Tuesday, April 24, 2012

DARADANGDUT

.Pic taken from here.

Masih ingat dengan sang raja dangdut ini?

Jadi, jadi, sore tadi saya habis ngobrol macam-macam sama teman-teman saya di kantor redaksi Hawe, sampai kemudian berlanjut di pinggiran sendang fakultas dan meja angkringan. Berawal dari puisi dan karya sastra Indonesia, novel lupus, film dan cerita horor, sampai masuk ke topik musik asli ala Indonesia: musik dangdut.
Kok tiba-tiba saya jadi kepikiran buat bikin skripsi tentang perkembangan musik dangdut ya? Kayaknya menarik deh, hehe :D

Di wikipedia, disebutkan bahwa sejarah musik dangdut ini berawal dari musik Qasidah yang terbawa oleh agama Islam yang masuk ke Nusantara pada sekitar abad 7-17 M, dan Gambus yang dibawa oleh migrasi orang Arab pada abad 19. Jenis musik ini dipengaruhi juga oleh musik dari Amerika Latin dan India. Sekitar tahun 1960, pengaruh barat masuk dengan ditandai oleh penggunaan gitar listrik. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka oleh pengaruh bentuk musik lain, baik keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.

Bagi orang Indonesia, musik dangdut kini telah mengalami perubahan makna. Jenis musik yang identik dengan gendang dan suling ini sering dianggap sebagai musik rendahan, dan penikmatnya pun dapat dikatakan menjadi suatu kelompok yang termarginalkan. Anggapan merendahkan terhadap jenis musik ini bisa dibilang disebabkan oleh anggapan bahwa musik dangdut adalah milik orang-orang dengan ekonomi yang di bawah rata-rata. Ya, budaya dangdut di Indonesia sendiri kini telah hampir terpinggirkan oleh budaya musik lain, terutama oleh musik-musik berjenis mainstream, seperti pop, dll.

Saya sendiri tidak suka dengan dangdut. Tetapi saya tidak suka dangdut bukan dikarenakan oleh anggapan bahwa dangdut adalah musik rendahan. Saya tidak suka karena menurut saya musik dangdut kini sudah tidak murni lagi. Lihat saja, penyanyi-penyanyi dangdut saat ini rata-rata berdandan seronok dan menurut saya agak (maaf) vulgar. Bahkan kualitas suara kini sudah tidak lagi menjadi perhatian yang utama. Padahal bagi saya, musik itu dinikmati dengan cara didengar, tidak hanya di lihat. Bahkan terkadang saya tak peduli dengan rupa sang penyanyi, yang terpenting adalah suara dan lagunya dapat memanjakan telinga saya.

Gara-gara penampilan para penyanyi dangdut itu, saya jadi tak lagi menyukai dangdut. Bahkan terkadang hanya untuk mendengarnya saja sudah malas. Padahal sewaktu saya kecil, saya sempat menyukai musik dangdut, yang kala itu lagu dan penyanyinya masih tergolong 'sopan'.

Masih ingat dengan musik dangdut pada masa Rhoma Irama? Bagi saya, itu adalah zaman keemasannya musik dangdut. Kala itu, musik dangdut masih dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Liriknya pun masih 'ramah' dan memang mencerminkan karakter orang Indonesia. Perhatikan saja, meskipun lirik lagu dangdut kerap diwarnai oleh kisah percintaan, namun bila dilihat lebih teliti lagi, lagu dangdut pun sarat akan cerminan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Ok, kembali lagi ke soal rencana skripsi saya. Akhir-akhir ini saya memang sedang bingung dengan rencana skripsi saya. Kepinginnya sih saya mengangkat topik mengenai sejarah maritim, karena saya suka laut dan kebudayaan orang-orang di sekitarnya. Tetapi entah kenapa saya tadi kepikiran untuk mengangkat dangdut, sebagai musik kaum marginal. Tentang bagaimana musik dangdut dan kaum marginal itu saling mempengaruhi. Ya, ini hanya sebuah ketertarikan awal saja sih. Saya yang tidak suka dangdut jadi merasa tertantang untuk mengangkat musik yang satu ini. Tetapi saya masih ragu juga, karena tema ini rawan sekali tersangkut pada hal kajian antropologi. Padahal saya justru ingin mengangkat dari segi sejarahnya, mengenai perkembangan dari masa ke masa. Seperti sebuah siklus, berawal dari tunas-tunas kehidupan, masa keemasan, hingga masa-masa layu, dimana musik ini tetap bertahan, walau tak lagi 'seindah' dulu.

Saya bingung. Sepertinya saya masih harus berpikir keras untuk menentukan tema (calon) skripsi saya . .

No comments:

Post a Comment