Sunday, March 24, 2013

Akar dan Tanah

Sudah beberapa hari ini saya berada di rumah orang tua saya, di tanah dimana saya tak sempat menumpang lahir. Jadi saya tak tahu, apa kota kecil tempat saya tumbuh ini dapat saya katakan sebagai kampung halaman? Saya sendiri terkadang merasa bahwa saya tak layak.

Saya terlahir dengan akar yang berasal dari moyang yang berbeda. Saya kira darah saya terdiri dari campuran, yang karenanya saya tak tahu apakah saya harus bangga atau sedih. Hampir seumur hidup, saya tinggal dengan orang-orang yang memiliki budaya dan bahasa ibu yang berbeda, sehingga di rumah saya dan keluarga terbiasa menggunakan sebuah lingua franca sebagai penengah. Hasilnya, saya tak terlalu memahami bahasa ibu ataupun ayah, bahkan saya nyaris tak pernah diperkenalkan dengan kebudayaan mereka masing-masing. Saya kemudian tumbuh dengan budaya yang saya cari dan pelajari sendiri.

Saya sering merasa, hidup dengan keluarga yang memiliki kebudayaan berbeda yang sama-sama kuat itu sedikit tidak menyenangkan. Saya tak pandai berbahasa daerah, logat saya aneh, bahkan saya tak begitu tahu mengenai adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Terkadang saya merasa seperti alien, orang asing yang tak tahu apa-apa. Ketika saya sendiri akhirnya terjun pada bidang budaya, saya semakin menyadari bahwa saya memang tak banyak mengerti, bahkan pada hal-hal kecil seperti mitos-mitos yang banyak didengungkan oleh orang-orang tua.

Bukannya ibu saya tak pernah mengenalkan budaya daerah pada saya. Hanya saja karena keluarga saya merantau, maka budaya yang sekilas diperkenalkan ibu saya tak terlalu meninggalkan bekas. Saya hidup dengan dongeng-dongeng yang saya temukan dalam buku-buku ataupun yang saya ciptakan sendiri. Pada akhirnya saya memiliki dunia sendiri yang terkadang, saya akui, memisahkan saya dari dunia nyata. Bukan, saya bukan pengkhayal. Hanya saja saya merasa dunia saya berbeda.

Dari dulu saya merasa berbeda, namun bukan berbeda dalam arti yang baik atau kebalikannya. Saya hanya merasa seperti tak mengikuti aturan setempat, aturan tak tertulis atau terkatakan mengenai apa-apa yang seharusnya dilakukan dan dipahami. Bahkan terkadang saya merasa terpenjara dalam dunia yang saya tak mengerti. Saya masih kecil saat itu, belum banyak memahami apa-apa, tapi saya tahu bahwa ada yang salah dengan diri saya. Saya merasa tak terikat dengan tanah tempat saya tumbuh ini. Saya merasa seperti tanah ini bukan rumah saya, bukan tempat saya untuk pulang. Entahlah.

Kemarin saya berkumpul dengan teman-teman lama saya. Entah kenapa saya merasa semakin jauh, seakan bahwa dunia kami berbeda. Saya tak tahu dan jujur saja, saya merasa sedih. Terkadang saya ingin mengeratkan ikatan saya dengan tanah ini dan mengakuinya sebagai kampung halaman saya. Tapi bahkan saya tak mengerti akar dari tanah ini. Itu sebabnya saya merasa tak layak. Maka beginilah saya, tak jelas dan masih berusaha mencari tanah yang bisa saya kenali akarnya.

Jadi, apakah salah jika saya tak memiliki ambisi yang kuat untuk kembali pada tanah ini?

Terkadang saya merasa seperti pengkhianat.

No comments:

Post a Comment