku dari perpustakaan tanpa izin, karena memang tidak ada yang menjaga.

Saking sukanya dengan tulisan, ketika masa-masa SD itu saya sudah berlangganan majalah mingguan yang saya bayar sendiri, dengan harga satu majalah yang hampir mencapai setengah dari uang saku saya selama seminggu. Saya pun sering diajak oleh ibu saya ke perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Di tempat itulah saya mulai mengenal buku-buku dan majalah sastra. Saya sangat menyukai kata-kata kiasan yang "indah" dan "misterius" dalam berbagai tulisan sastra, walaupun saya tidak mengerti apa makna dibalik kata-kata tersebut. Dan cita-cita serius pertama saya pun muncul: menjadi seorang penulis.

Saat saya memasuki jenjang SMP dan SMA, saya menghabiskan sebagian besar uang saku bulanan saya yang tak seberapa untuk menyewa banyak buku. Bahkan selama beberapa tahun saya sempat dijuluki bandar novel oleh teman-teman saya, karena saya selalu membawa novel kemana pun saya pergi. Saat itu saya tahu berbagai macam novel populer maupun nonpopuler, dari kelas ecek-ecek hingga yang memiliki nilai sastra tinggi. Cita-cita saya pun bertambah, selain menjadi penulis, saya pun ingin menjadi editor dan penerjemah buku. Alasannya, karena saya ingin menjadi orang yang paling pertama membaca tulisan orang lain. Ya, saat itu rasa haus saya akan tulisan dan buku sangatlah besar.

Sayangnya, passion saya ini mulai memudar ketika saya memasuki jenjang perkuliahan. Pada awalnya, cita-cita saya untuk menjadi penulis kurang disetujui oleh orang tua saya. Mereka menganggap bahwa menulis tidak dapat dijadikan sebuah pekerjaan dan tidak menjanjikan. Bahkan keinginan saya untuk masuk sastra pun terkesan ditentang, hingga akhirnya sekarang saya masuk ke jurusan yang saya pilih sendiri dan disetujui oleh orang tua saya, walaupun dengan agak terpaksa. Memang, sedari dulu orang tua saya telah mengarahkan saya ke beberapa jurusan yang menurut mereka baik. Namun ternyata saya tidak berjodoh dengan jurusan-jurusan pilihan mereka. Maka di sinilah saya, melanjutkan studi di sebuah jurusan bercorak ilmu sosial, yang berdampingan dengan jurusan sastra.

Jujur, saya iri dengan beberapa teman saya yang menggeluti bidang sastra. Saya yang hanya memiliki kemampuan pas-pasan dalam menulis dan tidak memiliki banyak ilmu pun kagum dengan beberapa teman saya yang sanggup membuat berbagai tulisan apik nan manis. Saya sering iri dengan mereka-mereka yang mempelajari sastra secara mendalam. Selama ini, waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk membaca dibandingkan menulis. Ya, mungkin saya memang hanya masuk ke dalam golongan penikmat hasil karya sastra, bukan pencipta karya sastra.

No comments:

Post a Comment