Friday, April 27, 2012

PERJALANAN KERETA

 .Pic taken from random googling.

Tiba-tiba hari ini saya rindu naik kereta api. Kereta api kelas ekonomi, bukan bisnis maupun eksekutif. Bukan kenyamanan yang saya cari, tetapi pengalaman. Pengalaman berkipas-kipas kepanasan sembari melihat orang-orang dengan berbagai jenis karakter yang tak selalu sama. Bahkan dulu, ketika kereta api ekonomi tak senyaman sekarang (dengan tempat duduk untuk masing-masing orang), selalu saja ada pegalaman baru yang terkadang terasa mengesalkan, namun menjadi lucu ketika diingat-ingat kembali.

Dulu sewaktu saya kecil, saya sering naik kereta api, terutama kala waktu mudik tiba. Saya masih ingat, ketika dulu para penumpang masih duduk bertumpah ruah di kursi dan lorong kereta, bahkan hingga ke dalam toilet yang selalu berbau pesing. Berdesak-desakan dengan terpaksa bersama para pedagang, pengamen, bahkan pengemis yang setiap hari menaruh harapan pada gerbong-gerbong kereta.

Pada tahun-tahun pertama saya di tanah rantau, saya kembali menumpang kereta, seolah-olah menelusuri jejak masa kecil saya yang sempat tertinggal sepanjang alur rel. Saya pergi ke arah timur, menjauhi kota mimpi yang tertinggal di ujung rel yang tertelan rob. Saat itu saya hanya mendapat tiket berdiri. Inilah sulitnya untuk tinggal di kota yang hanya menjadi tempat singgah. Berada di tengah, tidak mengawali atau menjadi akhir dari tujuan. Tiket berdiri itu ternyata hanya mengizinkan saya untuk duduk bersandar di lorong. Dengan beralas koran bekas dan memeluk ransel, sembari berdoa agar tidak terinjak oleh penumpang lain.

Kereta, salah satu kendaraan yang tak pernah membuat saya mual karena mabuk. Mungkin karena saya terlalu sibuk mengejar bayangan matahari yang terbias dalam retakan jendela kusam.

Bagian favorit saya adalah ketika kereta melewati kelokan tajam, terowongan, dan jembatan panjang. Saya ingat dulu ketika saya kecil, saya suka sekali berdiri dan menjulurkan kepala ke luar jendela, sembari mengawasi kepala kereta yang berbelok. Kala itu angin menderu-deru di telinga saya, terasa menakjubkan. Atau ketika kereta melewati sungai lebar, memadukan kecepatan dengan cahaya matahari yang terpantul pada permukaan air. Cantik.

Kereta ekonomi adalah kereta yang dikalahkan. Kereta tanpa waktu perjalanan pasti. Saya ingat betapa dulu dengan mudahnya saya dibohongi oleh orang tua saya, ketika saya protes saat kereta tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Mereka bilang, ban kereta sedang bocor, jadi saya harus bersabar untuk menunggu petugas menambal ban. Dan dengan lugunya saya menelan mentah-mentah omongan tersebut.
Ah, saya rindu moment itu.

Kereta ekonomi ini membawa saya ke sisi lain kehidupan yang lebih nyata. Ia memberikan pemahaman tersendiri akan hidup. Kereta inilah yang menjadi saksi keberanian saya saat sengaja meninggalkan kota mimpi, melawan rasa takut akan ketidakmandirian saya. Bahkan mengajarkan saya lebih ketika akhir perjalanan kereta ini mengantar saya untuk setengah terlelap di kursi tunggu stasiun, menanti fajar.

Ah, bukankah terlalu terburu-buru pun tak selamanya baik. Kereta ekonomi mengajarkan saya bahwa kehidupan pun memiliki alur seperti perjalanan kereta ekonomi ini. Bukan hanya pencapaian tujuan yang menjadi hal penting, tetapi perjalanan dalam pencapaian itu. Perjalanan yang tak selalu mulus, tetapi menawarkan makna lebih bagi hati yang lebih memahami.

No comments:

Post a Comment